Syekh Muhammad Tahir bin Muhammad bin Jalaluddin Ahmad bin Abdullah Al-Minangkabawi, begitulah nama lengkapnya. Ia terkenal dengan nama Syekh Tahir Djalalaludin Al-Falaki Al-Azhar, atau Thaher. Ia adalah salah satu tokoh pembaharu Islam dari tanah Minang yang menorehkan sejarah ilmu keislaman di kawasan Nusantara.
Ia berperan besar dalam pengembangan ilmu falak di tanah Melayu dan Nusantara. Kontribusi Syekh Taher tercatat abadi dalam sejarah. Peran tersebut tidak hanya dirasakan umat Islam di wilayah Nusantara, melainkan juga di negeri Jiran, Malaysia dan Singapura.
Riwayat hidup Syekh Taher Djalaluddin
Tanggal dan tahun kelahirannya ada yang menyebut di Cangking, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 4 Ramadhan 1286 H atau 8 Desember 1869. Sebagian catatan sejarah menyebutnya sebagai pakar ilmu-falak, pakar astronomi dan pendiri majalah Al-Imam dari tanah Melayu, yang tidak hanya tenar di kawasan Sumatera Malaysia hingga Singapura.
Ayahnya seorang ulama bernama Syaikh Ahmad Jalaluddin atau Tuanku Muhammad, dikenal dengan sebutan Tuanku Cangkiang. Ayahnya seorang hakim yang berasal dari kalangan Paderi pada masa gerakan Paderi abad 18. Sedangkan Kakeknya bernama Jalaluddin yang bergelar Tuanku Samik.
Pada umur 12 tahun menurut Hasri Haniago dalam buku 101 Orang Minang di Pentas Sejarah yang terbit tahun 2020, ia pergi ke Mekah, bertepatan sekitar tahun 1880 Masehi. Di sana ia tinggal bersama Syekh Muhammad Saleh Al-Kurdi. Ia juga belajar mengaji Al-Quran kepada Syekh Abdul Haq di madrasah Asy-Syaikh Ramatullah, Mekah.
Selain belajar mengaji Al-Quran, ia juga belajar kitab kepada Syekh Umar Syatha dan Syekh Muhammad Al- Khaiyath. Banyak ilmu pengetahuan agama yang ia pelajari saat tinggal di Mekah, termasuk ilmu nahwu, sharaf, ma’ani, badi’, mantiq hingga ilmu pengetahuan umum geometri dan ilmu falak. Hal ini terungkap dalam buku Mengenal Karya-karya Ilmu Falak Nusantara karya Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butari.
Saat berada di Mekah, ia sempat tinggal dan belajar berbagai ilmu pengetahuan pada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi selama 14 tahun. Syekh Khatib tidak hanya menjadi guru bagi banyak santri Jawa di tanah suci, tetapi dikenal juga sebagai Imam besar mazhab Syafi’i di Masjidil Haram.
Syekh Thaher sempat juga belajar pada ulama Melayu, Syekh Ahmad Al-Fathani yang baru kembali ke Mekah dari Mesir tahun 1882. Atas anjuran Syekh Al-Fathani, Syekh Thaher kemudian berangkat ke Mesir tahun 1893. Syekh Thaher disebut dalam buku Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat dan Perjuangannya (2001) karya Yulizal Yunus sebagai orang Indonesia pertama yang belajar di Universitas Al-Azhar.
Ia dikenal cerdas sejak kecil. Hal ini tentu mudah membuatnya diterima di universitas Al-Azhar untuk belajar ilmu falak. Kecerdasannya pun terus berlanjut ketika menempuh pendidikan di Al-zhar. Kecerdasan yang dimiliki membuatnya meraih nilai tertinggi saat ujian. Tiga tahun belajar ilmu falak, ia pun berhasil meraih diploma Syahaadah Ahmiyah.
Dari keberhasilan menyelesaikan pendidikan Al-Azhar inilah akhirnya ia mendapat gelar Al-Azhar di belakang namanya. Sejak itu Ia terkenal sebagai ahli ilmu falak dan sering disebut dengan Syekh Thaher Jalalaluddi Al-Falaki Al-Azhar.
Selama tinggal di Mesir empat tahun, 1887-1898, ia sempat berkenalan dengan Muhammad Abduh dan Rashid Ridha yang terkenal sebagai tokoh pembaharu Islam dari Mesir. Muhammad Rashid Ridha adalah salah seorang murid Muhammad Abduh yang menerbitkan majalah Al-Manar tahun 1898. Saat itu, Syekh Taher Djalaluddin diceritakan ikut menyumbang beberapa artikel dalam kolom Al-Manar. Dari sini lah pemikirannya diketahui terpengaruh dari tokoh Rashid Ridho dan Muhammad Abduh.
Mmenurut Hamka dalam buku Ayahku, setelah belajar di Mesir, Syekh Tahir sempat kembali ke Mekah. Ia turut membantu Syekh Ahmad Khatib mengajar murid-muridnya. Salah satu murid Syekh Tahir adalah ayahanda Buya Hamka, Syekh Abdul Karim Amrullah.
Pada tahun 1888, ia tidak langsung kembali dan pulang ke Minangkabau, tetapi singgah terlebih dahulu ke Singapura. Ia diketahui menginjakan kaki di Singapura 20 Mei 1988. Pada tahun 1905, Syekh Tahir kembali berpetualang ke Singapura untuk membantu mengatur makelar haji.
Mendirikan Majalah Al-Imam
Setelah menetap di Singapura, Syekh Tahir mengenal beberapa tokoh, ulama, dan hartawan. Dari pergaulan dengan ulama dan tokoh terkenal tersebut, muncul ide menerbitkan sebuah jurnal bernama Al-Imam pada Juli 1906.
