Jika mata harus dibalas dengan mata, itu hanya akan membuat seluruh dunia buta” ~ Mahatma Gandhi
Penolakan hingga pembubaran pengajian Syafiq Riza Basalamah (SRB) berakhir ricuh dan bahkan mengakibatkan kekerasan langsung atau kekerasan fisik. Peristiwa ini terjadi pada Kamis, 22 februari 2024 lalu, di Masjid Assalam, Perumahan Purimas, Gunung Anyar, Surabaya. Penolakan datang dari massa Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Banser.
Berita penolakan kajian tersebut pertama saya ketahui justru dari story WA rekan Kristen saya. “Saya tidak sepaham dengan ajaran Ustadz Syafiq Riza Basalamah, tapi saya membela sampai mati hak beliau untuk berbicara mengenai agamanya. Pembubaran kajian yang dilakukan B*nser merupakan pelanggaran HAM untuk kebebasan berpendapat mengekspresikan cara beragama. Hal ini tentu sangat disayangkan”, demikian bunyi story tersebut.
Sesaat setelah membaca story tersebut, saya lalu berselancar untuk mencari kronologi dan mencoba menelusuri apa yang sebenarnya terjadi.
Dalam hati saya bertanya, mengapa masyarakat kita mudah sekali melakukan aksi-aksi penolakan seperti itu?
Menyatakan ketidaksetujuan tentu hal wajar, namun di muka publik mempertontonkan kekerasan dan otot, apakah demikian kira-kira masyarakat kita menyikapi perbedaan-perbedaan? Apakah perbedaan cara memahami teks atau ajaran agama (baca: Islam)—cara menyikapinya mesti demikian?
Jika ditanya, saya tentu tidak setuju menghakimi ajaran atau penafsiran orang yang berbeda, di mana notabene settiap hari kita berhadapan dengan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan. Apapun alasannya, melancarkan kekerasan dengan berbagai rupa gradasinya tentu tidak dapat dibenarkan juga, dan menghina kemanusiaan.
Saya tidak akan menyalahkan GP Ansor atau SRB atau bahkan pihak Yayasan Masjid Assalam, termasuk juga tidak tertarik mencari siapa yang salah dalam peristiwa konflik tersebut. Apa yang kita amati di peristiwa penolakan kajian SRB merupakan ilustrasi bagaimana kekerasan itu masih jadi kebiasaan yang dinormalkan dalam masyarakat kita, seolah tiada bahasa lain selain kekerasan jika kita tengah berhadapan dengan konflik—yang berakar pada perbedaan-perbedaan.
Kita gagap melakukan dialog dan mengupayakan cara nirkekerasan lainnya—yang notabene membutuhkan upaya aktif yang lebih keras untuk tidak melanggengkan spiral kekerasan di masyarakat kita.
Beda Pendapat = Berhak Ditolak/Dibubarkan Paksa
“Memaksakan kebenaran kepada orang lain, adalah cara yang tidak rasional, meskipun isi kandungannya sangat rasional”. (Gus Dur)
Dilansir dari berbagai sumber media, aksi pembubaran pengajian akan diisi oleh SRB di Masjid Assalam, Perumahan Purimas, Gunung Anyar, Surabaya—meski SRB bukan kali pertama menyampaikan pengajaran agama di sana. Ketegangan bermula tatkala sejumlah peserta pengajian yang sudah hadir di masjid tidak terima pengajian dihentikan SRB benturan dengan GP Ansor dan Banser yang merangsek masuk. Di banyak video, dapat disaksikan aksi saling dorong dan adu pukul tidak terhindarkan ketika kedua pihak tersebut bertemu.
Di pengalaman bangsa Indonesia, berbeda pendapat atau penafsiran terhadap satu ajaran agama tertentu seperti tiket untuk menolak dan sah membubarkan paksa dengan cara apapun. Gradasi kekerasan seperti ini lumrah kita lihat dalam sejarah panjang republik ini berdiri. Kita belum lupa bagaimana berbagai kasus kekerasan demi kekerasan, baik itu kekerasan oleh negara, hingga sipil atau masyarakat biasa yang saling serang atau meniadakan seolah paling berhak mendiami republik ini.
Di hadapan perbedaan atau sesuatu yang dianggap tidak nasionalis atau dituduh pancasilais, atau bahkan dituduh tidak/kurang Islami, seolah memang kebenaran milik kita sendiri dan menjadi absolut hingga menghadirkan kekerasan di tengah gelanggang konflik di masyarakat kita.
Tindakan represif nan menindas seperti ini sudah jamak kita temukan di pengalaman bangsa yang memiliki banyak luka dan trauma kolektif ini, saking banyaknya, jika ditulis di sini tak akan muat untuk ditulis daftarnya.
Spiral Kekerasan
Saking maraknya aksi-aksi represif seperti itu, dapat dilihat antara jemaat pengajian di Masjid Assalam dan Banser serta GP Ansor tidak satu pun keluar menjadi pemenang, mereka semua kalah. Kalah dari situasi yang memang tidak menguntungkan jika sebuah persoalan yang bisa diupayakan dialog justru berakhir konyol dengan tindakan kekerasan langsung/fisik.
Normalisasi kekerasan di masyarakat masih begitu dominan, khususnya ketika berhadapan dengan diamnya orang yang mendaku baik, sehingga kekerasan itu menari-nari di ruang publik kita. Tak pelak masyarakat kita terjebak pada apa yang disebut oleh Dom Hélder Câmara (1909-1999), Uskup Agung Olinda dan Recife Brasil—sebagai spiral kekerasan.
Anggaplah ketika SRB dituduh kerap melancarkan pengajaran agama yang provokatif serta ujaran kebencian sebagai kekerasan. Dan tindakan beberapa orang Banser dan GP Ansor yang memaksa merangsek masuk masjid dan terlibat kekerasan fisik juga merupakan kekerasan. Câmara menyebut bahwa kekerasan bukanlah jawaban yang sesungguhnya atas kekerasan, sebab jika kekerasan dihadapi dengan kekerasan, maka dunia akan jatuh pada spiral kekerasan.
Dalam buku berjudul Spiral of Violence (1971), Câmara menuliskan bagaimana lingkaran aksi dan kekerasan itu akan terus-menerus bergulir, hingga ada yang berani keluar dari lingkaran setan tersebut dan memutuskan hubungan “ketergantungan” pada kekerasan.
Ini pekerjaan rumah tiap-tiap kita sebagai warga negara—warga bangsa Indonesia, datang dari nurani yang merindukan kebenaran, bahwa jalan nirkekerasan masih jauh api dari panggang. Kita semua merindukan dunia yang tanpa kekerasan, namun kita sendiri mungkin tak berdaya di hadapan rentetan kekerasan demi kekerasan yang tak henti terjadi, baik itu yang terjadi di keluarga, lembaga pendidikan, di masyarakat hingga ruang-ruang keagamaan.
Di hadapan banalitas kekerasan, seolah kita tak punya daya untuk menolak kekerasan. Hari ini maupun besok, taka da yang dapat menjamin kekerasan tak ada lagi. Namun, kita masih memiliki nurani, keberanian dan juga keyakinan bahwa perubahan harus dimulai dari paradigma nirkekerasan di kepala tiap-tiap kita serta mengubah keyakinan dan tentu menanggung sekelumit resiko untuk meretas jalan baru, memutus ketergantungan terhadap kekerasan, yakni menempuh upaya aktif nirkekerasan.
Kami sungguh sudah lelah dengan kekerasan.