Keberadaan rumah sakit di era kekinian sangatlah vital. Semakin banyak berdiri rumah sakit di suatu negara menunjukkan kemapanan sebuah bangsa dalam urusan kesehatan. Kemapanan itu berarti secara keilmuan dan infrastruktur mumpuni ketika berhadapan dengan kebutuhan pengobatan terhadap segala penyakit yang menjangkiti penduduk suatu negara. Semakin banyak penyakit dikenali semakin tinggi pula kebutuhan rumah sakit sebagai tempat pengobatan.
Dalam sejarah Islam awal, rumah sakit lebih merupakan layanan pengobatan yang bergerak mengiringi mobilitas tentara Islam. Setiap pertempuran yang pernah terjadi di zaman rasulullah tak lepas dari peran tenaga medis ini. Tugasnya merawat dan mengobati tentara yang sakit dan terluka.
Meskipun dalam segi peralatan dan keterampilan masih sangat sederhana, keberadaan tenaga medis ini sangat penting. Sebab dalam setiap pertempuran tidak mungkin tak ada tentara yang terluka dan terserang suatu penyakit, sehingga butuh penanganan dan pengobatan yang tanggap.
Puncaknya, cikal bakal rumah sakit abad ke 6 M di era rasulullah menurut pelacakan Rahman (2004) dalam “The Development of the Health Sciences and Related Institutions During the First Six Centuries of Islam” menyebutkan ketika nabi pulang dari Perang Khandaq bersama tentara yang terluka, beliau memerintahkan agar didirikan tenda di area Masjid Nabawi sebagai tempat pengobatan. Inilah awal kali berdiri tempat pelayanan kesehatan yang menetap tidak seperti sebelumnya. Meskipun belum disebut sebagai institusi kesehatan yang mapan atau permanen.
Bangunan rumah sakit Islam permanen pertama dijumpai ketika zaman al-Walid (705-715 M). Di era khalifah Umayyah ini diyakini berdiri tempat penanganan untuk orang buta dan pengobatan bagi pasien terjangkit lepra. Atau menurut sebagian sumber, paling tidak kala itu terdapat Standard Operational Procedure (SOP) yang digunakan sebagai acuan penanganan bagi penderita lumpuh dan lepra juga pasien buta. Awalnya, rumah sakit disebut dengan bimaristan, yaitu bahasa Persia yang berarti “tempat orang sakit” yang berdiri di kota Damaskus. Di tempat kesehatan ini sudah melibatkan sejumlah tenaga ahli kesehatan dan apoteker yang bergaji.
Bimaristan yang dapat terlacak secara administratif di era selanjutnya ialah institusi kesehatan yang dibangun oleh Khalifah fenomenal dinasti Abbasiyah, Harun al-Rashid (786-803 M). Meskipun keterangan manuskrip hanya sedikit memberitahukan pengelolaan lembaga bimaristan ini. Hanya saja yang bisa dicatat, ada dokter bernama Abu Sa’id Ubaid Allah b. Bakhtyashu (940–1058 M). Ia adalah keturunan dari keluarga dokter Kristen yang hijrah dari Judhishapur ke Baghdad pada 765 M. Diceritakan keluarga dokter ini punya peran penting dalam perkembangan institusi kesehatan kala itu karena menjadi bagian dari tim dokter pengadilan. Artinya, saat itu ada pelibatan tenaga medis non-muslim di lembaga kesehatan Islam.
Setelah seratus tahun kemudian, terlacak ada setidaknya lima bimaristan yang berdiri di Baghdad. Sekitar awal abad 10 Masehi seorang Wazir kala itu mengeluarkan kebijakan agar pemerintah menyediakan layanan kesehatan rutin bagi tahanan dan warga pelosok desa di Baghdad dengan cara menyediakan dokter dan apoteker dari bimaristan yang mendatangi mereka setiap hari.
Pada waktu itu di antara bimaristan yang utama di Baghdad yaitu yang didirikan pada tahun 982 M oleh Amir ‘Adud al-Daulah yang konon memperkerjakan sekitar 25 doktor termasuk ahli okologi, bedah dan tulang.
Menurut lansiran United State National Library of Medicine, hal menarik dari Islam dalam urusan kesehatan adalah prinsip egaliter. Rumah sakit Islam pada mulanya sangat memegang prinsip tidak membedakan pelayanan berdasarkan status sosial dan finansial; antara sipil dan militer, kaya dan miskin, pria dan wanita, dewasa dan anak-anak, bahkan muslim dan non-muslim. Layanan rumah sakit sangat bersifat sekular karena memposisikan sebagai tempat bagi semua golongan tanpa melibatkan sentimen ras maupun agama.
Belajar dari sejarah keberadaan rumah sakit Islam pada masa lalu yang egaliter. Seyogianya hal itu menjadi cambuk bagi umat muslim abad ini ketika berbicara tentang kemanusian, maka tidak lagi ada sekat apapun yang bisa menjadi alasan untuk tidak berempati dan melakukan hal sekecil apapun yang menolong dan membantu. Dan layak apabila profil bimaristan di era awal Islam juga menjadi acuan untuk rumah sakit-rumah sakit sekarang agar selalu memberi pelayanan terbaik hanya demi alasan kemanusian, bukan finansial apalagi status sosial.
Wallahu A’lam.