Libya, Tunisia, Yaman, dan Suriah adalah contoh dari negara yang hancur luluh lantah akibat gerakan propaganda radikalis yang mengatasnamakan Revolusi. Beribu janji manis tentang perdamaian, kesejahteraan yang ternyata kejadiannya adalah kebalikannya, perang, hancur dan menyesal.
Gerakan yang dimotori oleh kelompok ‘radikal’ tersebut, membuai masyarakat awam tentang keindahan demokrasi, keadilan, kesejahteraan dan lain sebagainya, sampai media barat menamakan gerakan mereka sebagai Arab Spring, musim Semi Arab yang indah, bunga-bunga bermekaran, karena dari sangat indah retorika gerakan mereka.
Namun apa yang terjadi? Kenyataannya adalah Islamisasi bernama khilafah islamiyah, yang akhirnya berdiri di Suriah, Irak, dan Libya. Bahkan Ikhwanul Muslimin yang saat itu memenangkan pemilu di Mesir dan Tunisia harus kecewa karena negara-negara tersebut luluh-lantah akibat kekacauan.
Keberhasilan kelompok radikal di sana menjadi semangat jejaring mereka di Eropa, Afrika, Asia, Australia, bahkan sampai ke Indonesia. Tak percaya? Mari kita lihat persamaan yang telah mereka lakukan dan telah terjadi di Indonesia.
Pertama, soal politisasi agama. Hal ini terjadi juga di Indonesia. Gerakan mereka selalu mengatasnamakan umat dan Tuhan, gerakan mereka seolah membela Tuhan dan umat Islam, serta menjadikan simbol-simbol Islam sebagai basis gerakan mereka. Misalnya, di Damaskus, mereka menggunakan Masjid Jami’ Umawi sebagai markas demonstran,
Sedangkan di Indonesia, ada masjid Istiqlal yang sering dijadikan titik kumpul demo-demo yang dilakukan di Jakarta. Masih ingat, bagaimana khutbah Jumat di masjid-masjid mereka gunakan untuk propaganda kebencian pada pemerintah? Jika Yusuf Al Qardlawi pimpinan Ikhwanul Muslimin pernah menyerukan “Jumat al-Ghadab” Jumat kemarahan, apa bedanya dengan di Indonesia?
Kedua, melakukan pembunuhan karakter pada ulama, ulama yang memang ulama, Masih ingat, bagaimana Syeikh Sa’id Ramadhan al-Buthi, ulama besar yang karyanya bertebaran di perpustakaan kampus Islam dunia, fatwa-fatwanya menjadi rujukan ulama dunia, yang wafat di masjid al-Iman Damaskus saat pengajian tafsirnya berlangsung. Al-Buthy dan 45 orang lainnya harus terbunuh hanya karena berbeda pandangan politiknya.
Al-Buthi dianggap “penjilat istana” dan dianggap sebagai pengikut Syiah, padahal Al-Buthi adalah ulama Aswaja, ceramah dan karyanya getol menyuarakan Aswaja, hanya karena pandangan kebangsaannya, beliau harus terbunuh.
Lalu, bagaimana di Indonesia? Kurang lebih sama, ulama dibunuh karakternya, Prof. Quraish Shyihab adalah salah satunya. Mereka menuduhnya sebagai seorang syiah, Kiai Mustafa Bisri dituduh liberal, begitu juga Kiai Said Agil Siradj, dituduh Syiah dan liberal, yang berseberangan pandangan politiknya dihabisi, difitnah, ingat kasus TGB Zainul Madji? Tokoh yang awalnya mereka puja, karena pandangan politiknya berubah, mereka memfitnahnya sedemikian rupa.
Yang kemudian mereka lakukan adalah dengan beternak ustadz-ustadz abal-abal yang lebih menghibur. Padahal, mereka tidak memiliki keilmuan agama yang mumpuni, baca ayat saja salah. Lalu, pantaskah ustadz semacam ini dijadikan teladan?.
Ketiga adalah melakukan propaganda dan seruan ketidakpercayaan pada pemerintah. Di Suriah, Basyar al-Assad dituduh Syiah, dituduh kafir dan membantai kaum sunni. Sedangkan di Indonesia, Jokowi dituduh anak PKI, keluarganya dituduh sebagai Kristen, sama, bukan?
Begitu juga dengan ketidakpercayaan pada sistem dan pelaksana negara. Mereka menawarkan “Teko ajaib” bernama khilafah islamiyah sebagai solusi dari sistem demokrasi. Masalah apapun yang ada di Indonesia, solusinya adalah Khilafah Islamiyah, dengan melemahkan sistem dan pelaksana negara di Indonesia. Misalnya, ancaman pembunuhan pada empat tokoh bangsa pada kerusuhan Mei 2019 kemarin serta penusukan Wiranto adalah bukti nyata bahwa ada pola yang sama antara Suriah dan Indonesia.
Di Suriah ada jargon tertentu yang selalu diteriakkan, seperti al-sha’b yurid isqat al-nizam (rakyat menghendaki rezim turun) dan irhal ya Basyar (turunlah Presiden Basyar), di Indonesia juga sama, apapun demonya, intinya tetap turunkan Presiden Jokowi.
Polanya sangat mirip, jika tidak boleh dikatakan sama. Suriah saat ini luluh lantak karena membiarkan dan terlena pada gerakan ‘radikal’ tersebut. Jangan sampai di Indonesia terjadi seperti Suriah. Mari bersama lawan propaganda mereka, sing waras ojo ngalah. (AN)