Sebagian kita pasti pernah mengeluh, “hidup kok gini amat ya.” Kata sambat, curcol, curhat, kemudian muncul mewarnai kehidupan manusia yang penuh lika-liku. Frase dan beberapa istilah tersebut adalah bukti bahwa kehidupan manusia sangat akrab dengan derita. Penderitaan seakan menjadi salah satu tema klasik dan esensial dalam sejarah kehidupan umat manusia.
Penderitaan mampu menampilkan beragam sikap yang muncul dari manusia. Seseorang bisa merasa tidak berarti, hancur, dan kecewa, atau frustrasi. Lalu seketika itu juga, ia juga merasa gagal total, dan tidak berdaya menghadapi menghadapi tekanan hidup.
Menariknya, reaksi manusia terhadap penderitaan yang dihadapi bisa sangat dipengaruhi oleh ajaran agama yang dianutnya. Tulisan pendek ini membincang soal bagaimana agama Islam mempersepsi penderitaan. Tidak hanya itu, persepsi itu akan dikomparasikan dengan bagaimana Kristen menafsirkan konsep serupa. Mudahnya, tulisan ini mengulas perbedaan antara tradisi Islam dan Kristen mengenai penderitaan.
Dalam Kristen, penderitaan disinggung dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kitab Kejadian, yang merupakan induk dari Perjanjian Lama, menjelaskan bahwa Allah menciptakan dunia dalam keadaan yang baik. Namun karena Adam dan Hawa melanggar dengan menuruti godaan setan, maka Allah memberikan penderitaan kepada keduanya berupa; Adam yang harus bekerja keras hidup di dunia dan rasa sakit saat melahirkan bagi perempuan. Namun, banyak teolog Kristen menafsirkan bahwa penderitaan tidak bisa dipandang secara sempit sebagai “hukuman” Allah semata atas dosa manusia.
Penderitaan juga dilihat sebagai pengorbanan. Pengorbanan ini terbagi menjadi dua; berkorban demi orang lain dan berkorban demi iman. Contoh berkoban demi iman ada dalam kitab Makabe. Diceritakan tujuh bersaudara yang rela disiksa sampai mati untuk membela iman mereka kepada Allah, dalam perjanjian dan perintah-Nya, dan dalam kebenaran. Umat Kristen percaya bahwa cerita ini memberikan contoh “kesyahidan” bagi orang beriman.
Berbagai persepsi soal penderitaan dalam Perjanjian Lama kemudian disempurnakan dalam Perjanjian Baru melalui kisah kematian Yesus di kayu salib dan kebangkitannya yang agung. Dalam Perjanjian Baru, penderitaan yang dialami Yesus ditafsirkan berbeda-beda. Penafsiran yang paling lazim adalah soal gagasan “partisipasi”, yaitu Tuhan yang menjelma sebagai manusia dan membiarkan dirinya menderita untuk menebus semua dosa umat manusia. Artinya, pemikiran ini tidak bersumber dari kecintaan manusia kepada Tuhan, tetapi justru sebaliknya, justru karena Tuhan lebih dulu mencintai manusia.
Dalam Yohanes 4:19 dikatakan, “Kita mengasihi karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” Dengan demikian, keikutsertaan manusia dalam penderitaan Kristus bukan terutama karena manusia mengasihi Allah, tetapi karena Allah terlebih dahulu mengasihi manusia dengan ‘kesetiakawanan-nya’ dan menjadi manusia.” Mudahnya, penderitaan Yesus di kayu salib adalah simbol penebusan yang dapat meniadakan semua penderitaan yang diderita manusia sepanjang masa.Penderitaan dari sudut pandang Kristen memiliki berbagai makna, namun pada akhirnya tersimpul menjadi satu konsep besar, yaitu keselamatan.
Serupa dengan agama Kristen, penderitaan dalam perspektif Islam juga disinggung dalam al-Qur’an sebagai kitab suci. Al-Qur’an menyebut penderitaan dengan “shaqawah”. Shaqawah bisa diartikan sebagai musibah besar, kesengsaraan, keadaan payah, kesusahan, kegelisahan, keputusasaan, kesengsaraan, dan penderitaan. Melalui term shaqawah, al-Qur’an berusaha untuk men-generalisir segala bentuk penderitaan dalam Al-Qur’an seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Setelah rampung dalam tataran etimologis, langkah selanjutnya adalah menginvestigasi persepsi Islam soal penderitaan. Dalam al-Qur’an, ada empat konteks utama yang menyinggung soal penderitaan manusia; pertama, sebagai ujian bagi orang beriman; kedua, sebagai peringatan bagi umat manusia; ketiga, sebagai hukuman bagi manusia yang berbuat dosa dan maksiat; keempat sebagai kasih sayang kepada orang beriman.
Penderitaan dalam pandangan Islam bisa dilihat sebagai cara Allah menguji kualitas keimanan seseorang. Konsep ini terdapat dalam QS. al-Baqarah: 155-157 dan QS. at-Taghabun: 11, bahwa seseorang tidak dianggap sebagai mukmin sejati sampai dia diuji oleh Allah melalui penderitaan. Kedua surah tersebut menggambarkan berbagai manifestasi penderitaan yang Allah berikan kepada makhluk-Nya, seperti ketakutan, kelaparan , kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Bentuk-bentuk penderitaan ini bukan untuk membinasakan manusia, tetapi untuk menyeleksi hamba mana yang taat nan teguh imannya dan hamba yang ingkar.
Penderitaan juga ditafsirkan sebagai “hukuman” Allah akibat perbuatan manusia itu sendiri. Persepsi ini digambarkan dalam QS. Ali Imran: 165 melalui kisah Perang Uhud. Tercatat dalam sejarah, bahwa umat Islam terlalu bernafsu untuk mendapatkan ghonimah dalam perang Uhud saat melawan tentara Mekkah sehingga menjadi lengah.
Pada perang Uhud, 70 sahabat syahid dan sebagian lagi lari bercerai berai. Saking lengahnya bahkan hingga Nabi mengalami patah gigi, topi besi-Nya rusak, hingga wajah-Nya berlumuran darah. Allah menurunkan ayat di atas sebagai peringatan bahwa penderitaan itu adalah akibat perbuatan mereka sendiri. Allah menegur pasukan Islam saat itu dengan penderitaan berupa kekalahan sehingga menjadi pelajaran untuk pertempuran yang mungkin terjadi di masa depan.
Tafsir penderitaan ini juga beririsan dengan prinsip sebab-akibat. Dalam Islam dikenal dengan istilah sunnatullah atau hukum alam. Gagasan sebab akibat ini berlaku dalam aspek eskatologis Islam, yaitu ketika manusia dihidupkan kembali dan perbuatannya diperhitungkan di akhirat. Manusia akan dibalas oleh Allah di akhirat sesuai dengan apa yang dilakukannya di dunia, jika banyak berbuat kebaikan maka akan mendapat surga, tetapi jika melakukan keburukan maka akan dibalas dengan neraka.
Sebagai pungkasan, kedua agama Abrahamik tersebut saling berbeda pandangan tentang penderitaan umat manusia. Perbedaannya terletak pada motivasinya. Dalam agama Kristen, penderitaan dipandang sebagai cara Tuhan mengingatkan manusia untuk kembali ke jalan Tuhan. Sedangkan dalam Islam, bencana dilihat sebagai ujian bagi seorang mukmin apakah mampu melewatinya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, justru melalui perbedaan itulah titik temu di antara keduanya terlihat, bahwa Islam dan Kristen sama-sama menginginkan umatnya untuk kembali kepada jalan Tuhan.
Tulisan ini tidak sedang membenturkan kedua persepsi itu, akan tetapi sebagai upaya untuk memahami argumen teologis di luar tradisi Islam, sekaligus mencari titik temu dari distingsi teologis tersebut. Tulisan ini juga berfungsi sebagai refleksi diri bahwa jika di antara kita ada yang sedang ditimpa derita, mungkin itu adalah cara Allah untuk mengatakan, “Mau sampai kapan engkau melupakanku?”.