Kehidupan beragama di Indonesia mendapat tantangan serius seiring dengan kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK). Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, diversitas religius, identitas dan etnik di Indonesia adalah sumber daya yang potensial, baik itu untuk dioptimalkan bagi kebaikan bersama ataupun untuk dieksploitasi sebagai energi politik. Kedua, kemajuan TIK membuka pintu lebar bagi figur kharismatik, aktor populis, selebriti-mikro, bots, pendengung dan aktor lain yang mengaburkan kebenaran untuk naik panggung dan mendapat posisi di hati masyarakat.
Kombinasi dari dua hal tersebut melahirkan permasalahan yang dapat menurunkan kualitas beragama dan kualitas hubungan antar/intra-agama di Indonesia. Kemajuan TIK menyajikan konten agama yang minim transpransi metode penelaahannya. Desain teknologi digital, beserta turunannya seperti media sosial dan sejenisnya, tidak didesain untuk menyampaikan gagasan yang ketat, panjang dan mendalam, tapi di desain untuk menyampaikan hal-hal receh dan emosional. Konsekuensinya, audiens awam menjadi rentan menerima konten agama begitu saja tanpa ada skeptisisme karena konten yang disampaikan umumnya sejalan dengan ideologi yang dianut atau selaras dengan perasaan yang dialami.
Kerentanan audiens awam juga diamplifikasi oleh logika kebenaran agama yang menenakankan kepercayaan pada sesuatu yang tidak empirik sebagai indikasi ketebalan iman. Anggapan bahwa, ‘hanya karena sesuatu tidak terlihat, bukan berarti tidak benar,’ sering kali diumbar oleh aktor-aktor anti-demokratik berkedok agama untuk memperkuat legitimasinya. Pada taraf yang ekstrim, logika tersebut juga diarahkan untuk membenarkan tindakan-tindakan agresif.
Intransparansi metode yang melekat pada konten agama tidak berhenti sependek pada perilaku agresif di kalangan pemeluknya. Robert W. Hefner dalam kuliah umumnya Scaling Up Pluralism di tahun 2018 di UGM, bahkan juga menggarisbawahi bahwa interaksi daring mengubah konsesus operasional antar warga/kelompok yang berbeda identitas. Hefner melihat perubahan itu memengaruhi bagaimana mereka merekognisi identitas lain seharusnya diperlakukan. Tatapan peyoratif atau bahkan presekusi bisa dianggap tindakan yang normal dilakukan oleh orang muslim terhadap orang cina-kristiani bila komunitas muslim tersebut terpapar oleh informasi beracun yang seragam.
Masalah-masalah yang telah diuraikan diatas dapat bergulir menjadi bola salju di masa depan bila penyebarannya tidak terkontrol hari ini. Teknologi digital telah mendigitalisasi hampir seluruh aspek agama. Perubahan cara pandang pasti terjadi. Tantangan ini dapat semakin menjadi-jadi bila, pertama, fasilitas untuk menipu (deceit) di ruang digital semakin variatif sekaligus sofistik. Dalam jangka waktu dekat, deepfakes, sejenis fasilitas yang dapat mengimitasi wajah, gerak bibir, dan suara seseorang dalam bentuk gambar dan video, akan melengkapi fasilitas sebelumnya yang berupa fakenews, propaganda komputasi, bias algoritmik, dan sejenisnya.
Kedua, bila umat beragama tidak dibekali literasi digital dan kemampuan berpikir kritis. Dua bekal tersebut mencakup kemampuan untuk memilah dan memilih informasi, mengenali gaya komunikasi yang mengeksploitasi emosi, mau menyelam ke dalam pemikiran yang berbeda dengan dirinya, dan memiliki perilaku saintifik (scientific attitude). Sayangnya kondisi di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Misalnya, hoaks tentang kriminalisasi ulama dan kebangkitan PKI adalah dua jenis hoaks yang paling banyak dipercayai di 9 kota di Indonesia. Bahkan, kelompok terbesar yang mempercayai dua hoaks itu justru berasal dari jenjang pendidikan tinggi.
Selaras dengan kondisi itu, laporan survei Edelman Trust Barometer tahun 2020 menunjukkan bahwa, di antara beberapa stakeholder masyarakat, yakni: ilmuan, jurnalis, pebisnis, pemerintah, media, artis, dan tokoh agama, tokoh agama adalah stakeholder yang dianggap paling tidak kompeten nomer tiga dalam menjawab tantangan zaman.
