Tanpa Nabi Muhammad SAW, Islam, sebagai agama, tidak akan pernah turun ke dunia. Tanpa peran Jibril, al-Alaq: 1-5 tidak akan pernah sampai pada Rasulullah. Tanpa Ulama yang berkelana, kita di Indonesia barangkali tidak akan pernah merasakan nikmatnya Islam dan bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pengertian ini, Nabi SAW, Malaikat Jibril, dan para Ulama adalah medium dalam konteksnya masing-masing.
Memang tidak banyak orang yang menaruh perhatian pada perkara teknis ini, yaitu bagaimana media mampu membawa Islam ke seluruh penjuru dunia. Tidak salah juga sih, karena yang lebih perlu diperhatikan adalah sisi substansialnya, yaitu ajaran Islam itu sendiri. Namun, menarik untuk dikaji karena hubungan agama dan media sedikit demi sedikit saling berkongsi seiring perkembangan zaman. Pengantar di atas menunjukkan bahwa media merupakan alat bagi Islam untuk menyampaikan ajarannya kepada masyarakat. Padahal, media juga bisa berfungsi lain.
Tulisan ini mengkaji perjumpaan agama dan media dari sudut pandang yang lebih luas. Seorang sarjana Media, Komunikasi, dan Agama asal Denmark, Stig Hjarvard merumuskan semacam pemetaan relasi agama dan media dalam ruang publik. Menurut Hjarvard, relasi agama dan media bisa didudukkan dalam tiga formasi; agama dalam bingkai jurnalisme, agama dalam instrumen hiburan dan ekspresi budaya, dan agama dalam media keagamaan.
Berdasar ketiga hubungan tersebut, peran media tidak hanya menjadi penyampai pesan atau konten keagamaan, namun berfungsi merekonstruksi wajah agama di ruang publik. Argumen Hjarvard tersebut tidak membincang religiositas atau spiritualitas seseorang dalam ruang media, melainkan bagaimana interaksi antara agama dan media yang kemudian ditampilkan sebagai bagian dari ruang publik.
Agama Dalam Bingkai Jurnalisme
Ranah jurnalistik di sini berarti peliputan yang berbasis norma-norma sekuler. Artinya, dalam industri media, pembentukan cara pandang adalah ihwal yang lazim. Hal ini karena suatu media memosisikan diri di tengah-tengah khalayak sebagai agen utama, dan penikmat sebagai klien. Relasi ini juga bisa disebut dengan ‘jurnalisme agama’. Ranah jurnalisme ini membawa agama ke dalam ruang publik politik sekaligus menyaratkan agama untuk tunduk pada paradigma dan ideologi jurnalisme tersebut.
Relasi ini secara sederhana tercermin dari bagaimana media massa memberitakan tentang kelompok Ahmadiyah di Indonesia. Saya ambil contoh kasus tiga media massa online di Nusa Tenggara Barat ketika membingkai Ahmadiyah dalam tragedi penyerangan pemukiman jemaat Ahmadiyah di Lombok Timur oleh sekelompok warga pada Mei 2018. Media massa di satu sisi menunjukkan gestur tidak sepakat dengan persekusi yang terjadi, namun di sisi lain, media juga menegaskan Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam mengacu fatwa MUI tentang fatwa kesesatan Ahmadiyah.
Media massa online, misalnya, juga membingkai bahwa selama Ahmadiyah tidak segera bertobat maka konflik seperti penyerangan dan penganiayaan akan terus terjadi. Media juga menciptakan narasi bahwa resolusi konflik yang tepat adalah mengembalikan jemaat Ahmadiyah kepada ajaran Islam yang benar, alih-alih mengajarkan masyarakat untuk hidup dalam keberagaman dan menghormati perbedaan.
Dalam kaca mata Hjarvard, Ahmadiyah dilihat sebagai korban dari “jurnalisme agama”. Keberanian media massa online di NTB tersebut ditunjang oleh fatwa-fatwa MUI dan aliran Islam yang mapan di Indonesia. Agama Islam dalam media NTB diletakkan sebagai objek kepentingan Media. Dalam hal ini, media mempunyai ideologi yang kemudian berkolaborasi dengan jurnalisme sekuler sehingga memiliki kuasa mendiseminasi pesan-pesan tersebut.
