Menelisik Gerakan Wahabi: Agama, Kuasa, dan Berbagai Kontroversinya

Menelisik Gerakan Wahabi: Agama, Kuasa, dan Berbagai Kontroversinya

Satu hal yang cukup menarik dalam penelusuran sejarah gerakan Wahabi adalah terungkapnya pemalsuan silsilah yang ternyata berakar pada keturunan Yahudi.

Menelisik Gerakan Wahabi: Agama, Kuasa, dan Berbagai Kontroversinya

Mudahya tuduhan kafir bertebaran, banyaknya cap bid’ah ditempelkan kepada sesama Muslim, serta berbagai tuduhan intimidatif lainnya adalah sekian dari wujud ekspresi keagamaan yang sangat mengkhawatirkan di tengah masyarakat Muslim Indonesia saat ini. Tenun persaudaraan yang selalu direkatkan, bisa dengan mudah terkoyak dengan hal semacam itu. Menjawab kegelisahan tentang fenomena tersebut, buku berjudul Sejarah Lengkap Wahhabi: Perjalanan Panjang Sejarah, Doktrin, Amaliyah, dan Pergulatannya karya Nur Khalik Ridwan ini terbit di waktu yang tepat.

Pembahasan mengenai gerakan Wahabi ini menjadi penting karena ajarannya memiliki pengaruh terhadap maraknya wajah Islam garis keras. Khaled Abou El Fadl (2005) bahkan menyebut bahwa kelompok teror seperti Al Qaeda dan Taliban memiliki muasal ajaran kekerasan yang terhubung pada warisan pemikiran Wahabi.

Dalam konteks Indonesia, pengaruh doktrin tersebut dapat dilihat dari kemunculan Laskar Jihad yang tidak bisa dilepaskan dari adanya pengaruh proyek Wahabisasi yang pernah digiatkan oleh Saudi (Hasan, 2005). Pada dekade 1980an, dakwah puritan yang digaungkan oleh negara petrodollar tersebut menjadi yang paling berpengaruh di sebagian besar negara Muslim di dunia (El Fadl, 2005).

Dalam periode yang sama, tidak sedikit warga Indonesia yang pergi ke universitas-universitas Saudi untuk melanjutkan studi dan membawa pulang doktrin yang mereka pelajari ke tanah air. Para alumni tersebut kemudian mendirikan banyak pesantren dengan dukungan lulusan Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Bahasa Arab (LIPIA). Dua di antara kitab yang jamak dipelajari di pesantren semacam itu adalah Kitab al Tauhid dan Al Ushul al Tsalatsa karya Muhammad bin Abdul Wahab (Wahid, 2014).

Tentang banyaknya pelajar Indonesia yang melanjutkan studi ke Saudi, Nur Khalik menjelaskan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh persepsi Muslim di Nusantara yang pada umumnya mendambakan untuk belajar ke Arab Saudi. Keinginan tersebut tak lain muncul dari imajinasi bahwa kelak mereka akan menjadi alim seperti Syekh Nawawi al Bantani, Syekh Kholil Bangkalan, atau Syekh Hasyim Asy’ari. Namun, sayangnya bayangan tersebut terputus dari konteks perkembangan politik yang tengah terjadi di Hijaz. Pada masa tersebut, terjadi perubahan kekuasaan yang menempatkan otoritas birokrasi Wahabi sebagai penguasa Arab Saudi (h. 244-247)

Penyebaran paham Wahabi ini, selain berasal dari pusat ajaran tersebut yang berkembang di Saudi atau negara lain di Timur Tengah, juga turut ditopang oleh buku-buku yang ditulis oleh para sarjana Barat yang menyampaikan dukungannya terhadap gerakan Wahabi. Pendapat ini disampaikan oleh Ahmad Baso (2016) yang melihat bahwa salah satu jalur masuk yang melangengkan tibanya pemikiran Wahabi adalah melalui buah karya yang ditulis oleh para orientalis dan dibaca oleh banyak kalangan di Indonesia.

