
Pernyataan oversimplifikasi Presiden Prabowo Subianto terkait deforestasi telah melahirkan berbagai tulisan bernada kritik. Premisnya yang mengajak masyarakat agar tak perlu takut terhadap praktik deforestasi karena hutan yang digunduli nantinya akan kembali ditanami pohon dengan jenis yang lain, yakni kelapa sawit, membuat banyak pakar lingkungan harus repot-repot menjelaskan tentang prinsip lingkungan dasar, utamanya yang berkaitan dengan deforestasi, apa itu megabiodiversity, dan ekosistem. Sebab pernyataan Kepala Negara kita itu, seolah menunjukkan dirinya tak paham berbagai prinsip dasar tersebut.
Sebagai misal, respon kritis itu datang dari Dekan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada dan Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI), Prof Budi Setiadi Daryono; serta dari Ahli Kehutanan IPB, Prof. Arya Hadi Dharmawan (Sumber: Tempo.co). Argumen kritik yang dibangun oleh kedua pakar ini sama-sama menggunakan perspektif ekologi. Mereka melihat bahwa konklusi yang menganggap kelapa sawit sama saja dengan tanaman lain, baik dari segi sifat dan fungsinya, sehingga karenanya deforestasi tak perlu ditakuti, jelas merupakan sesat pikir.
Namun di sisi lain dan yang masih belum banyak dibahas adalah fakta bahwa kekeliruan Prabowo sejatinya tidak hanya menyangkut soal ekologi semata, tetapi juga sangat erat kaitannya dengan problem agraria dan rekognisi terhadap Penghayat Kepercayaan secara khusus, atau masyarakat adat secara umum. Celah inilah yang akan dielaborasi lebih jauh dalam tulisan ini. Bahwa pernyataan Prabowo jelas menihilkan berbagai implikasi dan konteks yang tak bisa dipisahkan dari praktik deforestasi di Indonesia.
Deforestasi dan Konflik Agraria
Entah pemerintah Indonesia tutup mata atau memang kedap terhadap informasi, tetapi rasanya tak kurang informasi yang menyebutkan bahwa deforestasi tak hanya menimbulkan problem ekologis yang dahsyat, tetapi juga acapkali menggerus hak serta eksistensi dari Penghayat Kepercayaan dan masyarakat adat, utamanya menyangkut lahan hutan yang menjadi tempat mereka hidup.
Per hari ini, sangat mudah bagi kita untuk melihat bahwa masih banyak Penghayat Kepercayaan dan masyarakat adat yang terancam eksistensinya karena praktik deforestasi. Sebut saja, misalnya, Masyarakat Adat Dayak Hibun di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menghadapi PT Mitra Austral Sejahtera (Sumber: Tempo.co); Masyarakat Suku Awyu di Boven Digoel atau Suku Moi di Sorong berhadapan dengan PT Indo Asiana Lestari, PT Kartika Cipta Pratama, PT Megakarya Jaya Raya (Sumber: Mongabay.co.id) yang hingga tulisan ini dibuat, mereka masih terus berjuang untuk mempertahankan hak-hak mereka sebagai masyarakat adat yang menjadi bagian dari warga negara Indonesia. Namun alih-alih mendapat respon positif dari pemerintah, mereka harus mendengar pernyataan yang seolah melegitimasi apa yang saat ini mereka lawan. Sialnya, pernyataan itu diucapkan oleh otoritas tertinggi pemerintahan kita: Presiden.
Dalam konteks deforestasi, penting bagi pemerintah untuk melihat persoalan ini secara holistik. Apa yang kita sebut hutan, tak sesederhana hanya seonggok lahan yang dihuni oleh beragam jenis flora dan fauna dan bakteri. Hutan, dalam perspektif para Penghayat Kepercayaan dan masyarakat adat, memiliki makna yang mendalam. Ada semacam sakralitas dan nilai spiritual yang melekat terhadap hutan (dan lingkungan sekitar). Melalui perspektif ini, merusak hutan artinya menginjak-injak kepercayaan mereka; identitas mereka; dan tentu saja, hak mereka.
Di republik ini, kita tentu tak asing dengan segala gembar-gembor perihal penistiaan agama. Tetapi sayangnya, UU Penistaan Agama seolah tak berfungsi bagi Penghayat Kepercayaan. UU itu nampak hanya berlaku bagi kaum mayoritas belaka. Padahal jika mau merujuk pada logika yang sama, praktik deforestasi juga merupakan tindakan menista agama atau kepercayaan. Bahkan praktik ini bukan lagi di tahap menista, namun jelas-jelas merusak. Deforestasi telah menghancurkan entitas sakral yang menjadi bagian integral dalam bangunan kepercayaan Penghayat Kepercayaan. Praktik itu sama seperti merusak gereja, masjid, vihara, atau tempat suci lain yang dianggap memiliki nilai spiritual bagi penganutnya.
