Ulama besar asal Indonesia, (alm) K.H As’ad Syamsul Arifin pernah memberikan sikap terkait Salman Rushdie, novelis yang pernah dituduh menjadi penghina Nabi SAW.
Pada tahun 1989, pernah ada satu Novelis yang menjadi perbincangan publik kala itu setelah pemimpin spiritual tertinggi Iran, yakni Ayatullah Khomeini, menjatuhkan fatwa hukuman mati padanya. Novelis tersebut bernama Ahmed Salman Rushdie. Mengapa Salman Rushdie mendapat fatwa hukuman mati? Adalah karya fiksi Rushdie yang rata-rata mengangkat realisme magis ke dalam tema-tema yang kerap berkaitan dengan persinggungan peradaban antara Timur dan Barat. Ia juga banyak memasukkan elemen-elemen fiksi sejarah, yang secara tak langsung menimbulkan kontroversi.
Baca juga: Bolehkah Melakukan Kekerasan Terhadap Penghina Nabi SAW? Tanggapan untuk Tengku Zulkarnaen
Karya-karyanya banyak mengandung kontroversi, seperti Midnight’s Children (1981), yang membuat kemarahan Indira Gandhi. Indira menafsirkan novel itu sebagai penggambaran tanggung jawabnya terhadap kematian suaminya; Shame (1983), novel yang melukiskan kekacauan politik di Pakistan dengan mendasarkan karakternya pada Zulfikar Ali Bhutto dan Jenderal Muhammad Zia ul-Haq. Sedangkan karya yang mendapat respon fatwa mati dari Khomeini adalah novelnya yang berjudul Satanic Verses, yang terbit pada September 1988.
Myriam Renaud dalam tulisannya The Conversation mencatat pangkal persoalannya, yaitu terkait kepercayaan dalam Islam bahwa Nabi Muhammad menerima wahyu dari Malaikat Jibril selama 22 tahun. Jibril menyampaikan ayat-ayat dari Allah lalu Muhammad bertugas menyampaikannya ke umat. Sedangkan Satanic Verses mengambilnya sebagai referensi fiksi sejarah. Salah satu karakter utamanya, Gibreel Farishta, mengalami beberapa kali mimpi di mana ia menjadi malaikat Gibreel (Jibril).
Di dalam mimpi ia bertemu dengan karakter sentral lain, yang bagi umat Islam dengan mudah ditafsirkan sebagai personifikasi Nabi Muhammad SAW. Ada banyak bagian lainnya dalam novel Rushdie yang dengan mudah ditafsirkan sebagai potongan sejarah Nabi Muhammad. Tak usah jauh-jauh, dari judulnya saja, merujuk pada kisah di mana Nabi Muhammad SAW mengucap beberapa ayat yang dalam Al Quran, tapi kemudian ditarik dengan alasan sumber ayat ternyata bukan dari Allah, tapi dari setan.
Kemarahan dunia Islam saat itu memuncak. Selain fatwa mati dari Khomeini, Viking Penguin, penerbit pertama buku tersebut, diminta untuk menghentikan proses distribusi novel. Impor buku dilarang di India sebulan setelah Satanic Verses terbit. Pelarangan buku kemudian menyebar ke berbagai negara, terutama negara mayoritas muslim seperti Bangladesh, Sudan, Sri Lanka, hingga ke Indonesia.
Demonstrasi anti-Rushdie terjadi di mana-mana. Bahkan ada yang berakhir ricuh dan menimbulkan rusaknya fasilitas umum. Muncul insiden penyerangan terhadap orang-orang yang menerjemahkan buku, juga ke rumah-rumah penerbit, hingga timbul korban jiwa. (Tentang Salman Rushdie bisa dibaca disini)
Nun jauh di timur pulau Jawa saat itu, ulama kharismatik, Waliyul Qutb, mediator lahirnya Nahdlatul Ulama, pimpinan dan pengasuh pondok pesantren besar dengan puluhan ribu santri, KHR. As’ad Syamsul Arifin, didatangii oleh beberapa mahasiswa dari Yogyakarta. Mereka mendesak Kyai As’ad untuk membuat pernyataan hukuman mati kepada Salman Rushdie, seperti yang dilakukan oleh Imam Khomeini.
Lantas apa jawaban beliau?
“Saya tidak akan memperbesar Salman Rushdie, sebab yang untung nanti dia,” dawuh beliau. Soal Nabi yang dihina, lanjut Kyai As`ad, sejak masih hidup di Mekah beliau sudah sering dihina. Bahkan diolok-olok dengan ungkapan, misalnya: anta saahir (engkau penyihir), anta majnun (engkau gila), dan sebagainya, tapi beliau diam saja. Akhirnya masyarakat jahiliah tahu bahwa yang hina adalah mereka yang menghina Nabi. Yang dihina tetap mulia.
Baca juga: KH. Asad Syamsul Arifin, Menundukkan Para Preman untuk Berjuang Merebut Kemerdekaan
Lagi pula, dalam al-Qur’an dinyatakan, “Seandainya engkau (wahai Nabi) keras hati dan kaku, maka mereka akan lari darimu.” Satu petikan sikap yang dikisahkan apik hasil dari wawancara dengan putera beliau, KHR. Fawaid As`ad Syamsul Arifin, satu penggalan cerita dari tulisan Suadi Sa’ad, dengan judul “Pendidik dan Pejuang Kharismatik Spiritualis (Kajian Sosio-Historis K.H.R. As`Ad Syamsul Arifin)” untuk Jurnal Edukasia, Vol. 11, No. 2, Agustus 2016.
Beberapa hari belakangan ini, banyak masyarakat muslim di dunia, bahkan di Indonesia, melakukan aksi boikot produk-produk Perancis, sebagai respon dari pernyataan Presiden Macron yang dianggap menyampaikan pembelaan terhadap “penghinaan kepada Nabi SAW” berdasarkan kebebasan berbicara dan nilai-nilai sekuler yang berlaku di Perancis. Setelah sebelumnya, Samuel Paty, guru di Perancis dibunuh pada 16 Oktober 2020 oleh remaja berusia 18 tahun asal Chechnya yang tinggal di kota Evreux, Normandia.
Guru tersebut dibunuh usai menunjukkan gambar kartun Nabi Muhammad SAW yang telah diterbitkan oleh majalah satir Charlie Hebdo pada tahun 2015 kepada murid-muridnya, saat mengajar di kelas kebebasan berpendapat. Baca selengkapnya di sini.
Paling tidak, kita sedikit mendapatkan gambaran terkait sikap seorang ulama besar Indonesia dahulu, seorang Waliyul Qutb yang mungkin bisa menjadi refrensi pandangan kita untuk bersikap kepada para penghina Nabi SAW. (AN)
Shollu `Alaa Sayyidina Muhammad.