Stigmatisasi Paham Keagamaan di Sulawesi Selatan dan Bagaimana Peran Kementerian Agama?  

Stigmatisasi Paham Keagamaan di Sulawesi Selatan dan Bagaimana Peran Kementerian Agama?  

Konflik keagamaan seringkali dapat diatasi melalui dialog dan pendidikan, bukan melalui represi atau kekerasan.

Stigmatisasi Paham Keagamaan di Sulawesi Selatan dan Bagaimana Peran Kementerian Agama?   

Sulawesi Selatan, khususnya wilayah Kabupaten Maros dan Gowa, memiliki sejarah panjang sebagai pusat penyebaran Islam di Indonesia Timur. Sejak abad ke-17, Islam telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat di wilayah ini, dengan tradisi keagamaan yang kental dan kuatnya peran ulama lokal. Namun, di tengah kekayaan tradisi keislaman tersebut, munculnya paham-paham keagamaan yang dianggap menyimpang bukanlah hal baru. Fenomena ini seringkali muncul sebagai respons terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang tidak stabil, serta keterbatasan akses terhadap pendidikan agama yang memadai.

Menurut penelitian yang dilakukan Ahmad M. Sewang dalam bukunya Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI sampai Abad XVII (2005), proses Islamisasi di Sulawesi Selatan tidak selalu berjalan mulus. Ada dinamika konflik antara pemahaman keagamaan yang ortodoks dengan praktik-praktik lokal yang dianggap sinkretis. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan memiliki kecenderungan mengadaptasi ajaran Islam dengan konteks lokal, yang kadang-kadang menimbulkan gesekan dengan pemahaman keagamaan yang lebih formal.

 

Tarekat Ana’ Loloa: Antara Mimpi dan Realitas Sosial

Ramai diperbincangkan awal Maret 2025, kasus Tarekat Ana’ Loloa yang dipimpin oleh Petta Bau di Desa Bontosomba, Kabupaten Maros, adalah contoh fenomena ini. Petta Bau, mengklaim menerima ajaran melalui mimpi dan diajari oleh Nabi Khidir, mencerminkan bagaimana narasi spiritualitas lokal seringkali digunakan melegitimasi ajaran baru. Namun, klaim tersebut tidak memiliki dasar teologis yang kuat dalam Islam, terutama ketika ia menyatakan bahwa ibadah haji bisa digantikan dengan ritual di Gunung Bawakaraeng dan menambahkan rukun Islam menjadi 11.

Menurut jurnal Antropologi Indonesia (2018) yang membahas tentang dinamika keagamaan di Sulawesi Selatan, fenomena seperti ini sering muncul di daerah-daerah dengan tingkat literasi keagamaan yang rendah. Petta Bau, yang tidak bisa membaca dan memiliki pendidikan formal sangat terbatas, adalah cerminan dari ketimpangan akses terhadap pendidikan keagamaan yang berkualitas, sehingga membuatnya rentan berbeda dengan interpretasi yang umum diyakini masyarakat setempat.

Dalam menyikapi kasus ini, penting untuk menghindari stigma negatif terhadap Petta Bau dan pengikutnya. Alih-alih menstigma mereka sebagai “sesat atau menyimpang”, pendekatan yang lebih empatik dan edukatif perlu dilakukan. Sebagaimana diungkapkan oleh Danial, Kepala KUA Tompobulu, kemunculan ajaran ini mungkin disebabkan oleh lemahnya pemahaman agama di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, langkah pendidikan dan pendampingan menjadi kunci utama mengatasi persoalan ini. Danial sadar, tugas Kepala KUA tidak boleh asal menuduh sesat atau menyimpang terhadap kelompok tertentu.

Pendekatan persuasif dan edukatif yang diusulkan oleh Kementerian Agama sejalan dengan penelitian yang dilakukan Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994). Bruinessen menekankan bahwa konflik keagamaan seringkali dapat diatasi melalui dialog dan pendidikan, bukan melalui represi atau kekerasan. Dalam konteks ini, Kementerian Agama perlu memperkuat peran majelis taklim, pesantren, dan lembaga pendidikan agama informal dan lainnya guna memberikan pemahaman keagamaan yang komprehensif.

