Tidak ada keraguan dan perbedaan di antara tokoh dan ulama sejak dahulu kala, termasuk kita hari ini, bahwa sumber utama ajaran untuk segala hal, bil khusus menggali hukum Islam, adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw.
Kendati Imam Syafi’i, misal, dikenal sebagai peletak batu pertama Ushul Fiqh yang tentunya mencerminkan kecenderungan besarnya untuk mempergunakan ra’yu (akal, nalar) dengan luas hingga digolongkan ke dalam kelompok Mutakallimin –berbeda dengan Imam Malik yang dikenal sebagai Ahlu Hadis yang ketat—beliau tetap mengatakan: “Jika ada di antara pendapatku yang kemudian diketahui bertentangan dengan Sunnah Rasul Saw, maka ikutilah Sunnah tersebut, dan tinggalkanlah pendapatku.”
Sikap serupa juga diperlihatkan dengan tegas oleh pengembang terkemuka ilmu Ushul Fiqh generasi berikutnya, yakni Imam Ghazali yang sekaligus meletakkan pilar-pilar Maqashid al-Syariah yang sangat luar biasa manfaatnya hingga hari ini. Itu hanya sejumlah contoh kecil ihwal sepakatnya semua ulama tentang otoritas utama al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw.
Mari kita urut dulu.
#1 Al-Qur’an.
Surat Al-Baqarah ayat 2 menegaskan: dzalika al-kitabu la raiba fihi hudan li al-muttaqin, (itulah kitab (al-Qur’an) yang tiada keraguan sedikit pun di dalamnya sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa).
Cukuplah kiranya satu ayat itu menjadi tulang punggung bagi kemutlakan kebenaran al-Qur’an, serta kewajibannya bagi semua muslim untuk semata mengikutinya.
Akan tetapi, faktanya, kita semua tahu bahwa al-Qur’an menyajikan kandungannya dalam dua karakter dan bentuk, yakni: muhkamat (ayat-ayat yang terang maksud hukumnya); dan mutasyabbihat (ayat-ayat yang samar maksud hukumnya). Kondisi faktual ini lalu menisbatkan dua keadaan berikutnya: qath’iyah dalalah (jelas arah tujuan hukumnya); dan zhanniyah dalalah (samar arah tujuan hukumnya).
Yang qath’iyah bersifat mutlak hukumnya sesuai bunyi teksnya tanpa memerlukan penafsiran manusia lagi. Sementara, yang zhanniyah masih bersifat samar, sehingga logis untuk mengundang penafsiran, penakwilan, dan pemahaman manusia.
Contoh qath’iyah dalalah ialah ayat aqimu al-shalat (dirikanlah shalat). Mendirikan shalat wajib hukumnya, tanpa perlu dalih dan tafsir apa pun. Contoh zhanniyah dalalah ialah ayat wa syawirhum fi al-amri (bermusyawarahkanlah dalam urusannya). Bagaimana cara dan bentuk musyawarah itu, tentu diperlukan kajian, penalaran, dan ulasan lebih luas, detail, dan kontekstual.
Istilah qath’iyah dan zhanniyah dalalah itu ada juga yang menyebutnya mufashshalat (detail jelas) dan ghairu mufashshalat (tidak detail dan jelas). Ada pula yang menyebut mujmal (global) dan ghairu mujmal (khusus, tidak global).
Penelitian Abdul Wahab Khalaf mengungkap fakta rigid pada kita bahwa dari total 6.236 ayat dalam al-Qur’an, hanya ada 500 ayat, atau sekitar 8%, yang berkategori ayat-ayat muhkamat. Selebihnya, berkategori ayat-ayat mutasyabihat.
Akan tetapi, berpagi-pagi penting saya tegaskan di kursi pemahaman ini bahwa: pertama, pengategorian ayat-ayat al-Qur’an dalam dua bentuk itu (qath’i dan zhanni) janganlah sampai membuat kita jemawa untuk mengutak-atik kandungan al-Qur’an atas dasar nafsu menuhankan akal, nalar, dan ilmu. Tidak. Ingat selalu bahwa al-Qur’an adalah kudus, sakral, mutlak kebenarannya.
Kedua, tidak serta-merta dominannya jumlah ayat yang zhanniyah dalalah itu menjadi pembenar bagi kita untuk memandang dan mengatakan bahwa al-Qur’an tidak mengandung kepastian hukum (Islam). Tidak.
Imam asy-Syatibi dalam Al-Muwafaqat mengingatkan bahwa sekalipun kebanyakan ayat al-Qur’an bersifat zhanniyah, penyimpulan dan pemahaman hukum terhadap ayat-ayat demikian ketika digabung sesuai kelompoknya menjadikan ayat-ayat itu berstatus qath’iyah dalalah. Inilah yang lalu dikenal dengan metode tafsir tematik (maudhu’i).
Ketiga, istilah-istilah ini tidak ada dalam khazanah ilmu tafsir, tetapi Ushul Fiqh. Hal ini mudah dimengerti karena lingkup ilmu tafsir adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara keseluruhan satu demi satu, adapun ilmu Ushul Fiqh berfokus pada persoalan-persoalan hukum tertentu yang berfondasikan di antaranya kepada sumber-sumber tafsir al-Qur’an beserta berbagai konteks hukum dan realitas yang dihadapi.
Keempat, karenanya, memahami satu disiplin ilmu saja, misal tafsir al-Qur’an, tidak serentak menjadikan otoritatif bagi seseorang untuk mengeluarkan suatu fatwa hukum, begitu pun sebaliknya dengan hanya berbekal ilmu Ushul Fiqh, tidak otoritatif bagi seseorang untuk mengeluarkan fatwa hukum. Sang mufti haruslah benar-benar ahli pelbagai disiplin ilmu.
Bayangkan kini bila kita hanya karena tahu satu ayat, satu hadis, lalu gegabah ceroboh berani mengeluarkan tafsir atau fatwa hukum. Pasti ia tertolak—bahkan lancang. Mari hati-hati.
Kesimpulannya adalah keluasan karakter ayat-ayat al-Qur’an itu bisa menjadi medan kajian dan penelitian bagi umat Islam untuk terus menggali pemahaman secara produktif dengan berdasar keilmuan-keilmuan yang otoritatif. Inilah di antara kemukjizatan al-Qur’an, sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi alam semesta hingga akhir zaman, karena ia selalu relevan dengan segala zaman dan keadaan (shalih likulli zaman wa makan).
#2 Sunnah Rasul Saw
Sunnah adalah segala ucapan, perbuatan, dan pembenaran Rasulullah Saw kepada ucapan dan perbuatan sahabat-sahabatnya. Statusnya menempati posisi utama kedua setelah al-Qur’an dalam hierarki sumber-sumber ajaran d/a hukum Islam.
Rasulullah Saw sendiri merupakan penafsir pertama terhadap ayat-ayat al-Qur’an, sekaligus pemberi contoh teladan langsung perihal apa-apa yang dimaksudkan oleh Allah Swt melalui ayat-ayatNya. Dalam proses penafsiran dan peneladanan langsung ini, Rasulullah Saw dituturkan mengalami berbagai situasi khusus.
Ada yang langsung diberikan jawabannya atas suatu hal oleh Allah Swt melalui penurunan suatu ayat (ini bisa kita ketahui dari khazanah ilmu Asbab al-Nuzul, sebab-musabab turunnya ayat).
Ada pula yang berdasar kepada ijtihad atau inisiatif Rasulullah Saw dan tidak ada ayat yang diturunkan untuk merevisinya kemudian. Artinya, langkah itu dibenarkan oleh Allah Swt.
Plus, ada yang kemudian diberi koreksinya oleh Allah Swt melalui penurunan ayat. Tegasnya, Rasulullah Saw dalam merisalahkan Islam senantiasa berada dalam bimbingan Allah Swt. Maka logis bila seluruh Sunnahnya yang mutawatir—bisa dipertanggungjawabkan kebenaran sanad (mata-rantai) dan matan-nya (muatan lokal teks)— wajib untuk kita terima sebagai kebenaran yang haq, datangnya dari Allah Swt.
Tetapi, memang perihal memastikan kualitas kebenaran suatu Sunnah (hadis) sangat pelik pencermatannya. Dalam ilmu Musthalah al-Hadis, salah satu cabang keilmuan hadis, dikenal berbagai tingkatan hadis dengan menunjuk kepada kualitas kesahihannya. Dari yang berderajat sahih (benar pasti), hasan (baik derajatnya, tapi belum sampai sahih), dhaif (lemah), maudhu’ (palsu), kemudian ahad (diriwayatkan oleh satu orang saja), mursal (hadis yang diragukan kebenaran/kelemahannya), hingga munkar (periwayatnya tidak meyakinkan), dll.
Ini belum lagi bila kita masuk ke bidang riwayah (jalur periwayatan) dan dirayah (kandungan lengkap kualitas periwayatannya). Atau perihal sanad (jalur riwayat) dan matan (kandungan hadis). Maka lalu ada lagi disiplin ilmu khusus yang mempelajari tentang otoritas para periwayat hadis, disebut ilmu Rijalu al-Hadis.
Hanya hadis sahih yang mutlak wajib dijadikan dasar sumber suatu hukum. Perihal hadis hasan, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menjadikannya sumber hukum sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis sahih, ada pula yang menolaknya.
Status yang sama juga terjadi pada hadis dhaif dan maudhu’. Namun demikian, penolakan sebagian ulama kepada hadis yang bersatus tidak sahih sebagai sumber hukum Islam tidak serta-merta menjadikan khazanah hadis tidak sahih itu tiada guna. Sepanjang muatan hadis-hadis demikian tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis sahih, maka ia boleh dijadikan rujukan pemahaman-pemahaman.
Ringkasnya, hadis merupakan sumber kedua hukum Islam yang disepakati penuh oleh para ulama sejak dahulu kala. Tetapi, mari pahami, janganlah gegabah menukil suatu hadis untuk mengatakan hal ini halal atau haram. Itu sama sekali tak cukup. Dibutuhkan kepastian kesahihannya, dan tentu pula korelasinya secara lengkap dan utuh dengan sumber al-Qur’an, serta status-status kesahihannya yang amat luas tadi.
Sampai di sini, terlihat jelas bahwa sungguh hanya para ulama cum ahlinya saja yang patut untuk mengeluarkan fatwa hukum Islam. Bukan sembarang orang, apalagi semua orang, dengan semata bermodal entry Google.
BACA JUGA Jika Milenial Hanya Belajar Islam lewat Google Saja