Dampak perubahan iklim semakin terasa. Untuk melakukan upaya adaptasi dan mitigasi, peran semua pihak sangat dibutuhkan. Salah satunya adalah pesantren, lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Dengan segala potensi yang dimiliki, pesantren diharapkan dapat ikut andil dalam mengatasi dampak perubahan iklim.
Siang itu, suasana di ruang Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) cukup lengang. Maklum, saya datang ke kantor yang berada di lantai 8 gedung Kemenag Pusat itu saat jam istirahat siang. Sesuai rencana yang telah disepakati, saya akan bertemu dengan Direktur PD Pontren, Prof. Waryono Abdul Ghofur.
“Tunggu sebentar ya, mas. Saya tengok beliau di ruang kerjanya dulu,” ujar seorang asisten pribadi. Tak lama, ia keluar dari ruang kerja yang dimaksud dan mempersilahkan saya masuk.
Sosok yang hendak saya temui sudah menunggu. Beliau sedang duduk bersantai, terlihat tumpukan kitab kuning di atas meja di hadapannya yang menemani waktu istirahatnya. Setelah bersalaman, saya dipersilahkan untuk duduk.
Selanjutnya, saya memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan saya untuk menemui beliau. Saya sampaikan bahwa maksud kedatangan saya adalah untuk membincang isu perubahan iklim serta potensi yang dimiliki pesantren dalam upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim.
“Jumlah pondok pesantren itu, yang terdata di EMIS, sudah menembus angka 38 ribu,” ungkapnya.
Angka tersebut merupakan jumlah keseluruhan pondok pesantren dengan berbagai afiliasinya. Nahdlatul Ulama tercatat menjadi organisasi masyarakat (ormas) Islam yang memiliki jumlah pondok pesantren terbanyak, yakni 26 ribu lebih.
Jumlah yang telah disebutkan di atas adalah pondok pesantren yang sudah mendaftarkan lembaganya ke Kemenag. Pondok pesantren yang ingin mendaftar tentu harus memenuhi berbagai persyaratan yang telah ditentukan.
“Itu sudah diatur dalam Tap. Dirjen 511 Tahun 2021. Sudah diatur bagaimana cara pendaftaran, polanya. Mulai dari kabupaten/kota, provinsi, baru ke kami. Jadi, yang memverifikasi, terutama verifikasi faktual, itu adalah kabupaten/kota,” jelasnya.
Salah satu pasal dalam peraturan yang dimaksud menyebut tentang syarat yang harus dipenuhi oleh pesantren, yakni berkomitmen untuk menyebarkan nilai Islam Rahmatan lil ‘alamin. Saya pun menanyakan maksud dari Rahmatan lil ‘alamin tersebut.
“Islam Rahmatan lil ‘alamin. Sesuai dengan definisinya, alam itu artinya ma siwaa Allah, (segala sesuatu) selain Allah disebut alam. Nah, Islam Rahmatan lil ‘alamin adalah Islam yang memberi rahmat dan kasih sayang kepada seluruh makhluk Allah, baik yang berupa manusia, hewan ataupun tumbuhan,” terangnya.
Upaya dari Direktorat PD Pontren
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, lingkungan termasuk ma siwaa Allah. Artinya, itu juga perlu dirahmati dan dikasihi. Saya pun bertanya kepada Pak Waryono, seperti apa bentuk Rahmatan lil ‘alamin pada konteks lingkungan?
“Salah satunya, kami bekerja sama dengan Pusat Studi Islam Universitas Nasional (UNAS). (Kami) sedang mengembangkan apa yang disebut dengan eko-pesantren, pesantren yang ramah lingkungan,” tuturnya.
Menurut Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, landasan utama dari gagasan Eko-Pesantren itu sederhana. Dalam fikih, hal pertama yang diajarkan adalah Thaharah (bersuci). Seseorang yang bersuci membutuhkan air yang suci dan menyucikan (thahhir muthahhir). Untuk mendapatkannya, tentu susah ketika lingkungan yang ada di sekitar kotor dan tidak sehat.
“Maka, bagi umat Islam, kebersihan, lingkungan yang sehat, itu sebuah keniscayaan. Jadi, kalau ada pesantren yang justru merusak alam, menurut saya itu berarti belum belajar fikih secara mendalam, baru dalam tataran formal,” tegasnya.
