Ketika agama Kristen masuk ke Nusantara pada abad ke-16 M, sudah banyak penduduk yang memeluk agama Islam. Islam sendiri datang pada abad ke 9-10 M melalui para pedagang Muslim India, Arab, dan Persia. Sejak awal kedatangannya, kedua agama itu sudah diwarnai oleh suasana kurang baik. Sebelum masuk ke Nusantara kedua agama itu telah terlibat persaingan, konfrontasi, dan konflik di Asia Barat, Afrika Utara, dan Eropa Barat. Pengalaman konflik dan persaingan antara masyarakat kedua agama tersebut menjelaskan sikap dan perasaan negatif satu sama lain, sehingga hal itu terbawa juga ketika kedua agama itu masuk ke Nusantara.
Azyumardi Azra mengatakan bahwa pengalaman Islam di Indonesia relatif berbeda dengan pengalaman Islam di kawasan lain. Jika kawasan lain di Timur Tengah, Asia Selatan atau Anak Benua India, mengalami penaklukan politik langsung oleh kekuatan militer Muslim di Arab, maka Indonesia tidak pernah mengalami proses seperti itu. Penyebaran Islam di Indonesia pada umumnya berlangsung melalui proses yang sering disebut sebagai pacifique penetration (penyebaran secara damai).
Proses semacam ini pada gilirannya memberikan warna yang cukup khas bagi Islam di Indonesia, yakni Islam yang akomodatif dan inklusif, atau dalam tataran tertentu cenderung sinkretik dengan sistem kepercayaan lokal.
Sedangkan agama Kristen masuk di Indonesia sejak abad ke-16 M. Melihat sejarah masa lalu, khususnya Perang Salib, bagaimanapun juga, bangsa-bangsa Eropa berupaya untuk menyaingi, bahkan mematahkan dominasi jaringan pedagang Islam di Indonesia. Data pasti penyebaran Kristen baru muncul bersamaan dengan kedatangan orang Portugis di Malaka pada 1511 M. Salah satu penyebar agama Kristen di Nusantara adalah Fransiscus Xaverius.
Pada awal sejarahnya, penyebaran Kristen di Indonesia senantiansa mengikuti gerak Vereenigne Oost-Indische Compagnie (VOC). Seperti halnya bagi negara Portugis, kepentingan agama dan negara saling terkait. VOC dengan semua tenaga mendukung pemeliharaan orang-orang Kristen dan pekabaran Injil di daerah-daerah yang dikuasainya. Dalam bahasa lain, sejarah kekristenan di Indonesia memang tak bisa dipisahkan dari misi dagang yang kemudian bertumbuh menjadi kekuatan kolonialisme yang melakukan eksploitasi ekonomi di tanah jajahan. Gereja Kristen Barat, dan kegiatan misionaris Kristen di Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari gerak kolonialisme ini.
Sejak periode awal tahun 1900, Belanda semakin agresif mendorong aksi misionaris ini. Salah satu motif ambisi ini adalah mencuatnya gerakan-gerakan Nasionalisme Islam yang mengancam kekuasaan kolonial. Contoh nyatanya adalah Nahdhatul Ulama. Sejak berdirinya tahun 1926, ulama NU di bawah komando K.H. Hasyim Asy’ari, bersama para ulama NU yang lain, telah aktif menggerakkan dan membangkitkan sifat nasionalis pada seluruh elemen masyarakat yang dimulai dari para kiai dan santri. Pemerintah Belanda kemudian mendorong proses ‘kristenisasi’ untuk melawan gerakan nasionalis Islam semacam ini.
Oleh karena eratnya hubungan antara pemerintah kolonial dan kegiatan peng-Injilan di era kolonial ini, maka pelaksanaan misionaris itu mendapat banyak pertentangan dan kendala dari kalangan umat Islam. Kristen dipandang sebagai agama penjajah Barat yang menindas. Citra orang Barat dalam Perang Salib masih menghantui umat Islam, yang memang dicitrakan demikian oleh penyebar agama Islam.
