Percaya atau tidak yang jelas saat ini kita masuk pada zaman akhir. Fitnah bertebaran di mana-mana. Kecanggihan teknologi dan informasi justru dimanipulasi untuk berbuat kerusakan. Punya pisau untuk membunuh orang. Punya motor untuk membegal orang. Punya HP untuk berselingkuh. Punya medsos untuk menipu. Internet untuk merekrut orang jadi radikal, transaksi narkoba, hingga prostitusi online. Sangat banyak sekali tindakan-tindakan yang merusak moral karena faktor teknologi dan informasi.
Pasti ente semua mikir, kan dampak baiknya masih banyak? Itu konsekuensi negatifnya. Baiklah, tak ada dari kita yang ingin berbuat amoral, asusila dan kriminal. Setidaknya dalam pikiran dan hati nurani.
Nah, menurut saya, hal-hal negatif itu muncul sebagai bukti yang otentik apabila agama sudah tidak lagi menjadi faktor dominan dalam bertindak. Orang-orang sudah tidak terlalu mengindahkan ajaran agama. Ilmu makin hilang dengan meninggalnya para kyai dan ulama. Sederhananya, orang yang mengamalkan ajaran agama Islam makin sedikit jumlahya. Bahkan yang parah lagi agama Islam dipakai untuk berpolitik praktis.
Hemat saya, revitalisasi pendidikan agama kayaknya harus mendapat porsi penting. Baik lewat sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah. Kalau di pondok pesantren jangan ditanyakan lagi. Kita harus memahami peta pendidikan terlebih dulu. Dalam buku jadul yang berjudul “Pengantar Pendidikan” karya Kunaryo Hadikusumo dkk yang dicetak tahun 1996 oleh IKIP Semarang sebelum bernama UPGRIS, dijelaskan bila lingkup pendidikan dibagi menjadi tiga. Pendidikan informal, pendidikan formal, dan pendidikan non formal.
Nah, kita harus menyadari betul ruang lingkup pendidikan di atas. Pendidikan Islam juga mempunyai mekanisme yang sama dengan lingkup atau cakupan ketiga prinsip tersebut. Pendidikan Islam terjadi di ruang keluarga (informal). Di meja makan, di ruang tamu, di dapur, di kamar mandi, di kamar tidur hingga di halaman atau kebun rumah yang berisi tumbuh-tumbuhan dan hewan pun berlangsung pendidikan. Pendidikan Islam juga berlangsung lingkungan masyarakat. Saat kita ikut pengajian umum, arisan-arisan pengajian, khotbah jumat, seminar-seminar keagamaan, diskusi hingga dialog agama.
Pendidikaan Islam juga berlangsung dengan sistem dan manajemen yang terstruktur (formal). Seperti sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah. Boleh juga kita berpendapat pondok-pondok pesantren termasuk di sini, meskipun tak sepenuhnya. Di sekolah atau madrasah setidaknya dijadikan basis pendidikan agama. Apalagi pondok pesantren. Murid-murid dididik bagaimana caranya menjalankan ajaran syariat Islam. Mulai dari hal-hal remeh seperti wudlu, bersuci, cara berpakaian hingga cara menghormati orang lain.
Yang terakhir pendidikan Islam juga bisa dilakukan oleh ormas-ormas Islam yang mempunyai cabang-cabang yang berada di akar rumput atau ormas Islam yang belum begitu jelas (non formal). Mempunyai tujuan, terorganisir dan biasanya waktunya singkat. Ada program-program tertentu. Misalkan saja, pelatihan leadership Islam, jurnalistik, kursus baca kitab kuning, baca Al-Qur’an, dlsb
Berjuang menjadikan izzul islam wal muslimin nampaknya bukan pekerjaan mudah. Dalam konteks sosial kehidupan nyata saja, pendidikan Islam belum berjalan maksimal. Bahkan sangat minim sekali. Ini terbukti kasus-kasus seperti mencuri, menjambret, memfitnah, makar, adu domba, tipu-tipu, hoaks, membunuh, memperkosa, mencabuli, kriminal, korupsi, kekerasan, pemerasan, masih marak terjadi. Kronisnya hal ini dikerjakan mereka yang mengaku beragama Islam. Penulis kira standar pendidikan Islam disebut berjalan dengan baik bila tercipta kultur masyarakat Islam itu sendiri.
Keliling Pesantren
Mari kita amati daerah-daerah yang pendidikan agama Islamnya telah sukses dan telah menjadi kultur dalam ruang lingkup masyarakatnya. Biasanya ini terjadi di daerah berbasis santri dan pondok pesantren seperti Kajen, Lasem, Sarang, Kudus, Brabo Grobogan, Mlangi dan Krapyak Yogyakarta, dan tentu masih sangat banyak di Indonesia. Di daerah tersebut Islam sudah pada tataran menjadi etika sosial. Setidaknya tindakan-tindakan amoral, asusila dan kriminal di daerah tersebut auto rendah meskipun lingkungannya sangat heterogen dan beragam.
Problemnya, bagaimana menjadikan seluruh daerah di Indonesia menjadi demikian. Apalagi persoalan menjadi ruwet ketika negara api menyerang haha. Ya, internet dan medsos datang dengan segala problem dan kompleksitasnya. Penulis kira selain memperbanyak konten-konten Islami yang moderat, rutinan mengaji online di sosial media juga perlu dimassifkan dan dibudayakan.
Bukankah kita diperintahkan untuk amar makruf dan nahi munkar. Bila kita melihat kemungkaran sepatutnya kita bertindak. Baik menggunakan tangan (kekuasaan), lisan dan yang terakhir bila tak mampu melalui kedua cara tersebut minimal kita tak ridho (hati) dengan terjadinya kemungkaran tersebut.
Ketiga ruang lingkup pendidikan yang telah disebutkan sebelumnya, penulis kira merupakan manivestasi dari amar makruf nahi mungkar. Dengan semangat dan etos kerja yang tinggi serta menyerahkan hasil pada Allah, para kyai-kyai telah meneladankan sebuah peradaban yang nyata yakni kultur masyarakat yang Islami dan rahmat bagi alam. Mungkin bisa dilakukan penelitian bagaimana daerah-daerah seperti Kajen, Lasem, Sarang, Kudus, Brabo, Mlangi, Krapyak bisa menjadi pusat pendidikan Islam yang kaya dengan khazanah lokal padahal masyarakatnya sangat heterogen dan beragam.
Begitupun seharusnya peradaban di dunia maya dirumuskan. Mulai dari website dan sosmed harus dikuasai dan konten-kontennya diisi dengan ajaran Islam yang moderat dan toleran. Bukankah saat ini sudah banyak influencer-influencer dunia maya yang lahir dari kalangan santri-santri. Bahkan tidak sedikit sekarang para kiai yang aktif di dunia maya.
Tidak perlu mendirikan Indonesia negara Islam atau Indonesia bersyariah, kalau kita rajin mengikuti jejak kiai di daerah-daerah yang saya sebut tadi, bagaimana cara mereka mengembakan dakwah Islam yang moderat dan toleran, insya Allah Indonesia menjadi negara yang baik moralitasnya. Wallahhu a’lam.
Ahmad Solkan, penulis aktif di LPM Paradigma UIN Sunan Kalijaga.