Sakit tidak serta merta menggugurkan kewajiban salat bagi seorang mukalaf. Hal tersebut berdasarkan hadis sahih, bahwa bagi orang yang sakit jika tidak mampu salat berdiri maka dengan duduk, jika tidak mampu maka berbaring. Menurut ulama Syafiiyah, jika masih tidak mampu maka tahapannya adalah sebagai berikut:
ﻳﻨﺘﻘﻞ اﻟﻤﺮﻳﺾ ﺑﻌﺪ ﻋﺠﺰﻩ ﻋﻦ اﻻﺳﺘﻠﻘﺎء ﺇﻟﻰ ﺣﺎﻟﺔ ﺃﺧﺮﻯ ﻛﺎﻹﺷﺎﺭﺓ ﺑﺎﻟﺮﺃﺱ ﺛﻢ اﻹﻳﻤﺎء ﺑﺎﻟﻄﺮﻑ ﺛﻢ ﺇﺟﺮاء اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭاﻟﺬﻛﺮ ﻋﻠﻰ اﻟﻠﺴﺎﻥ ﺛﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻘﻠﺐ
Setelah tidak mampu berbaring maka isyarat dengan kepala, lalu isyarat kedipan mata, lalu menuntun Quran dan dzikir dengan mulut, kemudian dengan hati
ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﺾ اﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﺑﺎﻟﺘﺮﺗﻴﺐ اﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﻭﺟﻌﻠﻮا ﻣﻨﺎﻁ اﻟﺼﻼﺓ ﺣﺼﻮﻝ اﻟﻌﻘﻞ ﻓﺤﻴﺚ ﻛﺎﻥ ﺣﺎﺿﺮ اﻟﻌﻘﻞ ﻻ ﻳﺴﻘﻂ ﻋﻨﻪ اﻟﺘﻜﻠﻴﻒ ﺑﻬﺎ ﻓﻴﺄﺗﻲ ﺑﻤﺎ ﻳﺴﺘﻄﻴﻌﻪ
Sebagian ulama Syafiiyah menyatakan dengan urutan di atas, dan mereka menjadikan pijakan salat pada kesadaran akal. Selama akal masih sadar maka tidak gugur kewajibannya dan ia melakukannya sesuai kemampuannya (al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Bari)
Demikianlah tatacara salat bagi orang yang sakit. Urutan di atas adalah dengan sistem menggabungkan hadis dan atsar dari Sahabat Ibnu Umar. []
KH Ma’ruf Khozin, pengasuh aswaja center Surabaya.