Lepasnya Indonesia dari kolonialisme rupanya tidak serta merta membuat relasi Islam-Kristen di Indonesia membaik. Hal ini, misalnya, terjadi pada saat pembahasan UUD 1945 dan pada sidang Konstituante hasil Pemilu 1955. Pada tahun 1971, pemeluk agama Kristen melejit menjadi 7,4%, jika dibandingkan tahun 1931 yang hanya 2,8%. Hal ini terjadi karena pemerintah Orde Baru mewajibkan penduduk untuk memeluk salah satu agama yang diakui negara. Banyak orang bekas anggota PKI yang memilih Kristen ketimbang Islam. Sebagian kalangan menduga jumlah itu mencapai dua juta orang.
Peristiwa ini mengundang kecurigaan tokoh Islam dengan menuduh pemerintah Orde Baru memberikan keleluasaan bagi penyebaran agama Kristen. Kalangan Islam juga sangat berkeberatan dengan cara-cara misionaris menyebarkan agama Kristen yang dianggap mengintervensi keimanan umat Islam. Cara mereka ialah mendatangi dari rumah ke rumah dan membangun banyak gereja di kawasan Muslim.
Sejarah itu mengaskan stereotip bahwa baik di Indonesia atau di level dunia, komunitas Islam dan komunitas Kristen tidak mungkin hidup di satu daerah bersama tanpa konflik. Islam dianggap musuh oleh Kristen, dan begitu sebaliknya. Karena konflik yang sudah terjadi dan karena Indonesia memang negara yang masyarakatnya majemuk, stereotip ini semakin terlihat nyata.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan Islam-Kristen di Indonesia, di antaranya, disebabkan oleh pola pikir yang dibentuk struktur dan kultur yang dikonstruk oleh sejarah. Kita memiliki sejarah bersama yang sangat sulit, yang menjadi bagian dari identitas kolektif kita, yaitu Perang Salib dan ekspansi Barat, dan pendudukan negara-negara Islam, termasuk runtuhnya Turki Utsmani. Muslim di Indonesia curiga tentang niat orang Kristen karena agama Kristen datang melalui penjajahan. Kecurigaan ini dikuatkan kembali dengan usaha perekrutan pemeluk baru yang dilakukan secara “bar-bar” oleh sekte-sekte Kristen tertentu. Di sisi lain, orang Kristen curiga bahwa jika kaum Muslim “yang memegang teguh agamanya” memiliki kekuasaan, mereka akan mengekang kebebasan beragama mereka.
Konstruk saling curiga tersebut menjadi “embrio” perpecahan dan konflik. Pada saat yang sama, masyarakat menjadi kehilangan ciri ruh beragamanya, yakni musnahnya kepekaan terhadap nilai baik, relasi sosial yang profit oriented, serta kebebasan yang melampaui batas.
Baca Juga, Relasi Islam & Kristen di Abad ke-20: Sebuah Dialog Antar Umat Beragama
Jika melihat sejarah hubungan Islam-Kristen selama zaman penjajahan ini, langsung muncul kesan bahwa ketegangan yang terjadi sering kali diterjemahkan sebagai hubungan antara yang menjajah, orang Barat yang beragama Kristen, dan yang dijajah, penduduk asli Indonesia, yang pada zaman itu disebut sebagai orang pribumi, yang mayoritas beragama Islam. Di situlah kemudian letak pekerjaan sosial itu. Umat Kristen dan umat Islam di Indonesia harus terus memikirkan cara bagaimana untuk menghilangkan rasa saling curiga itu. Pekerjaan itu mutlak dilaksanakan demi pembangunan masyarakat yang lebih baik, di mana semua orang bisa hidup sejahtera, menghargai satu sama lain dalam kultur pluralisme di Indonesia.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT