
Para petugas kerajaan sibuk menyiapkan berbagai kudapan berbuka puasa di dapur-dapur yang khusus dibangun menjelang Ramadan. Sebagian ada yang menyiapkan minuman, sebagian lagi membersihkan tempat-tempat yang dijadikan tempat makan bersama.
Aroma makanan mengiringi persiapan buka tersebut. Menggoda selera siapapun yang sedang menahan puasanya. Hidangan itu memang disiapkan khusus ketika Bulan Ramadhan.
Di sudut lain, tampak Hajjaj al-Tsaqafi (w. 95 H) Gubernur Iraq di dinasti Umayyah ikut menata meja jamuan. Ia menyiapkan 1000 meja makanan yang ia sendiri turut serta menata langsung isinya. Ia taruh satu persatu lauk ke dalam nampan tersebut. Dalam setiap meja, ia menyiapkan 40 roti, senampan daging besar, nasi, cuka dan sayuran sebagai pelengkap.
Dengan perlahan ia berkeliling memantau persiapan setiap meja-meja tersebut, sesekali bertanya kepada pengikutnya, “Bagaimana, ada yang kurang?”
“Tentu, tidak, ini sudah sempurna tuan” jawab pengikutnya
Sebagai sosok yang dikenal dalam sejarah sebagai tokoh bengis, ternyata ia memiliki kepedulian yang luar biasa ketika di Bulan ramadhan. Kisah ini diabadikan oleh al-Baladziri dalam Ansab al-Asyraf.
Budaya Berbagi Takjil
Fragmen di atas, adalah salah satu contoh dari budaya pemberian takjil untuk berbuka yang sudah ada sejak zaman klasik. Fenomena ini bukanlah muncul baru-baru ini. Lebih dari itu, budaya ini sudah mengakar panjang dalam sejarah umat Islam tersendiri.
Di Indonesia sendiri budaya berbagai takjil ini bisa kita temukan ketika sore hari menjelang berbuka, ketika anda berjalan di salah satu sudut kota pasti bisa ditemukan beberapa orang sedang membagikan takjil di jalan raya. Pun hampir di setiap masjid se-Nusantara biasanya melakukan hal serupa, menyediakan takjil dan makanan untuk berbuka. Semua seakan berlomba-lomba untuk menebar kebaikan, memberikan fasilitas berbuka kepada sesama.
Tradisi berbagi takjil ini tidak hanya ada di nusantara, di berbagai belahan dunia dengan penduduk Muslim juga memiliki budaya serupa. Jika kita tengok di Mesir, di sana ada budaya Maidah Rahman. Ketika waktu berbuka akan datang, mereka menyiapkan meja panjang yang berisi makanan yang bisa dimakan secara gratis untuk berbuka.
Anjuran Nabi: Memberi Takjil Sama dengan Berpuasa
Secara moral, sebenarnya budaya ini bersumber dari pesan Rasulullah Saw dalam hadisnya. Dalam sebuah riwayat Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ
“Orang yang memberi buka kepada orang yang berpuasa, maka ia akan mendapat pahala sebagaimana orang yang berpuasa.” (HR. Baihaqi)
Bahkan dalam riwayat At-Turmudzi terdapat tambahan redaksi:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barang siapa yang memberi buka kepada orang yang berpuasa, maka ia akan mendapat pahala sebagaimana orang yang berpuasa, bahkan sama sekali tidak mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut.” (HR. Tirmidzi)
Dalam praktiknya, kemudian para sahabat yang mendengar hadis ini pun mengamalkannya dengan mengajak dan memberikan buka puasa kepada orang terdekatnya, sesuai dengan kemampuan.
Siapa yang Pertama Kali Berbagi Takjil?
Sebenarnya semenjak zaman Nabi dan berlanjut hingga era Khulafaur Rasyidin, para sahabat sudah berlomba-lomba untuk bersedekah, memberi takjil, dan memberi buka puasa kepada sesama. Hal ini tentu bersumber dari semangat hadis yang sudah disebut di awal tadi. Sebagaimana diriwayatkan at-Thabari, ketika di zaman era Utsman bin Affan, disediakan minuman-minuman di Masjid Nabawi yang diperuntukkan orang yang berbuka puasa dan beribadah di masjid.
Akan tetapi yang tercatat dalam sejarah dan membuat jamuan dalam jumlah yang besar dan dalam cakupan yang lebih luas adalah Ubaidillah bin Abbas bin Abdul Mutholib (w. 58 H), yang tidak lain merupakan saudara kandung dari Abdullah bin Abbas yang masyhur. Sebagaimana dicatat oleh sejarawan Mesir Ibn Abik al-Dawadariy (w. 736 H) dalam Kanz al-Durar wa Jami’ al-Ghurar kala menceritakan Ubadillah bin Abbas yang dikenal sebagai saudagar yang dermawan:
وعُبيد الله بن العبّاس بن عبد المطّلب كان أوّل من فطّر جيرانه في شهر رمضان، وأوّل من وضع الموائد على الطريق ودعا إلى طعامه في الإسلام
“Abdullah bin Abbas merupakan orang yang pertama kali berinisiatif memberikan buka puasa kepada tetangga-tetangganya, dan orang pertama yang menyediakan hidangan berbuka di pinggir jalan dalam sejarah Islam.”
Takjil Sebagai Kebijakan Negara
Budaya berbagi takjil dan buka puasa pun terus lestari. Bahkan dalam era selanjutnya, budaya ini resmi menjadi salah satu kebijakan politik. Memberi takjil dipandang sebagai salah satu manuver politik yang bisa mengentaskan salah satu masalah kemiskinan komunal masyarakat.
Di era Khalifah al-Nashir li Dinillah (w. 622 H) pada bulan puasa tahun 604 H memerintahkan staffnya untuk membangun sebuah tempat perjamuan makan khusus untuk berbuka orang-orang fakir miskin. Proyek ini mendapatkan pendanaan resmi dari negara. Tempat itu ia namakan sebagai Dar al-Dziyafah. Dari tempat tersebut dibagikan kepada setiap orang miskin mendapat satu paket makanan dan daging.
Kebijakan tersebut kemudian diteruskan oleh cucunya, yang kelak juga menjadi khalifah yakni Khalifah al-Mustanshir (w. 640 H), dalam masa pemerintahannya ia kemudian mengembangkan dar al-dziyafah yang telah dirintis tersebut dengan memperluas dan menambah aset sehingga bisa memberikan takjil dan buka yang lebih banyak.
Ragam Takjil yang Jor-Joran
Setelah era itu, tidak hanya khalifah saja yang berkontribusi dalam pemberian takjil secara gratis. Semua komponen masyarakat yang mempunyai harta lebih dan juga kemampuan pun juga berlomba-lomba dalam usaha mulia ini. Tak tanggung-tanggung nominal yang dikeluarkan pun juga terbilang fantastis.
Malik ibn Thuq al Taghlabiy seorang gubernur di Damaskus, juga di era kerajaan Abbasiyah, sebagaimana direkam oleh al-Hafidz Ibnu Asakir dalam Tarikh Madinah Dimasyq. Ia punya kebiasaan, setelah menunaikan ibadah sholat maghrib di masjid Jami’, ia mengumumkan kepada semua jamaah dengan suara yang cukup keras di depan pintu tempat jamuan yang telah ia siapkan;
“Wahai orang-orang yang dirahati Allah, sudah waktunya berbuka!”
Ia tidak membedakan siapapun yang hendak menikmati santapan berbuka tersebut. Dengan kedermawanannya itu, tak butuh waktu lama makanan yang sudah ia siapkan itu cepat ludes.
Imam Ibnu Katsir dalam ‘Al-Bidayah wa al-Nihayah’ juga mencatat bahwa “Sultan Alp Arslan (w. 465 H/1074 M), yang dijuluki ‘Sultan Dunia’… biasa bersedekah sebanyak lima belas ribu dinar setiap bulan Ramadan yang setara dengan sekitar tiga juta dolar AS. Al Janadi mencatat, anggaran yang dikeluarkan oleh Surur al-Fatiki al-Habsyi (w. 551 H) seorang wazir di Yaman sebanyak 1000 dinar.
Itulah beberapa sejarah pembagian takjil yang sudah pernah dilakukan pada zaman dahulu. Semoga kita bisa meniru dan meneladani aksi-aksi baik ini di bulan puasa, juga bulan-bulan yang lain. Amin.
(AN)