Darimana hendaknya kita memperbincangkan isu lingkungan? Ini pertanyaan sederhana, tapi tak mudah dijawab.
Sebagai fakta, kita telah merasakan secara langsung akibat perubahan iklim. Hujan dan kemarau sudah lama tak menentu. Pranata mangsa (pranata musim) tak lagi berjalan ajeg.
Beberapa bulan lalu cuaca di sebagian negara Eropa, seperti di Jerman, anjlog sampai minus dua digit. Beberapa minggu ini kita di Indonesia seperti hidup dalam mesin panggang. Ya, bumi kita menjadi sangat panas sekali.
Di sebagian negara Pasifik, pulau-pulau banyak yang tenggelam dan warganya menjadi climate refugee (pengungsi akibat perubahan iklim) di negara sekitar.
Tidak jauh dari tempat kita berada, di daerah Demak bagian barat yang dekat dengan laut, beberapa dusun tenggelam karena naiknya air laut serta menurunnya tinggi daratan.
Kompleksnya persoalan lingkungan membuat kita tidak mudah memulai dari mana bicara isu lingkungan. Dengan menyadari ketidakmudahan itu, saya memberanikan diri menulis rangkaian artikel berkala terkait isu lingkungan mulai dari persoalan kita sebagai masyarakat urban di laman Islami.co ini.
Mungkin sebagian kita ingin bernostalgia, bahwa jawaban dari krisis lingkungan kita adalah dengan kembali ke desa, atau memutar sejarah kembali ke masa lalu yang asri. Meskipun sepertinya indah, tetapi pada kenyataannya jawaban itu tidak realistis.
Saat ini tak kurang dari separoh penduduk dunia, atau 56,2% pada tahun 2020, tinggal di kota. Proyeksinya, pada tahun 2050 hampir 70% warga dunia tinggal di kota.
Kota-kota yang dimaksud tersebut tidak meski kota metropolis, tetapi bisa juga kota-kota dalam skala menengah, bahkan kecil. Hal ini menegaskan sebuah pernyataan yang terkenal, cities are here to stay, and the future of humanity is undoubtedly urban (kota-kota merupakan tempat tinggal kita saat ini, dan masa depan manusia tak diragukan lagi adalah (kultur) urban.
Kecenderungan warga dunia untuk tinggal di kota daripada di desa merata di semua benua. Angka-angka statistik menunjukkan peningkatan terus terjadi dan tampaknya akan terus melaju. Misalnya, pada tahun 2050 diproyeksikan 89% penduduk Amerika Utara tinggal di kota, selanjutnya berturut-turut penduduk Eropa 83,7%, Asia 66,2%, dan Afrika 58,9%.
Secara umum kultur urban membawa persoalan yang tidak mudah diurai, seperti ketimpangan sosial, kemiskinan, dan krisis lingkungan untuk menyebut sebagian kecil saja.
Para ahli berbeda pendapat dalam hal membayangkan masa depan kehidupan kita, kemudian menyodorkan skenario menurut versinya masing-masing.
Bagaimana Skenario Masa Depannya?
Dokumen World Cities Report 2022 yang dilansir UN-Habitat bertajuk Envisaging the Future of Cities (Membayangkan Masa Depan Kota) menuliskan tiga macam skenario masa depan. Tulisan ini hanya fokus pada sekenario menyangkut krisis lingkungan, yaitu high damage scenario (skenario kerusakan berat), pessimistic scenario (skenario pesimistik), dan optimistic scenario (skenario optimistik).
Pertama, skenario kerusakan berat. Menurut skenario ini perubahan iklim memperparah krisis perkotaan yang tanpanya pun masalah sosial kota sudah sangat kompleks. Jika persoalan perubahan iklim tak dapat ditangani dengan baik, kehancuran kota yang membawa penderitaan berat berada di depan mata.
Kedua, skenario pesimistik. Skenario ini menyatakan krisis lingkungan akan menghantui warga kota, persis sebagaimana persoalan khas kota lain, yaitu terkait perbedaan kelas. Perubahan iklim utamanya akan dirasakan oleh kelompok-kelompok rentan, seperti orang-orang miskin kota, para pengungsi, migran, perempuan, dan anak-anak.
Ketiga, skenario optimistik. Kesadaran yang semakin tinggi tentang krisis lingkungan dan dampak perubahan iklim membuat warga kota dan pemangku kebijakan bekerja keras memikirkan bagaimana membangun kota yang berkelanjutan (sustainable cities) dan mempraktikkannya. Meskipun tantangannya tidak ringan, pola hidup dan kebijakan yang ramah lingkungan diharapkan mampu membawa warga kota terhindar dari krisis berat lingkungan.
