Terkadang, keyakinan kita diuji oleh peristiwa-peristiwa tragis yang menghantui kita sepanjang hidup. Inilah yang diungkapkan dalam film horor terbaru yang menggemparkan dari sutradara kenamaan Indonesia, Joko Anwar, yang berjudul “Siksa Kubur”. Mulai tayang sejak 11 April 2024, film berdurasi 119 menit ini telah mengundang gelombang ketegangan dan kontroversi di kalangan penonton.
Beberapa selentingan mengatakan, “Ngapain sih film bawa-bawa isu agama.” Beberapa mencibir, “Harus banget ya jualan agama buat bikin film horor.” Yang mendukung mengatakan bahwa horor berbasis reliji justru dapat meninggalkan kesan spiritual bagi penikmatnya.
Bayangan saya, film Siksa Kubur dapat menjadi dua sisi mata pisau, sebagai penguat keyakinan bagi orang beriman bahwa segala sesuatu pasti akan mendapat balasannya. Namun juga melalui film ini, tidak menutup kemungkinan adanya stigmatisasi, seperti, “masak beragama harus diancam dengan siksa?” atau, “katanya agama damai, kenapa isinya kepedihan?” Pro-kontra itu berdialektis secara mesra di media sosial yang justru memancing netizen penasaran, seperti apa sih film-nya.
Film ini menjadi viral bukan semata karena diskusi pro-cons yang tiada akhir itu, melainkan juga karena jadwal rilisnya sehari setelah perayaan Idulfitri 1445 H, sehingga banyak yang mengatakan bahwa film Jokan itu dapat menjadi instrumen pertobatan nasional di momen Lebaran.
Film ini membawa kita ke dalam perjalanan dua bersaudara, Sita (diperankan oleh Faradina Mufti) dan Adil (diperankan oleh Reza Rahadian), yang terpisah oleh peristiwa tragis kehilangan orang tua mereka dalam serangan bom bunuh diri. Dulu, mereka hidup dalam keluarga yang harmonis dan penuh kasih, tetapi segalanya berubah setelah kedua orang tua mereka meninggal secara tragis.
Peristiwa traumatis ini meninggalkan bekas yang mendalam pada Sita, mengubah pandangannya terhadap hidup, agama, dan kebenaran. Sita, yang dulunya percaya pada ajaran agama, sekarang mempertanyakan eksistensi siksa kubur dan bahkan keberadaan Tuhan. Obsesinya untuk membuktikan bahwa agama itu tidak nyata dan siksa kubur hanya mitos, mendorongnya untuk mencari orang paling berdosa.
Dengan penuh tekad, Sita melakukan pencarian yang berbahaya dan menggiringnya ke dalam pertemuan yang menegangkan dengan orang paling kejam yang pernah ia temui. Namun, rencananya tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Ketika orang itu meninggal dunia, Sita mengambil langkah nekat dengan meminta bantuan Adil untuk menguburkan dirinya di liang sebelah jenazah tersebut, dengan harapan membuktikan bahwa siksa kubur hanya khayalan belaka.
Sebagian dari kita mungkin pernah membaca komik legendaris siksa neraka, siksa kubur, dan semacamnya. Komik-komik itu memberikan visualisasi kekejaman siksa untuk memberikan rasa takut pada pembacanya sehingga terbesit dalam benak mereka untuk merenungi dosa-dosa dan bertobat. Bagaimana tidak, pembaca diperlihatkan bagaimana lidah-lidah dipotong, kepala dihantam besi panas, badan ditusuk-tusuk, disiksa ular berbisa, dan semacamnya. Film Siksa Kubur kurang lebih mempunyai visi serupa, mengingat tagline yang disampaikan Joko Anwar di film ini, “anda akan percaya”.
Saya malah curiga, film ini memang diniatkan Joko Anwar untuk “mengacak-acak” psikis penonton. Harusnya dalam poster ditulis juga tagline “bukan untuk yang bernyali rapuh”. Efek “siksaan” dari Jokan bahkan sudah terasa dari awal film dimulai. Gaya psychological horror yang digunakan Joko Anwar sudah dimulai di babak cerita yang menyajikan transisi epic dari kebahagiaan yang merona menuju tragedi yang tragis.
