Pesantren dan Lingkungan: Merawat Situs hingga Eco-Pesantren

Pesantren dan Lingkungan: Merawat Situs hingga Eco-Pesantren

Sebagai lembaga pendidikan Islam, sudah seharusnya pesantren turut mengambil bagian di dalamnya, apalagi di tengah kondisi lingkungan yang semakin memprihatinkan, dan hal itu ternyata telah dilakukan sejak dulu, meski tentu cara yang dilakukan saat itu berbeda dengan yang ada pada saat ini.

Pesantren dan Lingkungan: Merawat Situs hingga Eco-Pesantren

Dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia, pesantren tidak pernah absen berkontribusi, mulai dari pendidikan hingga perjuangan dalam meraih dan menjaga kemerdekaan. Sering perkembangan zaman, pesantren kini tidak hanya berfokus pada pengajaran nilai-nilai agama saja, melainkan sudah merambah ke berbagai bidang lain seperti ekonomi, kebudayaan, hingga lingkungan. (Haris Herdiansyah et. al., 2017)

Terkait dengan bidang yang disebutkan terakhir, yakni lingkungan, tentu bukan pembahasan yang asing di kalangan umat Islam. Karena, di dalam ajaran Islam sendiri banyak mengandung pembahasan tentang lingkungan. Nabi Muhammad pun juga memberikan contoh dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan mulai dari hal-hal kecil, seperti melarang untuk buang hajat di bawah pohon rindang, menyingkirkan batu di jalan, dan lainnya.

Oleh karena itu, sebagai lembaga pendidikan Islam, sudah seharusnya pesantren turut mengambil bagian di dalamnya, apalagi di tengah kondisi lingkungan yang semakin memprihatinkan, dan hal itu ternyata telah dilakukan sejak dulu, meski tentu cara yang dilakukan saat itu berbeda dengan yang ada pada saat ini.

Menurut Ahmad Baso (dalam Ahmad Baso et. al., KH. Hasyim Asyari: Pengabdian Seorang Kyai Untuk Negeri, 2017), dahulu orang-orang pesantren merawat lingkungan dengan cara merawat situs-situs atau makam-makam yang kebanyakan terletak di dekat mata air, di hutan, hingga di pegunungan. Dengan merawat situs atau makam tersebut, mereka sedang menjaga sumber kehidupan bagi manusia di sekitarnya.

Hal tersebut sangat berperan khususnya pada masa orde baru. Baso menjelaskan bahwa pada saat itu terjadi proses pembukaan lahan untuk kepentingan industrialisasi. Untuk mencoba mendapatkan wilayah yang memiliki potensi alam yang berada di sekitar situs atau makam tersebut, pemerintah bahkan rela memelihara kelompok Islam puritan yang mengajak masyarakat meninggalkan praktek-praktek mengunjungi situs atau makam dengan mengatakan bahwa praktek tersebut merupakan kesyirikan.

Dengan hal tersebut, harapannya masyarakat akan berhenti berziarah ke sana dan melupakannya, sehingga pemerintah dapat mengambil alih lahan di sekitarnya untuk menyukseskan proyek industrialisasi. Jika hal tersebut dapat terealisasi, maka masyarakat di sekitarnya tentu akan kehilangan sumber kehidupannya. Orang pesantren yang mengetahui hal tersebut otomatis menjadi benteng terdepan untuk menghalangi rencana tersebut.

Usaha merawat lingkungan yang dilakukan oleh pesantren terus berlanjut hingga saat ini, namun dengan bentuk dan cara yang berbeda. Pada tahun 2008, Kementerian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Kementerian Agama meluncurkan sebuah program yang diberi nama ­Eco-Pesantren. Program ini diluncurkan pada 5-6 Maret 2008 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur. (Jumaruddin, 2013) Program tersebut memiliki beberapa tujuan, antara lain:

  1. Meningkatkan kesadaran bahwa ajaran Islam menjadi pedoman yang sangat penting dalam berperilaku yang ramah lingkungan.
  2. Penerapan ajaran islam dalam aktivitas sehari-hari.
  3. Mensosialisasikan materi tentang lingkungan hidup dalam aktivitas pondok pesantren (ponpes).
  4. Mewujudkan kawasan ponpes yang baik, bersih, dan sehat.
  5. Memberdayakan komunitas ponpes untuk meningkatkan kualitas yang Islami.
  6. Meningkatkan aktivitas yang mempunyai nilai tambah baik nilai sosial, ekonomi, maupun ekologi. Dan,
  7. Menjadikan ponpes sebagai pusat pembelajaran (central of excellence) yang berwawasan lingkungan bagi komunitas pesantren dan masyarakat sekitar.

Meski tidak banyak pesantren yang menggunakan embel-embel Eco-Pesantren, pada prakteknya tiap pesantren mendorong para santrinya untuk menjaga dan merawat lingkungan. Sebagai contoh, di pesantren tempat penulis menimba ilmu dulu, setiap santri mendapat giliran untuk membersihkan halaman setiap pagi. Saat hari libur (Jum’at), juga diadakan bersih-bersih massal.

Sudah saatnya pesantren menjadi role model dalam usaha merawat dan melestarikan lingkungan. Hal ini juga harus mendapatkan perhatian dari lembaga-lembaga terkait, khususnya Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Ditpontren) Kementerian Agama, sehingga dapat terus berkontribusi bagi bangsa Indonesia, tidak hanya di bidang pendidikan melainkan juga lingkungan.