Jika kondisi tak tertolong, bisa jadi skenario pesimistik atau bahkan skenario kerusakan berat lah yang akan terjadi. Namun apakah kita menyerah pada kemungkinan terjadinya kerusakan besar itu?
Salah satu teologi arus utama yang berkembang di kalangan umat Muslim dunia, termasuk di Indonesia, adalah teologi yang melihat kehidupan secara lebih optimis. Tentu ini tidak berarti bahwa kita menganggap persoalan lingkungan kita sedang baik-baik saja.
Sikap dasar dari teologi Asy’ariyah, sebuah madzhab teologi arus utama di Indonesia, dalam menghadapi persoalan kehidupan di dunia adalah tawakal, penyerahan diri pada Tuhan. Konsep ini tampak lembek dan seperti menyerah pada kondisi.
Namun tidak demikian pemahaman tawakal dalam teologi Asy’ariyah. Penyerahan diri pada Tuhan memiliki fungsi psikologis, menghidari beban tekanan yang berat dalam kehidupan kita, sehingga kita terhindar dari pikiran stres.
Dengan ber-tawakal, kita malah dapat berpikir jernih menghadapi persolan yang kompleks, berat, dan rumit. Menjadi bagian dari konsep tawakal itu juga, seseorang atau komunitas wajib bersikap optimis dan mengajukan tawaran terbaik, baik pemikiran muaupun praktik hidup, bagi persoalan yang sedang dihadapi.
Dalam konteks perbincangan kita saat ini persoalan tersebut adalah persoalan krisis lingkungan.
Muslim dalam Perubahan Iklim
Pertanyaan yang penting dijawab sekarang, mengapa umat Muslim menjadi penting di dalam isu lingkungan dan perubahan iklim? Jawabannya, tak dapat dipungkiri bahwa Muslim merupakan penduduk terbesar kedua di atas bumi ini, setelah Kristen.
Selain itu, meskipun pada kenyataannya ada ragam tingkat komitmen yang berbeda-beda, pada umumnya umat Muslim di banyak negara termasuk di Indonesia memiliki kedekatan dengan tradisi dan/atau institusi keagamaannya. Dengan kata lain Muslim memiliki kedekatan identitas keagamaan yang masih relatif tinggi.
Mengenai jumlah penduduk, sebuah kajian di Pew Research Center (2023) menyatakan bahwa proyeksi prosentase jumlah penduduk Muslim dunia pada tahun 2030 mencapai 26,4%. Pada tahun itu penduduk dunia diproyeksikan berjumlah 8,3 milyar jiwa.
Sebuah studi yang diterbitkan agak lama sebelumnya oleh David B Barrett (2002) menyebutkan jumlah penduduk Muslim dunia pada tahun 2000 sebesar 1,1 milyar (19,6%). Sementara itu jumlah penduduk Kristen dunia berjumlah 1,9 milyar (33%).
Pada saat itu Barrett membuat hitungan proyeksi pertumbuhan rata-rata. Pertumbuhan umat Muslim rata-rata sebesar 2,13%, sedangkan umat Kristen 1,36%. Hasil proyeksinya pada tahun 2050, umat Muslim dunia akan berjumlah 2,2 milyar, sedangkan umat Kristen 3,0 milyar.
Dalam kehidupan sehari-hari dapat dibayangkan berapa besar jumlah sampah yang dihasilkan oleh satuan penduduk dengan identitas keagamaan setinggi itu? Belum lagi pemakaian listrik, bahan bakar kendaraan yang bersumber dari fosil, makanan serta air yang dikonsumsi, dan seterusnya.
Jika kampanye hidup ramah lingkungan berhasil di kalangan umat Muslim saat ini dan di masa depan, maka umat Islam sedang dan akan berkontribusi besar bagi penyelamatan dunia dari krisis lingkungan global yang semakin mengancam.
Indonesia saat ini tercatat menjadi negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan cara berpikir di atas, tak berlebihan bila Muslim Indonesia mulai tergugah dengan praktik hidup ramah lingkungan. Ini adalah cita-cita yang tampaknya mudah dikatakan, tetapi perlu kerja keras dan praktik keseharian yang tidak gampang.
Selain membutuhkan konsep teologi, pemikiran, pendidikan, dan politik kebijakan yang mendukung, hidup ramah lingkungan juga mensyaratkan praktik nyata sehari-hari.
Terkait dengan gagasan dasar esai ini, kontribusi umat Muslim Indonesia tersebut akan banyak bertumpu pada keterlibatan Muslim urban dalam mempraktikkan cara hidup yang ramah lingkungan.