Terlepas dari beberapa efek CGI yang banyak dikritik oleh kritikus film, efek musiknya menjadi nilai tambah dari film bergenre horor-reliji ini. Scoring music Siksa Kubur sukses membuat duduk saya tak nyaman dan melahirkan kesan “traumatik”. Scoring itu seolah mengikat penonton dengan pengalaman-pengalaman tragis yang dirasakan Sita dalam film.
Tidak Joko Anwar namanya jika tidak mengangkat isu sosial ke dalam karya-karyanya. Segala obsesi Sita membuktikan kebenaran siksa kubur itu dibalut dalam tiga isu sosial yang saat ini genting di Indonesia, yaitu isu terorisme, kekerasan seksual di pondok pesantren, dan panti jompo. Tetapi, meski mengambil masalah yang sensitif, Joko Anwar berhasil membuat penonton tidak menghakimi isu yang dibawa.
Menurut saya, isu terorisme mengambil tempat signifkan untuk mengawal premis utama film. Ada easter egg menarik dalam film di mana bom bunuh diri itu dilakukan di toko yang terafiliasi ke perusahaan Amerika Serikat. Cuplikan itu mengindikasikan bahwa pelaku teror, selain berangkat dari persoalan “ketakutan terhadap agama”, juga diwarnai dengan “sentimen anti Barat” yang disimbolkan dengan penyerangan terhadap simbol yang merepresentasikan Amerika. Ideologi ini mirip-mirip dengan kelompok Islam garis keras yang terafiliasi pada ISIS atau Jemaah Islamiyah yang terafiliasi ke Al-Qaeda yang melihat Amerika sebagai common enemy. Bahkan tragedi Bom Bali pun diwarnai isu sentimen Amerika yang dituduh sebagai dalang kesengsaraan umat Muslim di Afghanistan.
Meski demikian, film ini terlihat hanya menyasar segmen Muslim saja. Konsep siksa kubur nyatanya hanya identik dengan ajaran Islam. Saya sempat mengajak nonton teman saya yang beragama Kristen. Alih-alih mengiyakan, dia malah berseloroh, “loh, di kuburan masih disiksa juga?”. Akhirnya saya tidak jadi menonton dan justru berdiskusi soal konsep reward-punishment antara Kristen dan Islam dengan teman saya itu.
Joko Anwar juga menegaskan bahwa pihaknya merujuk pada hadis-hadis sahih tentang adanya siksa kubur untuk memvalidasi bahwa segala scene yang diproduksi akurat dan sesuai dengan dalil-dalil keagamaan. Bukti-bukti konkret bahwa tema ini memang terkesan eksklusif.
Eh tetapi, film ini penting sebagai ajang menggali wawasan bagi para penonton non-Muslim terhadap khazanah keislaman pada ranah eskatologis tanpa mengurangi pengalaman horor mencekam yang disajikan Jokan. Lagipula, seperti yang telah disinggung, isu-isu yang diangkat merupakan isu-isu universal yang tidak melekat pada satu agama tertentu.
Pesan yang paling tersirat adalah bagaimana agama kemudian menjadi trigger seseorang melakukan kerusakan di bumi. Ulah oknum beragama ini memiliki efek domino. Orang-orang jadi skeptis soal agama bahkan cenderung menjaga jarak dari agama. Siksa Kubur menjadi merekam isu ini dengan sangat baik sebagai reminder bagi umat beragama (secara umum) bahwa agama harusnya menyejahterakan, bukan merugikan. Pesan moral ini inklusif bagi semua masyarakat Indonesia yang mendambakan kehidupan harmonis.
Bagaimanapun, Joko Anwar tidak sembarangan mencampurkan konsep reliji dengan imaji ala sineas dalam memproduksi Siksa Kubur. Joko memilih untuk memodifikasi dan menampilkan konsep-konsep pengajaran agama tersebut secara metaforis dengan menggunakan dramaturgi dan gaya teatrikal dalam membangun latar cerita. Ditambah dengan dialog yang menguji nalar, jujur saja tontonan ini jadi punya bobot tersendiri bagi saya.
Walakhir, di luar dari segala sajian “di luar nalar” ala Joko Anwar dalam Siksa Kubur, masyarakat dapat menyaksikan film ini dengan pandangan yang terbuka dan tanpa berekspektasi apa pun. Film ini memenuhi segala unsur entertainment dan reliji sekaligus. Dalam kaca mata penilaian dangkal saya, tentunya.