Jurnal Al-Imam terbit karena terinspirasi dari majalah Al-Manar karya Muhammad Rashid Ridha dan Muhammad Abduh. Hal ini karena Syekh Taher pernah bertukar pikiran dengan Muhammad Rashid Ridha dan Muhammad Abduh tahun 1898.
Isi jurnal Al-Imam membahas tentang gerakan pembaruan di bidang politik, ekonomi, pendidikan hingga sosial budaya. Al-Imam dalam perkembangannya dapat mempengaruhi Haji Abdullah Ahmad, Syekh Djamil Jambek dan Syekh Abdul untuk menerbitkan majalah Al Munir.
Mendirikan sekolah Al-Iqbal Al-Islamiyah
Dari jurnal ini pula muncul ide mendirikan Al-Iqbal Al-slamiyah, sebuah sekolah Islam modern yang didirikan oleh Syekh Taher bersama Raja Haji Ali bin Ahmad tahun 1908. Al-Iqbal Al-Islamiyah muncul setelah majalah Al-Imam berhenti terbit. Sekolah yang didirikan Syekh Taher Djalaludin cukup modern. Sekolah ini dilengkapi dengan sarana pendidikan seperti meja, kursi dengan sistem pendidikan yang cukup modern kala itu.
Pada perkembangan selanjutnya gerakan pembaharuan Syekh Taher Djalaludin berpengaruh cukup besar terhadap pembaharuan di Minangkabau. Hal ini terlihat dari keikutsertaan ulama-ulama Minangkabau dalam mengikuti jejaknya, salah satunya ialah Dr. Abdullah Ahmad.
Terinspirasi dari sistem sekolah Al-Iqbal Al-Islamiyah di Singapura. Haji Ahmad Abdullah mendirikan sekolah sejenis yaitu Sekolah Adabiyah di Padang. Sistem pendidikan sekolah Adabiyah ini mengambil model dari sekolah Al-Iqbal Al-Islamiyah yang didirikan oleh Syekh Taher Djalaludin. Sekolah Adabiyah di Padang mencontoh sekolah Al-Iqbal Al-Islamiyah, termasuk sistem pendidikan dan prasarana pendidikan yang cukup modern ketika itu.
Pindah ke Kuala Kangsar, Malaysia
Pada tahun 1918, Syekh tahir pindah ke Kuala Kangsar atas permintaan keluarga kerajaan. Walaupun menetap di Kuala Kangsar, pengaruhnya tetap besar, bahkan menyebar hingga Minangkabau. Saat pulang ke Minang tahun 1927, ia disambut hangat masyarakat setempat. Ia sempat berdakwah keliling Sumatera Barat menyebarkan pembaharuan dan gerakan Islam.
Ketika kembali ke tanah Minang ini lah, Belanda menangkap Syekh Thaher pada tahun 1928, dengan alasan menyebarkan paham komunis. Ia ditangkap dan ditahan oleh Kolonial Belanda di Bukittinggi. Tuduhan tersebut tidak terbukti kebenarannya. Tuduhan tersebut hanya akal-akalan Belanda karena khawatir dan takut pengaruh pembaharuan yang dilakukan Syekh Thaher. Pengaruh pembaharuan dilakukan Syekh Thaher dianggap mengancam dan dikhawatirkan akan menjadi pemantik perlawanan terhadap penjajah.
Pakar Ilmu Falak
Beberapa tahun kemudian Syekh Thaher pun dibebaskan. Setelah bebas, ia kembali ke Kuala Kungsar meneruskan kegiatan pendidikan Islam, berdakwah dan menulis buku. Natjatur Umur, salah satu judul buku tentang ilmu falak terbit tahun 1936 membahas perhitungan tahun Hijrah, Masehi, arah kiblat, waktu shalat yang dapat digunakan selamanya.
Buku lain karya Syekh Taher berjudul Jadawil Pati Kiraan Pada Waktu yang Lima dan Hala Qiblat dengan Logharitma terbit di Singapura tahun 1938. Buku ini mengulas tentang perhitungan falakiah. Nukhabatut Taqrirat fi Hisabil Auqat wa sammatil Qiblat bil Lugharitma yang membahas ilmu falak terbit 1937.
Pemikiran Syekh Thaher ilmu falak lainnya juga terabadikan dalam kitabnya Al-Qiblah fi Nushushi Ulamais Syafi’iyah fi ma Yata’allaqu bi Istiqbalil Qiblatis Syar’i yah Manqulab min Ummuhat Kutubil Mazhab yang terbit tahun 1956. Buku ini disyahkan oleh majelis Agama Islam dan adat Melayu Perak.
Tidak hanya menulis buku dalam mengembangkan ilmu falak, ia juga melakukan gerakan tajdid. Hal tersebut dilakukan ketika terjadi pergulatan antara para ulama senior dengan kalangan muda yang melakukan pembaharuan.
Kondisi tersebut yang mendorong Syekh Taher menawarkan gerakan tajdid, yaitu penentuan awal bulan Hijriah melalui perhitungan (hisab). Gerakan tajdid tersebut ditentang oleh sebagian ulama saat itu karena penentuan awal bulan Ramadhan memakai ilmu hisab dan ilmu falak, bukan rukyat.
Masalah tersebut mendorongnya tetap memperdalam ilmu falak dan astronomi dengan melakukan perjalanan. Perjalanan itu dimulai dari Riau hingga Singapura dan Kelantan. Syekh Taher wafat tanggal 26 Oktober 1956. Jasa keulamaannya selalu dihormati, dikenang oleh masyarakat Malaysia dan tanah kelahirannya, Minangkabau. (AN)