Di Indonesia, dalam ibadah shalat, kita diajarkan menutup seluruh anggota tubuh, kecuali tampak muka dan telapak tangan. Beberapa mukena bahkan punya varian sampai menutup bahu tangan, jadi yang nampak benar-benar telapak tangan.
Tentu saja itu tidak salah, beberapa mazhab memang menyebutkan demikian. Mayoritas kita, bahkan pengikut Syafi’i. Maka, ketika shalat, yang tampak dari perempuan hanya muka saja. Tangan tertutup mukena yang panjang.
Tetapi di sini, di Islamabad, ketika saya shalat magrib di Masjid Faisal, saya temukan banyak sekali perempuan shalat dengan bahu kaki dan telapak kaki yang terbuka. Awalnya saya ragu, apalagi mukena saya tertinggal di hotel. Saya penasaran, bertanya dengan seorang jama’ah, lalu ia mengatakan, “di sini biasa menerapkan Madzhab Hanafiyah.”
Saya juga menyaksikan, ada beberapa perempuan bercadar, niqob, ketika shalat membuka wajah mereka. Dan membuka bagian luar baju mereka yang panjang hingga menyapu lantai, lantas berganti dengan pakaian lain untuk shalat.
Saya melihatnya, mereka biasa saja, ngobrol dengan saya. Selesai shalat, mereka tutup lagi wajah dan berganti baju tadi. Saya bertanya, ia katakan, khawatir terkena najis, maka baju bagian luar dibuka/diganti. Hmmmm…saya mengangguk, tanpa ia menjelaskan tentang mazhab apa, saya langsung ingat Madzhab Syafi’i jika soal hadats, najis, dan thaharah.
Maka, saya pun menjadi mantap. Shalatlah saya tanpa menutup telapak kaki. Tanpa merasa bersalah, ataupun berdosa. Tetapi hanya merasa seperti tidak lazim saja.
Oya, saya juga ingin katakan, mereka lalu lalang di depan orang shalat biasa saja. Kalo kita kan masih ada etika, tidak ada yang melakukan hal itu tho ketika shalat di masjid, paling tidak menunggu sampai orang yang shalat itu rukuk atau sujud.
Beberapa dari kita, malah menafsirkan melewati orang yang sedang shalat boleh ditebas kakinya dengan sangat-sangat kaku. Pada intinya, hampir jarang kita temui melewati orang yang sedang shalat di depannya. Lagi-lagi saya penasaran dan bertanya, mereka jawab, “tak ada hubungannya antara kamu shalat menyembah Tuhanmu, dengan saya lewat depanmu.” Benar memang, walau tanpa argumen hadist.
Lalu saya ingin bertanya pada kita semua. Pernahkan anda melihat seorang perempuan shalat di masjid di Indonesia, tanpa menutup kakinya? Mungkin pemandangan seperti ini akan jarang kita temui di Indonesia. Umumnya kaki tertutup.
Jikapun ada yang berani kaki terbuka, bisa jadi terjadi hanya di ruang privat dan kalaupun berani di ruang publik, saya duga, ia harus siap di-bully, terkenal di sosial media, lalu ditangkap sebagai pencemaran ajaran agama. Paling tidak, itulah fenomena kita saat ini.
Ketiga hal di atas, soal niqob, shalat dengan telapak kaki terlihat, dan melewati orang yang sedang shalat fenomena yang biasa. Sangat biasa di Islamabad. Tidak ada pertentangan. Tidak ada perdebatan.
Membandingkan situasi di Pakistan dengan di Indonesia dalam hal ibadah shalat, penting bagi kita untuk berefleksi. Bagi saya, Anda, dan kita semua. Kita tidak terbiasa melihat sesuatu yang berbeda, identitas berbeda, budaya berbeda, bahkan yang satu agama sekalipun.
Sering sekali perbedaan itu, mengarah pada kondisi saling hujat dan tuduhan penodaan agama. Nampaknya penting bagi kita memahami apa yang diungkap oleh Bhiku Parekh tentang identitas. Yang juga dibahas oleh Amartya Sen, pentingnya memperluas identitas, untuk melihat banyaknya kemungkinan perbedaan yang bukan untuk perselisihan, tetapi untuk belajar.
*selengkapnya, bisa klik di sini