Menjaga Kelestarian Lingkungan ala Pesantren Ekologi Misykat al-Anwar

Menjaga Kelestarian Lingkungan ala Pesantren Ekologi Misykat al-Anwar

Pesantren Ekologi Misykat al-Anwar memiliki cara sendiri untuk berkontribusi dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan.

Menjaga Kelestarian Lingkungan ala Pesantren Ekologi Misykat al-Anwar
Salah satu bangunan Pesantren Ekologi Misykat al-Anwar. Nampak bangunan didominasi kayu. (Foto: M. Naufal Hisyam, Islami.co)

Kondisi jalanan di sekitar kawasan hutan CIFOR (The Center for International Forestry Research), Dramaga, Kab. Bogor masih setengah basah pasca hujan di malam hari sebelumnya. Saya bukan hendak berwisata, melainkan sedang menuju Pesantren Ekologi Misykat al-Anwar yang kebetulan terletak tak jauh dari kawasan hutan tersebut.

Setibanya di titik lokasi yang ditunjukkan oleh Google Maps, saya kebingungan karena tidak menemukan papan ataupun gerbang yang bertuliskan ‘Misykat al-Anwar’. Saya curiga Google Maps telah “menyesatkan”. Kecurigaan saya bertambah dengan sepinya suasana, padahal seharusnya di lokasi yang saya tuju sedang berjalan kegiatan ‘Bengkel Hijrah Iklim’. Untungnya ada Mas Taufiq, salah seorang pengajar di Misykat al-Anwar.

“Benar, mas. Ini Misykat al-Anwar. Tapi, kegiatannya bukan di gedung sini. Sampean tunggu dulu, nanti bareng saya ke lokasi,” ujar Mas Taufiq.

Sembari menunggu, saya berjalan-jalan di komplek itu. Ada satu bangunan rumah kayu satu lantai yang kokoh. Di bagian tengahnya terdapat ruangan dengan meja di tengah dan rak yang dipenuhi buku di sekelilingnya. Usut punya usut, ternyata ruang itu adalah perpustakaan pesantren.

Belajar Mengaji dan Berkebun

Kecurigaan saya salah. Ternyata, saya bukan salah alamat, melainkan pesantren Misykat al-Anwar yang memang memiliki beberapa lokasi yang terpisah. Menurut pendiri dan pengasuh pesantren, Gus Roy Murtadho, mulanya seluruh tanah pesantren ada di sekitar komplek yang saya sebutkan sebelumnya. Namun, sebagiannya berhasil dijual untuk dikembangkan.

“Kalau yang di situ (komplek yang ada perpustakaan) sudah lumayan elit. Jadi, harga tanahnya sudah mahal. Saya jual lalu beli tanah ini dapetnya dua kali lipat (luasnya),” tutur laki-laki yang akrab disapa Gus Roy ini.

Komplek ini, sebut saja komplek kedua, berjarak sekitar lima kilometer dari komplek pertama. Lokasinya berada di Carang Pulang, Cikarawang, Kec. Dramaga, Kab. Bogor. Akses jalan tidak terlalu mulus, tapi masih layak untuk dilewati kendaraan bermotor, termasuk mobil. Salah satu lokasi yang dilalui saat menuju ke sana adalah Situ Burung, salah satu wisata desa setempat.

“Di dekat Situ Burung itu ada kebun kami. Nanti santri-santri belajar berkebun. Saya ikut nyangkul (mencangkul) juga,” terang mas Fahmi, yang juga pengajar di Misykat al-Anwar.

Di kebun yang luasnya kurang lebih 1000 m2 itu, para santri diajarkan berkebun. Sehingga, mereka tidak hanya mengaji, namun juga belajar budidaya tanaman, mulai dari buah-buahan, sayuran, hingga bunga.

“Hasilnya nggak dijual, tapi kami konsumsi sendiri, buat makan para santri,” mas Fahmi menjelaskan.

Upaya seperti itu layak mendapat apresiasi. Karena, menjamurnya makanan cepat saji turut berkontribusi dalam kerusakan lingkungan. Belum lagi, terkadang kehalalan makanan yang dibeli belum sepenuhnya bisa dipastikan.

“Ini juga ikhtiar mengamalkan ajaran Tasawuf, mas. Menghindari makanan yang syubhat,” lanjut mas Fahmi.

Bangunan yang Menggunakan Barang Mebel Bekas

Ketika kegiatan ‘Bengkel Hijrah Iklim’ memasuki waktu istirahat, saya berkesempatan melihat-lihat bangunan pesantren yang masih separuh jadi ini. Satu hal menarik yang saya jumpai adalah bangunan yang didominasi oleh kayu. Batu bata hanya digunakan untuk separuh bawah bangunan saja. Uniknya lagi, barang mebel seperti pintu dan jendela yang dipasang adalah barang lawas.

“Jendela itu bekas bongkaran stasiun Bogor. Ada yang dari Blora (Jawa Tengah) juga,” ungkap Gus Roy sembari menunjuk barang-barang yang beliau maksud.

Keputusan menggunakan barang mebel bekas bukan tanpa alasan. Gus Roy menuturkan alasan teknis maupun non-teknis di balik keputusan itu.

“Kalau alasan teknisnya, kualitas kayunya itu lebih bagus. Lebih tahan kalau terkena panas maupun hujan,” jelas Gus Roy.

Alasan menjaga kelestarian lingkungan juga menjadi pertimbangan lain. Dan itu dikategorikan oleh Gus Roy sebagai alasan non-teknis.

“Kalau alasan non-teknisnya itu biar nggak perlu menebang pohon lagi. Cukup memanfaatkan barang-barang lama yang masih bagus,” lanjut Gus Roy.

Penggunaan material kayu sebagai penopang bangunan juga dinilainya lebih sesuai dengan iklim tropis negara Indonesia. Selain itu, bangunan yang menggunakan kayu menurutnya memiliki karakter lebih dinamis dalam menyesuaikan pergerakan tanah.

Jumlah santri yang belajar di Misykat al-Anwar hanya sekitar puluhan anak. Hal itu terkait dengan kapasitas asrama yang akan menjadi tempat tinggal para santri yang masih terbatas. Gus Roy menceritakan, sebelum pandemi ada puluhan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang ikut belajar di situ, meski hanya menjadi santri kalong.

“Saat ini jumlah santri hanya 30-an anak, karena memang setiap tahunnya kami batasi. Insya Allah nanti di situ (menunjuk tanah kosong yang berseberangan dengan lokasi pesantren) akan kami bangun asrama untuk mahasiswa. Mohon doanya,” ucap Gus Roy.

Di tengah maraknya bencana alam dan cuaca yang kian tak menentu akibat perubahan iklim, berbagai upaya menjaga kelestarian lingkungan layak diapresiasi. Sudah seharusnya kita semua melakukan upaya bersama dalam menjaga bumi kita. Demi bumi yang lebih lestari.