Berbicara tentang bulan Ramadhan dan tradisi, tentu saja Indonesia menjadi juara akan kekayaan tradisi yang dimiliki, tak terkecuali di kota kecil yang dikenal dengan slogan ‘Semarak’-nya, kota Kudus. Kudus merupakan salah satu kabupaten di bagian timur daerah Jawa Tengah. Kabupaten yang konon dulu berada di pulau yang terpisah dari pulau Jawa, yaitu pulau Muria. Namun, karena perubahan alam, menyatulah Kudus yang ada di pulau Muria dengan pulau Jawa.
Seperti yang sejarah ungkapan, pernah singgah dua dari sekian banyak wali Allah yang menyebarkan Islam ke daerah ini, yakni Sunan Kudus dan Sunan Muria. Tak bisa dipungkiri kedatangan kedua wali ini menambah keberagaman tradisi keagamaan yang diciptakan sebagai perantara menyebarkan ajaran Islam, termasuk tradisi penyambutan bulan suci yang akan kita bahas kali ini.
Besar di kota Kudus, membuat saya tak dapat luput dari tradisi yang telah lama dijalani. Ditambah lagi dengan garis leluhur dari orang Kudus asli, memberi kesan tersendiri akan cerita terdahulu yang mereka miliki menyambut hadirnya bulan ini.
Menyambut datangnya bulan Ramadhan, Kudus memiliki tradisinya sendiri. Penduduk setempat menyebutnya tradisi Dandangan. Mungkin jika orang setempat ditanya terkait apa itu dandangan, kebanyakan dari mereka pasti akan menjawab dengan deretan berbagai dagangan di sepanjang jalan yang diadakan sebulan sebelum Ramadhan. Mungkin jawaban lain menyebutnya sebagai festival rakyat atau pasar malam sebelum Ramadhan. Atau barangkali ada yang bingung menjawabnya, karena memang jarang ditelaah dengan seksama tentang apa itu dandangan.
Penduduk setempat pun mungkin sudah paham apa itu dandangan tanpa dijelaskan panjang lebar. Namun, apakah jawaban-jawaban itu sudah benar? Benar tidaknya pengertian dandangan bisa kita tinggalkan sejenak. Akan tetapi alangkah baiknya, jika kita telaah terlebih dahulu asal mula dari tradisi penyambutan bulan Ramadhan di Kudus ini.
Menurut riwayat yang beredar di masyarakat, sebutan dandangan bermula dari saat-saat berkumpulnya para santri yang berkumpul di halaman masjid sembari menunggu pengumuman dari Sunan Kudus (Syeikh Jakfar Shodiq) terkait penentuan waktu pelaksanaan puasa Ramadhan.
Sedangkan nama dandangan itu sendiri diambil dari suara bedug di Masjid Menara Kudus yang ditabuh untuk menandai awal puasa Ramadhan. Pengumuman ini diikuti dengan pemukulan bedug yang berbunyi ‘dang dang dang’. Suara bedug yang bertalu-talu itulah menjadi tanda khusus permulaan awal Ramadhan sekaligus menjadi sebutan dari tradisi dandangan tersebut. Tradisi ini sudah ada sejak sekitar abad ke-16, yakni sejak masa Sunan Kudus.
Pada mulanya, tradisi dandangan hanya sebatas kegiatan menanti pengumuman penetapan awal bulan Ramadhan. Pelaksanaannya pun hanya sehari sebelum Ramadhan. Diawali dengan ziarah kubur dan puncaknya adalah penabuhan bedug. Lambat laun, tradisi dandangan tak hanya sebagai sarana penyampai informasi tentang penetapan awal Ramadhan. Banyak pedagang yang memanfaatkan kesempatan untuk mengais rezeki, memasarkan dagangannya disekitar masjid menara Kudus. Sehingga tradisi ini berkembang menjadi kegiatan sosial ekonomi.
Seiring berjalannya waktu, pengetahuan orang setempat terkait dandangan mengalami pergeseran makna. Dandangan bukan lagi merujuk pada ritual ditabuhnya bedug sebagai penetapan awal Ramadhan, sebutan Dandangan justru lebih dikenal sebagai sebutan untuk pasar atau festival rakyat yang ada disepanjang jalan disekitar menara Kudus tersebut.
Sehingga, dandangan dalam benak mayoritas masyarakat Kudus saat ini adalah festival rakyat modern yang berada di sepanjang Jalan Sunan Kudus, yang dimulai dari perempatan Jember berderet ke timur hingga perempatan Kojan sebelum alun-alun Kabupaten Kudus.
Banyak sekali deretan pedagang yang menjajakan dagangannya di sepanjang jalan yang kurang lebih panjangnya sampai 1,5 kilometer. Beragam kuliner dapat ditemukan disana. Mulai dari jajanan tradisional, makanan berat, hingga makanan masa kini. Bermacam minuman pun juga disuguhkan. Tak hanya itu, perabotan rumah tangga, hewan peliharaan, hingga aksesoris yang bervariasi, dan pernak-pernik lainnya pun juga ikut dipasarkan. Sehingga, siapapun yang berkunjung ke festival ini, dapat memilih dan mencoba berbagai sajian kuliner dan pernak-pernik dagangan lainnya sampai puas.
Tradisi dandangan modern yang mirip festival ini normalnya berlangsung selama sebulan penuh sebelum Ramadhan tiba. Yakni selama bulan Sya’ban atau Ruwah dan para penjual mulai menggelar dagangannya ketika sore hari setelah asar hingga malam hari. Waktu pagi hari pertama bulan Ramadhan menandai berakhirnya tradisi dandangan, yang dikenal dengan Boboran.
Demikian sekelumit uraian tentang tradisi lokal yang turut memeriahkan datangnya bulan Ramadhan di Kota Kudus. Nyatanya, tradisi dandangan menjadi sangat bermakna bagi masyarakat Kudus. Selain sebagai sarana ekonomi – dengan perayaan dan pasar malamnya, dandangan menjadi identitas yang tidak bisa dipisahkan dari Kota Kudus sendiri.
*Artikel ini adalah konten hasil kerjasama Islamidotco dengan Sharia International Center IAIN Salatiga