Sebelum masuk ke persoalan utama, mungkin tidak begitu penting, tapi agaknya cukup relevan untuk saya kemukakan di depan ini. Bahwa apa yang dikatakan Ibn Khaldun tentang fanatisme mungkin memang benar adanya. Fanatisme mungkin memang cukup sejalan dengan adanya kekuatan yang besar. Oleh karena itulah, fanatisme mungkin memang dibutuhkan.
Tidak berlebihan kiranya jika saya mengatakan bahwa fanatik terhadap ideologi bangsa adalah mutlak untuk dilakukan. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah agar bangsa ini tetap utuh karena dalam catatan sejarah realnya memang demikian adanya. Beberapa kasus yang terjadi di Timur Tengah mungkin dapat menjadi contoh nyata, tentang betapa bahayanya jika sesama anak bangsa saling bermusuhan. Orang-orang tak bersalah ikut menjadi korban, kelaparan di mana-mana, tempat tinggal rusak porak-poranda dan sebagainya.
Beberapa hari yang lalu, ketua umum Banser tidak bisa tidak harus ikut bertanggung jawab karena adanya insiden yang dilakukan oleh beberapa anggotanya. Mereka, seperti tersebar di video-video pendek, membakar bendera berkalimat tauhid. Alasan pembakaran bendera tersebut pun tidak main-main, adalah untuk melindungi bangsa dari gerakan-gerakan radikal yang mencoba menentang ideologi bangsa Indonesia. Tidak sepenuhnya salah, namun tidak juga sepenuhnya benar, seiring dengan adanya pihak yang kemudian mempermasalahkannya, dalam hemat saya.
Akhir-akhir ini, gerakan nekat mereka yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam memang tidak bisa diremehkan. Namun jika hendak dipahami dari realita yang ada, tuntutan mereka cukup masuk akal juga, dalam arti bahwa ada yang tidak beres dengan bangsa ini.
Para pejabat yang masih saja tersandung kasus korupsi, ketimpangan ekonomi, dan beberapa hal lain yang dirasa memang perlu untuk diperbaiki. Emosi mereka yang menginginkan berdirinya negara Islam Indonesia, katakan saja begitu, semakin menjadi, ketika sebagian besar mereka yang terjerat kasus-kasus seperti yang saya katakan di atas tadi adalah mereka yang menjadi bapak dari negeri ini. Namun, seperti yang telah saya singgung dalam tulisan saya sebelumnya ‘Logika Tunggal Negara Islam’ memperbaiki permasalahan negara dan bangsa adalah tidak mudah. Singkatnya adalah tidak cukup dengan mengganti sistem dan atau ideologi semata.
Kalimat tauhid, dalam agama Islam, mungkin memang menjadi salah satu kalimat yang sangat dihormati. Maka adalah wajar-wajar saja jika ada beberapa pihak yang kemudian mempermasalahkan pembakaran bendera bertulisan kalimat tauhid itu. Bahkan tidak hanya itu, di Indonesia sendiri hak untuk menyuarakan pendapat memang diakui. Oleh karena itulah, sangat bisa dipahami jika kemudian suara protes pembakaran bendera itu terdengar kemana-mana.
Tapi pernahkah kita menengok ke belakang untuk memprotes apa yang dilakukan oleh khalifah Ustman bin Affan waktu itu. Melihat kembali bagaimana sejarah khalifah Ustman bin Affan dalam mengatasi perbedaan bacaan Alquran yang kemudian melahirkan perselisihan. Singkat kata, dalam beberapa catatan sejarah, Sang Khalifah kemudian membakar mushaf-mushaf Alquran yang dirasa memang perlu untuk dibakar karena mushaf resmi saat itu telah selesai disusun oleh Zaid bin Tsabit dan beberapa rekannnya.
Jika motif pembakaran bendera adalah karena untuk menlindungi negara dan bangsa dari kekacauan, maka kiranya kenapa meski dipermasalahkan. Apa yang sebenernya sedang kita bela?. Bukankah agama itu turun untuk memperbaiki kekacauan-kecauan yang ada?. Apakah karena atas nama hak menyuarakan pendapat lantas membuat kita menutup mata dari niat-niat baik mereka. Menjadi semakin ironi adalah ketika nama-nama ulama kemudian ikut dibawa-bawa. Padahal mereka yang membakar bendera juga berdiri kokoh membela ulama.
Tak bisakah beragama atau berislam dengan santai. Dengan tidak menganggap diri paling benar. Dengan tidak menganggap diri paling istimewa dihadapan Tuhan. Bukankah Tuhan tidak perlu dibela tetapi justru kita yang mengharap welas asihnya.