Tawaran formulasi baku etika komunikasi adalah salah satu upaya untuk meningkatkan relevansi agama dalam menghadapi tantangan teknologi. Kementerian agama dan sebagian organisasi moderat, cenderung berfokus pada perlawanan wacana daring yang umumnya diusung oleh aktor anti-demokratik, dan belum menyentuh dimensi kritik kebudayaan teknologi.
Di samping itu, peran pemuka agama masih terbatas pada himbauan dan seruan dari sudut pandang aturan agama masing-masing, dan belum memberikan angin segar bagi permasalahan perubahan cara pandang masyarakat terhadap institusi keagamaan, cara beragama, dan tantangan etika yang disebabkan oleh kemajuan TIK.
Formulasi baku tentang etika komunikasi perlu disumbang oleh agama, agar agama tetap memegang relevansinya dalam kehidupan yang semakin ditelan oleh teknologi. Bila sumbangan ini tidak diberikan, mengingat derasnya aktor anti-demokratik yang mengeksploitasi agama, dikhawatirkan agama terjatuh menjadi objek yang dipandang kehilangan relevansinya karena lebih banyak meninggalkan kesan negatif dibanding positif di kehidupan digital.
Salah satu contoh agama yang telah memberikan formulasi baku tentang etika komunikasi adalah kristen katolik. Di tahun 1963-1965, Second Vatican Council menyadari bahwa perubahan media (radio, televisi, komputer dan seterusnya) membawa ancaman bagi eksistensi institusi agama itu sendiri. Communio et Progressivo (1971) menjadi dokumen rujukan bagi etika-katolik tentang kemajuan TIK.
Ada tiga argumen yang dipegang dalam etika-katolik tentang kemajuan TIK, pertama, terbentuknya opini publik adalah siklus esensial bagi hak asasi manusia. Kedua, hal itu berimplikasi pada hak untuk mengakses informasi, dan ketiga, agama juga termasuk agen yang memberikan informasi yang benar. Tiga argumen tersebut diarahkan untuk membingkai dinamika yang terjadi dalam ruang digital.
Otoritas kristen katolik yang terpusat menciptakan payung besar bagi pelaku komunikasi di tataran yang lebih kecil untuk merujuk pada rumusan etika yang telah disepakati. Payung besar tersebut dapat diturunkan dalam bentuk teknis ataupun filosofis laku hidup yang memuat soal agama dan digital.
Agama di Indonesia, khususnya Islam sebagai agama mayoritas, dapat meniru bentuk formula baku yang dibuat oleh kristen katolik namun dengan subtansi yang telah dikontekstualisasikan. Upaya untuk menyumbang etika komunikasi dapat dibuka bagi semua agama yang ada di Indonesia. Perbedaan sudut pandang yang ada pada tiap agama akan memperkaya keberagaman perspektif etika komunikasi.
Kehadiran bentuk baku formula etika komunikasi yang dipayungi komunitas agama dibutuhkan agar perilaku daring yang tidak etis mendapat kontrol sosial yang memadai dan isu-isu fundamental soal hubungan praktik agama yang terdigitalisasi mendapat ulasan yang mendalam sekaligus kolaboratif.
Tahlilan misalnya. Sejauh apa menggunakan gawai atas nama menyebar kebaikan saat tahlilan dapat dilegimasi, bila mengingat akar mula tahlilan adalah budaya oral? Budaya oral menggunakan instrumen kelisanan sebagai medium untuk melebur diri ataupun komunitas pada kesakralan ruang dan kesakralan vertikal (ilahiyah). Saat gawai ikut mewarnai, orang yang bersangkutan akan terpisah dari medium peleburan diri tersebut.
Itu hal sederhana, namun perlu ditinjau ulang dimensi etisnya karena keberadaan gawai telah mengubah cara pandang orang tentang kesakralan dan tentang peleburan diri, tanpa sadar. Artinya, spektrum etik TIK yang disediakan tidak hanya berhenti pada persoalan kultural (seperti tahlil dan sejenisnya), namun juga mencakup persoalan ritual (cara beribadah), dan persoalan hubungan antar manusia yang termediasi.
Abeed Al-Jabiri punya istilah nalar bayani, burhani dan ‘irfani. Nalar-nalar ini sangat berpengaruh dalam melihat fenomena dari kehidupan keagamaan. Namun perlu untuk tidak dilupakan bahwa sejarah evolusi cara berpikir manusia adalah sejarah evolusi media: ada nalar oral, tulisan, televisi dan gawai. Saat nalar Jabirian saling bertumpuk dengan nalar media, maka dibutuhkan investigasi yang proporsional dalam menelaah keduanya, agar memastikan bahwa tindakan kita (khususnya dalam hal keagamaan) benar-benar ajeg secara etis dan tidak terkena bias teknologi.