Upaya lain yang dilakukan oleh pihak PD Pontren, lanjut Pak Waryono, adalah menjalin komunikasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hasilnya berupa pemberian bibit tanaman produktif kepada pesantren untuk dimanfaatkan tidak hanya oleh warga pesantren, melainkan juga masyarakat di sekitarnya.
Lebih lanjut, saya menanyakan kriteria sebuah pesantren untuk dapat dikategorikan sebagai sebuah Eko-Pesantren.
“Salah satunya pesantren punya kesadaran AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Kita (PD Pontren) di sisi lain juga memberikan bantuan sanitasi, PUPR juga memberi bantuan (sanitasi) untuk pesantren,” bebernya.
Kriteria lainnya adalah adanya upaya sebuah pesantren untuk menghidupkan lahan mati yang ada di sekitar komplek mereka. Sehingga, lingkungan menjadi asri dan udaranya sehat.
“Karena, yang dimaksud Eko-Pesantren itu bukan hanya bumi, tetapi juga udara yang sehat. Sehingga, para santri bisa menghirup udara segar,” imbuhnya.
Problem Lingkungan di Pesantren dan Strategi Mengatasinya
Ketika saya bertanya masalah lingkungan lain yang dihadapi oleh pesantren, selain sanitasi, beliau menjawab bahwa masalah lainnya adalah sampah.
“Misalnya, mohon maaf, pesantren besar pasti menghasilkan sampah yang banyak, limbah yang banyak. Misalnya, santri putri yang sudah dewasa mesti pakai pembalut. Lha, ini (sampah) pembalut dikemanakan? Kalau ribuan santri, misalnya, semua pakai pembalut, itu kan limbah. Belum termasuk sampah plastik, makanan, ini semua dikemanakan?” jelasnya.
Sampah memang menjadi problem seluruh dunia. Karena itu, pengembangan teknologi pengolahan sampah menjadi penting. Karena, jika dibiarkan menumpuk, gas metana yang dihasilkan dari tumpukan sampah dapat menyebabkan pemanasan global dan terkait langsung dengan perubahan iklim. Ketika sebuah pesantren melakukan ikhtiar mengolah sampah, sebenarnya mereka telah andil dalam mengatasi perubahan iklim.
Dalam konteks pesantren, Pak Waryono mencontohkan ikhtiar yang dilakukan oleh salah satu pesantren yang berada di Jawa Barat, yaitu Pesantren Mahasina, Kota Bekasi. Mereka telah memiliki sistem pengolahan sampah di lingkungannya.
Nampak bahwa begitu buruk dampak yang ditimbulkan dari persoalan lingkungan di pesantren. Saya pun menanyakan kemungkinan kriteria ramah lingkungan menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pesantren ketika mendaftarkan lembaganya.
“Menurut saya itu bagus, ramah lingkungan. Artinya, kita juga ada aturan, (misalnya) tidak boleh mendirikan bangunan di lahan hijau. Itu harus ditaati oleh pesantren. Sehingga, pesantren masih memiliki lahan hijau yang produktif dan tidak mengurangi potensi lingkungan untuk berkontribusi,” jawabnya.
Sayangnya, ketersediaan lahan hijau tidak dimiliki oleh semua pesantren, khususnya yang berada di wilayah perkotaan dengan lahan yang sempit. Menurut Pak Waryono, lahan hijau itu bisa diganti dengan teknologi hidroponik.
“Ketika lahan di kota terbatas, kita bisa tetap menanam sesuatu bahkan sayur-sayuran. Menurut saya, itu membantu masyarakat kota. Mau bagaimana lagi kalau lahannya terbatas? Untuk kamar santri saja kurang,” singgungnya.
Beliau menuturkan, saat ini telah banyak pesantren yang mulai belajar menerapkan kemandirian pangan. Mereka membudidayakan tanaman produktif, mulai dari sayur hingga buah-buahan. Sepanjang pengetahuannya, pesantren yang melakukan hal itu tergabung dalam jaringan Pesantren Al-Ittifaq. Ada beberapa pesantren yang berada di bawah binaannya.
“Sekarang itu sudah ada pesantren yang mendapat hadiah Kalpataru, contohnya pesantren Al-Imdad, Jogjakarta. Mereka punya namanya ‘Pasukan Semut’. Jadi, biasanya habis acara walimah, dangdutan, itu biasanya sampah banyak. Lalu, santri dikerahkan untuk membersihkan,” imbuhnya.
Pak Waryono juga menceritakan pengalamannya berkunjung ke sebuah pesantren di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Selain lingkungannya yang luas dan asri, satu hal dari pesantren itu yang membuat beliau kagum adalah mereka memiliki peternakan kuda. Menurutnya, hal semacam itu merupakan keunikan yang dimiliki oleh pesantren.
“Saya mengunjungi pesantren itu, subhanallah, pesantren itu tidak monolitik, bermacam-macam, dengan keanekaragaman cara belajar. Tapi, itu pesantren yang kyainya itu betul-betul ngaji kitab kuning. Ngaji Alfiyah, Fathul Qorib,” tuturnya.
Peran Pengajar di Pesantren
Dari hal-hal yang telah disebutkan, saya berfikir bahwa semua itu sangat berpotensi untuk disebarluaskan, yakni melalui para lulusan yang nantinya akan terjun ke masyarakat. Sebelum merealisasikan hal itu, tentunya para santri juga perlu mendapatkan wawasan tentang lingkungan yang mendalam. Saya pun bertanya kepada Pak Waryono terkait kemungkinan menyisipkan materi tentang lingkungan ke dalam kurikulum pesantren.
“Jadi, sebenarnya kalaupun tidak disisipkan, itu tergantung pada pengajar. Menurut saya, materi pesantren itu kitab kuning seperti biasa saja, tapi bagaimana seorang guru atau ustadz menjelaskan. Yang perlu itu, bagaimana memberi pelatihan tentang pentingnya lingkungan dalam hidup ini? Sehingga menjadi paradigma para guru ketika mengajar,” ulasnya.
Pada intinya, beliau berpendapat bahwa menambahkan materi tentang lingkungan bisa dilakukan dengan menjabarkan lebih luas materi-materi keagamaan yang telah diajarkan di pesantren. Karena, jika ditelaah, maka sebenarnya ajaran Islam, sekalipun yang sederhana seperti ajaran takwa, bisa dikembangkan menjadi sebuah ajaran yang berwawasan lingkungan.
Pendapat itu sejalan dengan poin kedua Risalah Kongres Umat Islam Untuk Indonesia Lestari. Di sana disebutkan, “Pemuka agama Islam dan tokoh Muslim harus mengambil peran terdepan dalam upaya pendalaman substansi kajian keislaman, komunikasi dan edukasi kepada umat. Tujuannya adalah untuk menegaskan irisan antara krisis iklim dengan iman dan keagamaan secara konsisten.”
“Jadi, kenapa khutbah itu wajib setiap jumat dan selalu ada ittaqullah? Penjabaran ittaqullah ini yang penting. Jadi, ittaqullah itu memang sederhana, imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahihi, gitu kan? Nah, imtitsalu awamirillah ini apa saja? Menurut saya, kalau misalnya tadi isunya lingkungan, salah satu awamirillah adalah menjaga lingkungan. Jadi, menjaga lingkungan itu perintah,” jabarnya.
Tak terasa, kami telah berbincang lebih dari setengah jam. Sebelum pamit, saya meminta beliau memberi wejangan penutup. Utamanya terkait peran umat Islam secara umum dan warga pesantren secara khusus dalam menghadapi perubahan iklim.
“Melestarikan dan menjaga lingkungan itu adalah kewajiban bersama semua pihak. Karena, bumi dan seisinya ini sudah diciptakan oleh Allah sesuai dengan kebutuhan manusia. Itu bisa dipahami dari wa laa tufsiduu fil ardhi ba’da ishlaahiha,” pesannya.
Beliau melanjutkan,”Bagaimana iklim ini tetap terjaga, sehingga alam akan tetap menjadi hunian yang nyaman? Itu bukan tanggung jawab satu atau dua orang. Salah satunya adalah tanggung jawab para pengajar di pesantren, itu bisa memberi contoh. Mohon maaf, misalnya rokok, itu agak berat di lingkungan NU. Saya tidak mengharamkan, tidak pula menganjurkan. Kesadaran-kesadaran seperti itu penting, meskipun guyonannya merokok atau tidak juga sama-sama meninggal.”
Dengan jumlahnya yang begitu banyak, ternyata pesantren sangat berpotensi untuk ikut andil dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Banyak sekali peran yang bisa dilakukan, mulai dari menyebarkan ajaran-ajaran agama yang berwawasan lingkungan, inovasi pengolahan sampah, hingga strategi kemandirian pangan. [NH]
Artikel ini merupakan hasil tindak lanjut kegiatan Bengkel Hijrah Iklim dan hasil kerja sama dengan Purpose Climate Lab.