Isu tentang Pilkada Serentak masih santer dibicarakan. Di media sosial, warganet ramai mengkomparasi situasi di Indonesia dengan negara-negara lain.
Selandia Baru, misalnya, telah resmi menunda Pemilu yang sedianya dijadwalkan akan berlangsung pada 19 September, mundur jadi 17 Oktober. Ini berdasar pada temuan sembilan kasus baru yang dikonfirmasi, awal Agustus lalu.
ini jelas2 bukan contoh yg bagus hanya ada tambahan 9 kasus positif covid19 pemilu ditunda,pdhl di negara lain tambahan 4.000an kasus saja pilkada jalan terus, apa pemerintah selandia baru tdk menghargai hak konstitusi rakyatnya ya?https://t.co/iDgDrDwpd4
— Caktweetjustice (@Caktweetjustice) September 22, 2020
Sementara itu, Indonesia dengan sangat percaya diri justru berencana tetap menggelar Pilkada Serentak, kendati kasus harian mencapai angka 4000-an. Berbagai kekhawatiran dan hitung-hitungan madarat pun telah disampaikan publik lewat usulan agar pemerintah menunda Pilkada.
Alasan permintaan penundaan Pilkada itu cukup bernas: mulai dari pandemi yang tak kunjung mereda, sampai kasus ratusan Paslon yang secara terang-terangan melanggar protokol Kesehatan di masa pendftaran.
Malahan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri, lewat Komisioner I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, menyebut seluruh pihak berisiko terpapar virus corona jika Pilkada Serentak 2020 tetap digelar.
Lebih jauh, Dewa mengakui bilamana KPU termasuk salah satu pihak yang bisa terdampak. Ini ia sampaikan dalam diskusi daring yang disiarkan Channel Youtube The Indonesia Institute.
“Kalau ditanya siapakah yang kemudian berisiko kalau pilkada ini dijalankan, saya kira kita semua sebetulnya. Faktanya, tadi misalnya di KPU sendiri Pak Ketua, kemudian ada anggota (positif Covid-19),” kata dia merespon peserta yang tanya sikap KPU terhadap pilihan menjamin hak konstitusi atau menjamin hak Kesehatan.
Memang, dalam menghadapi situasi yang dilematis seperti ini ada dua pilihan: menunda agenda atau melanjutkan dengan cari alternatif yang solutif.
Dan, menurut Dewa, keputusan yang diambil saat ini adalah dengan melanjutkan Pilkada. Ini berdasar pada rapat yang digelar antara Pemerintah, DPR, dan penyelenggara Pemilu.
“Kalau kita bicara UU 6/2020, itu keputusan diambil antara KPU, Pemerintah, dan DPR. Ketika belu ada putusan baru, kami KPU berkewajiban untuk melaksanakan apa yang sudah diputuskan,” ujarnya.
Yah, rupanya memang benar kata salah seorang netizen di sebuah sudut linimasa yang tidak populer: suara rakyat tak ubahnya sebuah komoditas fetish, bahwa yang lebih dilihat adalah nilai tukarnya dan bukan pada nilai guna. (AK)