Agama dalam Instrumen Budaya
Relasi ini mengasumsikan bahwa media melalui berbagai simbol yang secara implisit memuat nilai agama, secara sengaja atau tidak, memperkuat kehadiran agama dalam budaya dan masyarakat. Tentu saja, para pekerja media ini harus mempunyai kesadaran tentang misi itu. Kesadaran tersebut untuk menjamin bahwa simbol religiositas yang dibawa ke ranah media membawa pesan dan nilai.
Aktor-aktor yang melibatkan diri dengan agama dalam bidang ini adalah mereka yang bergerak di industri budaya dan hiburan, misalnya penulis fiksi, pembuat film, musisi, produser hiburan di televisi, desainer game komputer atau orang yang bergerak di industri kreatif. Lingkup ini juga mencakup ekspresi budaya klasik terutama yang berkaitan dengan budaya populer yang terlihat di majalah gaya hidup, serial televisi, novel, dan film.
Dalam bahasa lain, media bergerak berkelindan dengan nilai-nilai agama untuk sampai kepada audiens. Misalnya film “Sang Pencerah”, menceritakan seorang tokoh Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, dan film “Sang Kiai”, menceritakan seorang tokoh NU, KH. Hasyim Asy’ari. Pengalaman Islam ini pun tergambar dalam film Indonesia.
Film sebagai media, misalnya, juga berfungsi untuk membingkai bagaimana gambaran Islam santri, abangan, atau priyayi. Film yang bercerita tentang santri adalah “3 Doa 3 Cinta”, “Perempuan Berkalung Surban”, dan “Negeri 5 Menara”. Golongan priyayi dalam Islam menjadi bagian dari cerita dalam film-film yang diproduksi pada tahun 1980-an. Pada periode ini khalayak film Indonesia menyukai cerita-cerita yang bertema legenda, yang di dalamnya ada simbol kerajaan. Misalnya film “Sunan Kalijaga” yang diproduksi pada tahun 1984. Golongan priyayi dalam Islam juga dapat dilihat dalam film “Sunan Gunung Jati” yang diproduksi tahun 1985.
Masing-masing film di atas muncul ke tengah masyarakat sembari menyampaikan pesan berupa realitas wajah-wajah Islam di Indonesia. Melalui “Sang Pencerah”, audiens “dipaksa” memahami pergolakan pemikiran yang terjadi antara KH. Ahmad Dahlan dan komunitas Kraton Yogyakarta dalam mewujudkan nilai-nilai yang kemudian terinstitusionalisasi dalam wujud Muhammadiyah.
Agama dalam Media Keagamaan
Jenis hubungan ini memposisikan ruang media dalam internal lembaga-lembaga keagamaan. Lingkup media ini dapat mencakup buku dan jurnal keagamaan, surat kabar, saluran radio, televisi, halaman web, bahkan media sosial milik sebuah lembaga keagamaan tertentu yang ditujukan untuk pembaca agama tersebut. Kongsi jenis ini mungkin bertujuan untuk “menjangkau” publik, utamanya dalam komunitas kepercayaan mereka sendiri. Hjarvard menyebut tandem ini dengan “religious media”.
Religious media, menurut Hjarvard, adalah praktik media yang dikendalikan dan dioperasikan oleh aktor-aktor agama di ruang publik. Media Islam konservatif yang mencerminkan hubungan ini, misalnya, situs rumaysho.com milik Muhammad Abduh Tuasikal. Rumaysho.com berfungsi sebagai media yang menyebarkan nilai-nilai Islam versi Tuasikal kepada audiens, utamanya umat Muslim konservatif. Dari industri YouTube, kita bisa menemukan OFFICIAL TVMUI, yaitu sebuah platform digital berbasis audio visual resmi milik Majelis Ulama Indonesia. Saluran YouTube resmi MUI tersebut merupakan media yang memuat pesan-pesan MUI untuk menjangkau pasar digital, utamanya Muslim Indonesia di media sosial.
Wa ba’du, Hjarvard mengungkap bahwa persinggungan agama dan media pada saat ini tidak sekedar menampilkan mediasi agama, melainkan juga apa yang disebut dengan mediatisasi agama. Jika mediasi agama hanya menyuguhkan media sebagai jembatan antara audiens dengan instititusi keagamaan, mediatisasi agama beranjak lebih dalam di mana media menjadi sumber penting pembawa ideologi yang bertujuan untuk mempengaruhi khalayak dan menuntut mereka untuk menyesuaikan diri dengan logika media. Di satu sisi, media merupakan alat agama untuk mendistribusikan ideologinya ke ruang publik. Di sisi lain, agama menjadi instrumen media untuk menjangkau dan memperluas pasar dalam komunitas keagamaan.