Salah satu sufi perempuan yang terkenal di kalangan Islam adalah Rabiah al-Adawiyah atau Rabiah binti Isma’il al-Adawiyah. Ia ini lahir di Basrah, wilayah negara Irak. Ia juga dikisahkan meninggal di kota yang sama.
Rabiah dijuluki sebagai Syahidatul ‘isyqil Ilahi, artinya seorang wanita yang syahid akan kerinduan kepala ilahi. Beberapa memperdebatkan tahun lahirnya. Tetapi sebagian besar sepakat ia lahir pada abad ke-2 Hijriyah.
Rabiah kecil menjalani kehidupan yang cukup pahit. Ia pernah menolak tawaran orang untuk membiayai hidupnya. Baginya hal itu memalukan untuk meminta harta dunia kepada pemiliknya (Allah). Bagaimana mungkin aku memintanya manusia yang mana bukan pemiliknya? Begitu menurut Rabiah.
Alhasil, Rabiah menjadi budak salah seorang majikan. K.H. Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha’ mengisahkan, suatu ketika daerah yang ditinggali Rabi’ah dilanda musim paceklik atau kemarau yang panjang.
Para pemuka agama atau kiai-kiai berbondong-bondong melaksanakan shalat istisqa’. Bukannya turun hujan, paceklik justru semakin panjang. Langit tidak menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan.
Salah satu keutamaan budak atau buruh dalam pandangan Gus Baha adalah ketika ia bekerja dengan keras tetapi hatinya ridha kepada Allah, maka derajatnya lebih luhur. Bahkan ia memperoleh tiket ke surga terlebih dahulu daripada orang yang sudah menunaikan haji atau kiai dan wali sekalipun.
Singkat cerita, dalam kesibukannya menjadi budak, ia masih menyempatkan diri untuk bernyanyi pujian-pujian kepada Allah. Setiap malam, ia begitu menikmati kenyamanan memuji Tuhannya.
Suatu malam, Rabiah keluar ke tengah lapangan. Ia menunaikan sholat dan bermunajat kepada Allah. Setelah itu hujan turun membasahi bumi.
Baca Juga: Rabiah al-Adawiyah Melepaskan Diri dari Perbudakan Dunia
Tanpa disadarinya, seorang budak yang lain mengetahui apa yang dilakukan oleh Rabiah. Budak ini pun memberitahu majikannya karomah Rabi’ah, shalat dan do’anya diijabah Allah seketika itu juga.
Mendengar cerita sang budak, majikan Rabi’ah menyadarai bahwa Rabiah bukan orang biasa. Rabi’ah adalah orang yang dihormati banyak orang dan memiliki perilaku yang baik. Alhasil, sang majikan pun memerdekakan Rabi’ah.
Sebelum menjadi sufi besar, Rabi’ah al Adawiyah adalah seorang budak yang tekun bekerja tetapi tidak meninggalkan keimanannya kepada Allah. Gus Baha’ menyebut Rabi’ah sebagai wali lewat jalur budak atau buruh.
Gus Baha menjelaskan bahwa menjadi Nabi Dawud atau Sulaiman yang memiliki banyak harta dan selir lebih mudah tugasnya dari pada menjadi Nabi Muhammad yang sejak kecil sudah tidak tinggal bersama orangtuanya. Nabi sudah menjadi buruh dengan menggembala kambing dan berdagang. Oleh karena itu Nabi Muhammad adalah khotamun nabiyyin.
Ketaqwaan memang tidak bisa dilihat melalui baju zahir yang dikenakan. Bagaimana bisa seorang pemuka agama yang melaksanakan shalat Istisqa’ tidak langsung dikabulkan Tuhan, sementara seorang budak perempuan yang tetap beriman di tengah kesibukan menjadi budak, diijabah doanya seketika. Tentunya ini adalah rahasia Allah.
Baca juga: Perbudakan dan Tangga Spiritualitas Rabiah al-Adawiyah
“Menjadi kiai besar itu lebih mudah untuk ridha kepada Allah, tetapi kalau menjadi budak atau buruh dengan pekerjaannya yang keras seperti itu, ketika ditanya Allah, apa kamu rela ditakdirkan susah? Kemudian ia dengan mantap menjawab, Iya saya ridha Ya Allah, maka ia akan masuk surga terlebih dahulu dari pada orang yang sudah berhaji atau wali dan kiai sekalipun,” terang Gus Baha. (AN)
Wallahu a’lam.