Sepertinya siapapun tidak menginginkan ada terduga atau tersangka teroris ada di sekitar tempat tinggal mereka. Oleh sebab itu, reaksi penolakan atau penyangkalan biasanya menjadi pilihan kita ketika dihadapkan dengan kondisi tersebut. Kemungkinan sikap tersebut dipilih untuk menenangkan perasaan kita, tidak hanya soal keamanan daerah, namun kita juga mungkin merasakan ikatan kekeluargaan yang terenggut akibat terpapar terorisme.
Bagi sebagian masyarakat kita, penangkapan terduga atau tersangka teroris di satu daerah dapat dipandang sebagai pengkhianatan, atas kekerabatan atau kekeluargaan yang telah dijaga selama ini. Jelas saja, siapapun tidak ingin keluarga atau tetangga mereka terlibat dalam kasus terorisme karena stigma atau pandangan buruk bisa saja diarahkan kepada seluruh anggota keluarga.
Maka, apabila terjadi penangkapan terduga teroris atau tersangka teroris, respon pertama adalah terkejut, lalu kemudian akan menyangkal bahwa tetangga mereka telah terpapar ideologi terorisme. Biasanya diikuti dengan klaim bahwa tempat mereka sudah aman dan terbebas dari ideologi ekstrimis tersebut.
Reaksi serupa juga dijumpai pada kalangan otoritas wilayah dan agama. Ketika penangkapan terduga terorisme di Banjarmasin pada Kamis (22/12) kemarin, yakni ketika Walikota Banjarmasin menanggapi penangkapan terduga terorisme tersebut dengan terkejut, namun diikuti dengan melempar tanggung jawab, dengan menyebutkan bahwa pengawasan terkait ideologi terorisme adalah kewenangan pemerintah pusat.
Dalam sebuah media menuliskan bahwa walikota mengaku bahwa isu terorisme merupakan isu yang dipantau khusus kepolisian dan pemerintah pusat. Reaksi walikota Banjarmasin tersebut serasa menyakitkan bagi saya, sebab kapasitas sebagai kepala daerah tidak semestinya memberikan pembelaan atau penyangkalan, apalagi melempar tanggung jawab.
Untuk mengulik mengapa penolakan (baca: penyangkalan) menjadi lumrah di masyarakat, ketimbang mengakui kerentanan terpapar ekstrimisme atau terorisme di tengah kehidupan kita, maka kita perlu mulai mulai membongkar atau memahami lebih dalam lagi atas isu yang cukup menganggu kehidupan kita. Terlepas stigma terhadap isu atau narasi terorisme yang sering dianggap sebagai pengalihan isu kekisruhan ekonomi atau politik di Indonesia.
Saya menilai kesadaran bahwa narasi dan ideologi ekstrimisme atau terorisme dapat menulari pada siapa saja, dengan berbagai tingkat paparan yang berbeda-beda, perlu disebarluaskan kepada masyarakat. Selain itu, masyarakat juga perlu memahami apa yang dikemukakan Bassam Tibi, akademisi asal Jerman, terkait Islam dan Islamisme, karena penjelasan Tibi, walaupun banyak perdebatan atas pendapatnya, dapat menjelaskan bagaimana agama dapat beririsan berbagai narasi atau ideologi kekerasan.
Tibi menarik garis pembatas yang jelas antara Islam (sebagai keyakinan) dengan Islamisme (sebagai politik keagamaan), yang menggunakan simbol agama tujuan politik. Jadi Islam dan Islamisme adalah entitas yang berbeda, sayangnya perbedaan ini seringkali diabaikan atau dihilangkan. Padahal, dari kesadaran bahwa Islamisme yang menerapkan ideologis atas agama di ranah politik, rentan menciptakan keretakan antara Muslim dan non-Muslim.
Penjelasan Tibi atas perbedaan dua entitas tersebut dapat kita gunakan untuk memahami dan menyikapi dengan lebih elegan, terhadap kasus-kasus penangkapan terduga terorisme. Karena, penjelasan Tibi lebih membuka pemahaman kita bahwa ada narasi lain yang mempermainkan keislaman yang kita peluk, untuk menarik atensi dan dukungan yang kuat terhadap perilaku yang sebenarnya tidak dibenarkan dalam agama Islam.
Bahkan, lewat penjelasan Tibi juga, kita dapat memahami pengingkaran atau penyangkalan terhadap kerentanan terpapar ideologi ekstrimis adalah sesuatu yang tidak perlu. Sebab, Islam yang selama ini kita peluk tidak saja rentan dipermainkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, namun juga harus menyadarkan bahwa agama yang dipeluk dan narasi yang dipakai oleh kelompok ekstremis adalah sesuatu yang berbeda.
Jika melihat alasan paling dekat yang bisa menjelaskan pengingkaran tersebut adalah kepercayaan mayoritas masyarakat kita, bahwa agama yang dipeluk tidak memiliki keterkaitan dengan seluruh tindak terorisme. Maka, kita sebagai masyarakat Muslim hanya perlu memahami kerentanan tersebut ada dan tidak terbantahkan, namun jika kita menempatkan agama dalam permainan atau dinamika politik yang dapat memecahbelah.
Alasan di atas mungkin dapat menjelaskan mengapa pengingkaran di masyarakat berdengung cukup kuat, dan masih bertahan hingga hari ini, setiap ada penangkapan terduga terorisme. Bahkan, ketika sebuah daerah disebut sebagai daerah yang memiliki indeks toleransi yang rendah, juga memancing pengingkaran yang serupa. “Masyarakat kita adalah pemeluk agama yang taat, jadi tidak mungkin terpapar dengan ideologi kekerasan”.
Beragama atau memeluk satu agama, termasuk Islam, adalah satu hal yang berbeda dengan menggunakan simbol-simbol agama dalam pergulatan ideologi, termasuk dinamika politik. Untuk itu, ketika ada anggota dari masyarakat kita diduga terpapar ideologi kekerasan, bukan disikapi dengan penyangkalan.
Namun, kita harus mencoba mendalami dalam keberagamaan kita untuk memeriksa apakah ada sedimen ideologi kekerasan, yang sering menggunakan simbol-simbol agama untuk melanggengkan aksi-aksi teror mereka. Di sisi lain, agama memang hanya satu faktor dari sekian banyak hal yang dapat menjerumuskan orang dalam ideologi ekstrimis.
Ketika orang memeluk dan menjalan ajaran agama dengan baik, belum ada jaminan akan terbebas dari ideologi busuk tersebut. Sebagaimana dijelaskan oleh Amartya Sen, manusia tidak mungkin hanya memiliki satu identitas secara rigid, namun di saat bersamaan dia “pasti” juga berafiliasi dengan identitas-identitas lainnya. Jadi, apakah terorisme ada di sekitar kita? Jawaban paling mungkin adalah IYA, dia dapat mengancam mempapar siapa saja yang mencoba mendekatinya.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin