
Linimasa media sosial kita, khususnya Instagram dan Tiktok, dipenuhi banyak video atau desain grafis yang diunggah menggunakan sebuah syair unik berbahasa Arab yang dikenal dengan syair Thab-Thab. Dari mulai publik figur, konten kreator, para ustadz, hingga masyarakat biasa, semuanya latah menggunakan sound “Thab-Thab” ini. Terbaru, saya terpapar konten video yang menampilkan ustadz Adi Hidayat membacakan syair tersebut dengan lengkap tanpa membaca teks.
Pada konten-konten yang lain, ada juga seorang anak yang mengunggah konten setoran, bukan Alfiyah, Imrithy, atau Al-Quran, melainkan syair Thab-Thab ini. Postingan tersebut pun dibanjiri komentar dan like. Sound viral ini kini masih menggema di telinga saya karena semakin banyak konten kreator, bahkan orang-orang yang saya kenal.
(Klaim) Sejarah Syair Thab-Thab
Yang paling menarik di antara postingan yang ada, adalah konten yang menceritakan latar belakang di balik syair Thab-Thab ini. Menurutnya syair ini sudah ada sejak zaman salah satu Khalifah Abbasiyah, yaitu Abu Jafar al-Manshur.
Ceritanya begini, Khalifah Abbasiyah, Abu Ja’far al-Mansur adalah sosok yang sangat memperhatikan seni puisi, namun dengan cara yang unik dan terkadang menyulitkan para penyair. Khalifah ini memiliki kebiasaan untuk menguji kemampuan penyair dengan ketat. Ia akan mendengarkan puisi yang dibacakan dan jika puisi tersebut adalah karya asli penyair, ia akan memberinya imbalan yang setimpal. Namun, jika puisi itu adalah hasil tiruan, maka tidak ada imbalan yang akan diberikan. Dalam suasana yang penuh tekanan ini, para penyair merasa tertekan, karena mereka harus berjuang keras untuk menciptakan karya yang tidak hanya orisinal, tetapi juga mampu menarik perhatian khalifah.
Suatu malam, para penyair berkumpul dalam keputusasaan, mengeluhkan nasib mereka yang selalu kalah oleh ingatan luar biasa dari pelayan khalifah. Mereka bercerita tentang bagaimana setiap kali mereka menciptakan puisi baru, selalu ada pelayan yang dapat mengingatnya setelah mendengarnya sekali, dan seorang gadis yang dapat menghafalnya setelah tiga kali. Dalam kebingungan dan keputusasaan, mereka merasa seolah-olah semua usaha mereka sia-sia. Namun, di tengah kerumunan itu, muncul sosok yang dikenal sebagai al-Ashmai, seorang penyair yang cerdik dan berpengalaman. Ia mendengarkan keluhan mereka dengan seksama dan berjanji untuk membantu.
Al-Ashmai kemudian merancang rencana yang brilian. Ia menulis puisi yang penuh warna dan beragam tema, lalu menyamar sebagai seorang pengembara. Dengan penampilan yang sederhana, ia pergi ke istana untuk mempersembahkan karyanya kepada khalifah. Ketika ia dihadapkan pada Abu Ja’far al-Mansur, ia dengan percaya diri menjelaskan bahwa ia memahami semua syarat yang ditetapkan. Khalifah, yang penasaran, meminta al-Ashmai untuk membacakan syairnya. Syair itulah yang kini dikenal dengan syair Thab-Thab.
Dalam momen itu, al-Ashmai tidak hanya berhasil mengesankan khalifah, tetapi juga mengembalikan harapan bagi semua penyair yang merasa tertekan. Ketika al-Aṣma’ī selesai membacakan puisinya, khalifah tertegun dan memanggil pelayan serta gadis yang biasa menghafal puisi. Mereka mengaku tidak pernah mendengar puisi itu sebelumnya. Khalifah, yang merasa terjebak dalam situasi yang rumit, meminta al-Ashmai untuk menunjukkan bukti bahwa puisi tersebut ditulis di atas sesuatu yang berharga. Al-Ashmai yang saat itu masih menyamar sebagai seorang A’rabi menjawab bahwa ia telah menulisnya di atas sebuah tiang marmer yang diwarisi dari ayahnya, dan tiang itu hanya bisa diangkat oleh sepuluh prajurit.
Setelah tiang itu dibawa dan ditimbang, sang menteri mulai curiga dan mengetahui bahwa orang tersebut adalah al-Aṣma’ī. Identitasnya pun terungkap, khalifah menegurnya, “Beginikah yang engkau lakukan pada pemimpinmu, wahai al-Ashmai?” Sang penyair dengan berani menjelaskan bahwa tindakan khalifah telah merugikan para penyair. Khalifah akhirnya setuju untuk memberikan hak kepada para penyair, dan al-Aṣma’ī pun menuntut agar mereka dihargai atas karya mereka, baik yang asli maupun yang terinspirasi.
Kisah ini bisa ditemukan dalam “I’lam an-Nas bi Ma Waqa’a Lil Buramikati ala Bani Abbas,” yang ditulis oleh Muhammad Diyab al-Itilidi (w. 1100 H). Waisy Syeikh al-Yasui juga mengutip kisah di atas dalam kitabnya Majan al-Adab min Hadaiq al-Arab. Selain itu, penulis juga menemukan kisah yang sama di situs web Wikisource berbahasa Arab.
Dibantah Para Ulama: Bukan Milik al-Ashmai
Dalam kitab al-Is’af al-Akhyar bi Ma Isytahara wa lam Yasih min al-Ahadits wa al-Atsar wa al-Qashash wal Asy’ar, Muhammad bin Abdullah Bamusi menyebut bahwa Syair tersebut sangat diragukan berasal atau ditulis oleh Imam al-Ashmai. Menurutnya, ada beberapa hal yang membuat sejarah Syair ini tertolak dan bukan dari al-Ashmai.
Pertama, penulis kitab. Menurut Imam al-Zarakli dalam al-Alam, dua nama yang mengutip (menulis) sejarah latar belakang syair di atas bermasalah. Muhammad Diyab al-Itilidi (w. 1100 H) misalnya, disebut sebagai orang yang Majhul, sejarah hidupnya tidak diketahui oleh para penulis sejarah, khususnya kitab-kitab besar seperti al-A’lam. Waisy Syeikh al-Yasui (w. 1346 H) juga bermasalah. Ia dianggap menulis berdasarkan dasar dan sumber-sumber yang bermasalah.
Kedua, Abu Ja’far al-Manshur telah wafat sebelum al-Ashmai terkenal. Sejarah hidup dan kemasyhuran al-Ashmai muncul pada masa khalifah Harun al-Rasyid. Ini jelas mengindikasikan bahwa ada ketidaksesuaian kisah dengan sejarah yang ada. Dari hal ini bisa disimpulkan bahwa kisah tersebut adalah rekaan.
Ketiga, substansi Syair yang berisikan hal-hal terlarang dalam agama, seperti minuman keras, tarian, gairah seksual dan semacamnya. Ini jelas bertentangan dengan kredibilitas al-Asmai sebagai seorang ulama. Mengingat al-Ashmai adalah seorang ulama yang disegani.
Dari beberapa penjelasan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa kisah yang diklaim mengiringi Syair yang kini viral itu sangat diragukan keabsahannya. Namun bukan berarti tidak bisa diucapkan, dihafalkan, atau digunakan sebagai sound Instagram. Ada baiknya memang melakukan pengecekan ulang ketika ada sesuatu yang menyangkut sejarah.
Wallahu a’lam.