Humza Yousaf: Muslim Pertama yang Memimpin Skotlandia

Humza Yousaf: Muslim Pertama yang Memimpin Skotlandia

Islamofobia menjadi masalah sehari-hari di masyarakat Skotlandia dengan 78% percaya itu semakin buruk. Naiknya Humza Yousaf diharapkan bisa mengurangi isu islamofobia, paling tidak, di wilayah Skotlandia.

Humza Yousaf: Muslim Pertama yang Memimpin Skotlandia
Humza Yousaf mengambil sumpah sebagai Menteri Pertama Skotlandia di Court of Session, Edinburgh, Skotlandia, 29 Maret 2023. (Foto: Reuters)

Humza Yousaf menjadi Muslim pertama yang memimpin Skotlandia, sekaligus yang pertama di sebuah negara di Eropa Barat, setelah memenangkan pemilihan ketua Partai Nasional Skotlandia. Hal itu otomatis mengantarnya menjadi menteri utama negeri di bawah payung Inggris Raya itu pada Senin, 27 Maret 2023. Ia akan menggantikan sekutunya, Nicola Sturgeon, dengan mengalahkan pesaingnya dalam pemilihan ketat. Sebelum resmi menjabat, ia telah dibebani tugas berat, yaitu menyatukan Partai Nasional Skotlandia (SNP) sekaligus berjuang meraih kemerdekaan dari Inggris.

Lahir di Glasgow, pria berusia 37 tahun ini memiliki gelar sarjana politik dari University of Glasgow. Setelah lulus, ia bekerja sebagai pembantu anggota parlemen Skotlandia sebelum terpilih sebagai anggota DPR sendiri pada 2011. Ayahnya berasal dari Pakistan dan datang ke Skotlandia pada 1960-an, sedangkan ibunya lahir di Kenya dari keluarga keturunan Asia Selatan. Dia memiliki seorang anak dengan istri keduanya dan juga putri tiri.

Sosok yang menjadi menteri utama termuda dalam sejarah Skotlandia itu pertama kali ditunjuk sebagai menteri junior pada tahun 2012, pada saat itu ia merupakan orang termuda dan etnis minoritas pertama yang diangkat ke pemerintahan Skotlandia. Dia bergabung dengan kabinet pada 2018 sebagai Sekretaris Kehakiman dan menjadi menteri kesehatan pada Mei 2021.

Yousaf mendapat kecaman karena rekornya sebagai menteri kesehatan, dengan Badan Audit Skotlandia mengatakan bulan lalu sistem perawatan kesehatan menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan pemerintah Skotlandia perlu lebih transparan tentang kemajuan yang dicapai atau tidak dicapai, terutama akibat pandemi Covid-19.

Sekedar informasi, sejak tanggal 1 Mei 1707, Skotlandia bersatu dengan kerajaan Inggris yang membentuk Kerajaan Britania Raya. Meskipun Skotlandia tergabung dengan Inggris, Wales, dan Irlandia Utara namun sistem hukumnya terpisah. Artinya, Skotlandia masih termasuk dalam negara dengan pemerintahan monarki yang tergabung dengan Kerajaan Inggris (The Great Britain).

Hingga kemudian meletuslah gerakan British Exit (Brexit) pada 2016. Sejak pemungutan suara Brexit pada tahun 2016, suara-suara yang menginginkan kemerdekaan di Skotlandia mulai menyeruak. Skotlandia lebih memilih untuk tetap berada di Uni Eropa (UE), alih-alih mengikuti negara-negara The Great Britain lainnya. Sejak 2017, kelompok politik Skotlandia sudah mengupayakan referendum untuk lepas dari wilayah Britania Raya. Namun, Mahkamah Agung Inggris memutuskan Skotlandia tidak dapat mengadakan referendum kemerdekaan baru tanpa persetujuan London.

Misi inilah yang dibebankan kepada Yousaf. Salah satu alasan ia mendapatkan suara terbanyak adalah karena ia dilihat sebagai suksesor yang tepat untuk menggantikan Nicola Sturgeon, menteri pertama dari partai SNP, partai yang mendukung kemerdekaan Skotlandia, semangat yang diperjuangkan oleh Sturgeon.

Terlepas dari misi politik itu, terpilihnya Humza Yousaf di jajaran paling elit di pemerintahan Skotlandia itu menjadi angin segar bagi citra Islam dan Muslim di Eropa, khususnya di Britania Raya, hingga saat ini. Sebelumnya, ada sosok Sadiq Khan, imigran keturunan Pakistan yang menjadi Muslim pertama yang menjabat walikota London selama dua periode. Naiknya Yousaf di kursi tertinggi Skotlandia menjadi isyarat bagi kelompok islamofobia di Eropa untuk setidaknya mengevaluasi ulang persepsi mereka terhadap seorang Muslim.

Kepercayaan Skotlandia kepada sosok Yousaf bisa dilihat sebagai keberhasilan seorang Muslim dalam beradaptasi dengan konteks sosial, politik, dan budaya sekitar. Karena itu, urusan politik Yousaf untuk memerdekakan Skotlandia menjadi sah-sah saja, dan tidak ada hubungannya dengan agama Islam, mengingat ia dibentuk oleh kultur Skotlandia, apalagi sebagai pemimpin negara, ia membawa suara kepentingan rakyat Skotlandia.

Hal itu sama dengan semangat Nabi Muhammad dalam membebaskan kota Makkah (fathu Makkah). Semangat serupa yang melandasi cita-cita Bung Karno dalam memerdekakan Indonesia. Dengan kata lain, sebagai seorang Muslim, ia tidak harus membawa aspirasi “khas Islam” dalam kehidupannya. Yousaf bahkan harus berpihak pada konteks sosial yang membentuk pribadinya sebagai warga Skotlandia, sebagaimana Soekarno sebagai warga Indonesia.

Semangat ini menjadi anti-tesis visi kelompok Islam radikal yang getol mempromosikan khilafah di negara-negara mereka berpijak. Mereka melampaui batas dalam beragama sampai-sampai mengabaikan bahkan merongrong norma sosial politik yang sudah disepakati bersama di sebuah negera. Pancasila di Indonesia, misalnya, “dihujat” habis-habisan dengan dalih tidak sesuai dengan hukum yang diturunkan Allah. Mereka inilah yang justru menjadi alasan mengapa islamophobia masih ada hingga kini.

Kembali ke topik, fakta bahwa Islam menjadi agama terbesar kedua di Skotlandia turut menjadi faktor mengapa Islam begitu disambut di sana. Namun, tidak berarti Muslim hidup tanpa rintangan. Per 2021 kemarin, riset dari Kelompok Lintas Partai (CPG) Parlemen Skotlandia menemukan bahwa sebanyak 83% responden Muslim mengatakan mereka mengalami Islamofobia secara langsung dan paling banyak dialami oleh Muslimah. Penyelidikan juga menemukan islamofobia menjadi masalah sehari-hari di masyarakat Skotlandia dengan 78% percaya itu semakin buruk. Naiknya Humza Yousaf diharapkan bisa mengurangi isu islamofobia, paling tidak, di wilayah Skotlandia.