 

Peran Kementerian Agama dan Kearifan Tradisi

Penghormatan terhadap tradisi merupakan salah satu dari empat komponen moderasi beragama. Kementerian Agama, baik di tingkat pusat maupun daerah, memiliki peran strategis memperkuat komponen tersebut khususnya dalam menangani kasus-kasus seperti ini. Pertama, Kementerian Agama perlu memperkuat Tim Deteksi Dini dan Penanganan Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan Berbasis Masyarakat dengan melibatkan lebih banyak pihak, termasuk tokoh adat, ulama lokal, dan organisasi masyarakat. Hal ini penting karena tokoh-tokoh lokal memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini masyarakat.

Kedua, Kementerian Agama perlu meningkatkan program-program pendidikan agama yang inklusif dan mudah diakses oleh masyarakat di daerah terpencil. Program ini harus dirancang tidak hanya memberikan pemahaman keagamaan yang benar, tetapi juga membangun kesadaran kritis terhadap ajaran-ajaran yang dianggap menyimpang oleh keyakinan mayoritas setempat.

Ketiga, pendekatan kearifan lokal harus menjadi prioritas. Sebagaimana diungkapkan oleh Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973), setiap masyarakat memiliki cara tersendiri dalam memahami dan mempraktikkan agama. Oleh karena itu, Kementerian Agama perlu bekerja sama dengan tokoh-tokoh lokal mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan kearifan tradisi yang sudah ada tanpa meninggalkan pokok ajaran.

 

Penutup

Kasus Tarekat Ana’ Loloa di Desa Bontosomba adalah cerminan dari rumitnya dinamika keagamaan di Indonesia. Di satu sisi, fenomena ini menunjukkan ada ketimpangan dalam akses terhadap pendidikan agama yang berkualitas. Di sisi lain, ini juga mengingatkan kita akan pentingnya pendekatan yang simpatik dan edukatif dalam menangani persoalan keagamaan tanpa kekerasan.

Kementerian Agama, bersama dengan berbagai pihak terkait, harus mengambil peran aktif mendidik masyarakat dan mencegah penyebaran ajaran yang menimbulkan persoalan di tengah masyarakat. Namun, langkah-langkah yang diambil harus selalu mempertimbangkan kearifan tradisi setempat dengan menghindari pendekatan yang represif. Dengan demikian, harmoni sosial dan ketahanan keagamaan di Sulawesi Selatan dapat terus terjaga.

Mengutip laman resmi Kementerian Agama, pandangan Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah Kementerian Agama, Arsad Hidayat, menekankan pentingnya peran aktif Tim Deteksi Dini dan Penanganan Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan dalam merespons setiap gejala konflik keagamaan di masyarakat adalah langkah yang bisa segera dilakukan oleh Kepala KUA Tompobulu dan berbagai pihak lintas sektoral dalam menangani kasus Tarekat Ana’ Loloa. Menurut Arsad, sinergi antara pemerintah, ormas keagamaan, dan stakeholder lainnya menjadi kunci mencegah eskalasi ketegangan dan konflik serta menjaga harmoni sosial.

Arsad juga menegaskan bahwa pendekatan persuasif dan edukatif harus terus diutamakan dalam menangani kasus-kasus serupa. Dengan memberikan pemahaman keagamaan yang benar dan mendalam, diharapkan masyarakat dapat terhindar dari ajaran-ajaran yang bisa menimbulkan persoalan. Kolaborasi antara Kementerian Agama, dan ormas keagamaan lainnya dinilai penting mendidik individu dengan cara yang manusiawi seperti Petta Bau dan pengikutnya, sekaligus memperdalam pendekatan advokasi memperkuat ketahanan komunitas keagamaan di negeri yang sangat majemuk ini.

(AN)