Saya jadi teringat sebuah novel yang ditulis oleh Mario Vargal Llosa, “Sang Pengoceh”, yang diterbitkan oleh Penerbit OAK dan diterjemahkan oleh Ronny Agustinus. Sebuah novel yang dengan sangat baik menangkap bagaimana perspektif masyarakat adat yang mendiami lembah sungai Amazon terhadap lingkungannya. Melalui novel tersebut kita tahu bagaimana beragam suku yang mendiami perairan Amazon itu selalu didesak dengan cara diberangus eksistensi serta lahan dan alamnya sehingga mereka praktis tak punya tempat lagi. Mereka dipaksa tunduk dan diseret supaya meninggalkan nilai-nilai yang dianggap ‘terbelakang’. Sebuah deskripsi yang nampak familiar untuk kita yang tinggal di Indonesia, bukan?
Kebijakan Tanpa Riset
Peristiwa ini seharusnya membuat kita kian sadar tentang betapa seringnya pemerintah merumuskan dan menetapkan suatu kebijakan tanpa mendasari dengan hasil riset yang kokoh serta keterlibatan pakar dan masyarakat sipil. Padahal, prasyarat ini perlu diperhatikan supaya perspektif yang menjadi parameter pemerintah betul-betul tepat sasaran.
Sebagai misal, jika pemerintah melakukan deforestasi dengan dalih ‘kemajuan’ dan ‘pembangunan’, maka apa tolok ukur kemajuan dan pembangunan itu? Sebab kita patut curiga bahwa jangan-jangan apa yang disebut dengan ‘kemajuan’ dan ‘pembangunan’ itu adalah parameter yang dibuat sesuai dengan udel para taipan dan penguasa.
Dalam konteks ini, diksi ‘kemajuan’ seolah dipakai untuk melabeli Penghayat Kepercayaan dan masyarakat adat sebagai udik, tidak beradab, anti modern dan lain semacamnya, dan labeling ini kemudian bermanfaat bagi perusahan dan otoritas sehingga dapat memuluskan langkah bisnisnya, mendatangkan alat berat dan melakukan deforestasi, demi akumulasi laba yang lebih deras.
Membenahi parameter dengan melihat secara utuh eksistensi masyarakat adat dan Penghayat Kepercayaan (atau siapa pun yang mendiami sekitar hutan) penting dilakukan sebab mereka adalah pihak pertama yang merasakan dampak dari praktik deforestasi. Bahkan ini tak hanya soal deforestasi, praktik lain semisal tambang atau proyek real estate atau food estate, perlu melihat aspek holistik dari masyarakat yang ada di sekitar proyek. Jangan melulu ekonomi yang menjadi panglima. Sebab kita tentu tak ingin mimpi pemerintah dalam mencapai angka pertumbuhan ekonomi 8% itu dilakukan dengan menanggalkan nilai-nilai kemanusiaan.
Ekologi dan Rekognisi Penghayat Kepercayaan
Selanjutnya, ada hal lain yang perlu kita telusuri, yaitu terkait dengan keseriusan pemerintah dalam menanggapi isu lingkungan, serta upaya rekognisi para Penghayat Kepercayaan atau masyarakat adat. Sebab, pernyataan Prabowo terkait deforestasi seolah menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tak memiliki orientasi yang jelas (blueprint) dalam merespons isu-isu lingkungan, atau dalam merekognisi Penghayat Kepercayaan serta masyarakat adat.
Dalam sebuah film dokumenter yang berjudul “17 Surat Cinta” yang dipublikasikan di kanal YouTube Indonesia Baru, kita bisa melihat bahwa pemerintah kerap absen (bahkan campur tangan) dalam pelanggaran yang dilakukan oleh ragam perusahaan terkait perusakan alam. Sebagai misal, apa yang terjadi di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Aceh. Di tanah suaka yang jelas-jelas memiliki landasan hukum untuk tidak dirusak, justru suatu perusahaan hadir di sana, menghadirkan alat berat seperti buldozer dan kawan-kawannya, melakukan deforestasi, dan membakarnya. Ragam satwa liar dan dilindungi terancam, penduduk sekitar akhirnya menanggung segala jenis bencana seperti banjir yang menjadi konsekuensi logis dari perusakan hutan.
Laporan serta surat dari sekelompok aktivis dan LSM justru membentur tembok-tembok kebungkaman, dan perusakan terus berlanjut. Angka terkait perusakan ini bisa pembaca tinjau lebih detail di film dokumenter tersebut. Dalam konteks ini, saya hanya ingin menegaskan bahwa di tengah bertumpuk-tumpuk kasus deforestasi yang melahirkan problem agraria, diskriminasi masyarakat adat, dan tentu saja problem ekologis, semestinya Prabowo Subianto selaku kepala negara tidak mengeluarkan pernyataan sebagaimana disinggung di awal jika memang pemerintah memiliki itikad dalam menyeriusi problem lingkungan dan pengakuan terhadap kelompok minoritas.
Ya, kecuali memang pemerintah punya prinsip yang sebaliknya.
(AN)