Radikalisasi Paruh Baya: Kenapa Mereka Rentan terhadap Misinformasi Online?

Radikalisasi Paruh Baya: Kenapa Mereka Rentan terhadap Misinformasi Online?

Ketika kelompok paruh baya merasa tidak diperhatikan, mereka mungkin mencari validasi dan pengaruh di dunia maya yang, justru, bisa memperparah kerentanan mereka terhadap sikap atau ideologi ekstremisme.

Radikalisasi Paruh Baya: Kenapa Mereka Rentan terhadap Misinformasi Online?
Kerusuhan di UK Hollie Adams/Reuters

Ada satu hal penting yang mungkin luput dari perhatian media ketika terjadi kerusuhan di Inggris dan Irlandia Utara beberapa waktu lalu. 

Para perusuh yang terlibat dalam kekacauan ini bukan hanya remaja atau orang-orang muda. Justru, banyak di antara mereka adalah orang-orang paruh baya atau mereka yang berusia 40-an hingga 60-an tahun

Hal itu diungkap oleh Sara H Wilford, seorang peneliti dari De Montfort University.

Sara, yang fokus pada penelitian tentang pengaruh media sosial dan informasi online, menjelaskan bahwa radikalisasi orang paruh baya adalah fenomena yang semakin menonjol, kendati kerap diabaikan. 

“Orang-orang paruh baya ini, yang seharusnya tidak dianggap sebagai kelompok rentan terhadap radikalisasi, ternyata menjadi sasaran misinformasi dan teori konspirasi yang tersebar di internet,” ungkapnya dalam sebuah artikel berjudul Middle-aged radicalisation: why are so many of Britain’s rioters in their 40s and 50s?.

Sara menjelaskan bahwa gugusan pengguna internet paruh baya ini tidak selalu memiliki pemahaman mendalam tentang risiko (mis)informasi online. 

“Terutama karena mereka bukanlah digital natives,” ujarnya. 

Hal itu tentu saja berbeda dengan generasi muda yang sudah akrab dengan teknologi dan sering mendapatkan pendidikan tentang keamanan online. Orang-orang paruh baya sering kali terlambat mengenal dan memahami seluk-beluk dunia maya.

Mengapa Mereka Rentan?

Orang-orang paruh baya umumnya mengenal internet saat mereka sudah beranjak dewasa. Banyak juga dari mereka belajar secara mandiri tanpa bimbingan formal. 

Akibatnya, mereka mungkin kepayahan menghadapi informasi yang menyesatkan atau malah berbahaya. Ini bisa membuat mereka menjadi target empuk bagi penyebaran berita palsu dan teori konspirasi. Pada gilirannya, hal itu bisa mempengaruhi pandangan dan keputusan mereka.

Contohnya, dalam kerusuhan di UK baru-baru ini, beberapa kelompok perusuh menyerang masjid dengan keyakinan salah bahwa serangan terhadap anak-anak di daerah tersebut melibatkan seorang Muslim atau imigran. 

“Padahal, informasi ini ternyata tidak benar. Radikalisasi semacam ini sering dipicu oleh informasi yang salah yang mereka temukan di internet,” jelas Sara. 

Lemahnya Pendidikan Media

Sara menyoroti bahwa meskipun ada usaha besar untuk mendidik generasi muda tentang cara menavigasi dunia online dengan aman, kelompok paruh baya sering kali tidak mendapatkan pendidikan serupa. 

Mereka lebih cenderung terpapar pada informasi yang tidak terverifikasi dan bisa mudah terpengaruh oleh berita yang menyesatkan. 

Ketika kelompok paruh baya merasa terpinggirkan atau tidak diperhatikan, mereka mungkin mencari validasi dan pengaruh di dunia maya yang, justru, bisa memperparah kerentanan mereka terhadap sikap atau ideologi ekstremisme.

Terdengar familiar, bukan? Terutama di grup WA sanak-family…