Salah satu nama yang disebut oleh Baso adalah Fazlur Rahman, yang menurutnya menjadikan Wahabisme sebagai basis intelektual yang kemudian memunculkan gagasan tentang Neo-Modernisme Islam. Dalam bukunya yang berjudul “Islam”, Rahman (2017) terlihat menunjukan argumentasi yang simpatik pada Kaum Wahhabi. Menurutnya, ajaran-ajaran mereka telah membuka pintu ijtihad dengan tidak menautkan diri lagi pada ulama terdahulu atau bertaklid.

Dalam perkara argumentasi serupa Rahman di atas, Nur Khalik memberikan penjelasan bahwa sebenarnya terdapat kekeliruan dalam alur berpikir doktrin gerakan Wahabi. Ia menjelaskan bahwa memang terdapat larangan dalam ajaran mereka untuk berhujjah dengan menggunakan pendapat para mutaqaddimin atau orang-orang terdahulu. Hal itu dapat ditemukan dalam kitab Al Masail al Jahiliyah yang ditulis Muhammad bin Abdul Wahhab. Namun, ternyata pada saat bersamaan mereka justru mengutip Ibnu Taimiyah dan Ibnu al Qayyim. Parahnya, pendapat-pendapat yang berasal dari tokoh-tokoh lain hanya dikutip dalam hal yang sesuai dan mendukung logika berpikir mereka (h. 79).

Tiga Kontribusi

Sebelum terbitnya Sejarah Lengkap Wahhabi edisi baru ini, terdapat beberapa penulis yang juga menulis karya yang berkaitan tema tersebut. Salah satu di antaranya adalah Syaikh Idahram (2011) yang menulis beberapa buku bertema Wahhabi. Penulis lain yang juga menyinggung tema Wahhabisme dalam karyanya adalah Solahudin (2011) yang membahas tentang Wahabisme dan kaitannya dengan gerakan jihadisme di Indonesia. Selain itu, terdapat pula Jaringan Ulama karya Azyumardi Azra (2013) dan Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci yang ditulis Badri Yatim (1999). Buku pertama lebih berfokus pada hubungan antara ulama Timur Tengah dan ulama Nusantara, dan hanya beberapa kali saja menyinggung tentang Wahabi. Kemudian, buku kedua memiliki fokus aspek kesejarahan Hijaz baik dari segi politik maupun latar sosialnya ketimbang secara khusus membahas gerakan Wahabisme.

Berbeda dengan contoh beberapa karya yang disebutkan di atas, apa yang dituliskan oleh Nur Khalik memiliki kelebihan dalam hal kedalaman pembahasannya juga keluasan cakupan yang diliputi dalam pembahasannya mengenai tema Wahabi. Dengan demikian, buku ini bisa memberi kontribusi pengembangan wacana dalam tiga lapangan ilmu berbeda yang memiliki hubungan dengan Wahhabisme atau Kerajaan Saudi, yakni wacana agama, sejarah, dan politik.

Dalam wacana agama, bahasan dalam buku ini kiranya mampu menjadi penerang di ruang diskusi antara Wahabi dan kelompok lain di luarnya. Sebelumnya, mungkin publik yang berada di luar lingkaran komunitas Wahhabi hanya bisa meraba-raba saja apa yang sebenarnya menjadi ajaran pokok dari pemahaman yang digagas oleh Muhammad bin Abdul Wahab ini. Hal ini disebabkan oleh eksklusivisme dari mereka yang hanya mengkaji kitab-kitab rujukan di dalam forum yang terbatas.

Dengan adanya penjelasan dari buku ini, dari mulai biografi pendirinya, guru-guru yang mengilhami, kitab-kitab yang ditulis langsung oleh sang pendiri, dan logika-logika hujjah yang kerap digunakan, dapat membuat masyarakat luas mengetahui bagaimana seluk-beluk ajaran tersebut. Pada sisi lain, buku ini juga sebenarnya diperlukan untuk dibaca oleh pegiat gerakan  Wahabi itu sendiri karena memuat argumentasi dari ulama-ulama di luar kelompok mereka. Beberapa komentar turut ditambahkan yang membuat kritikan yang ditujukan kepada pemahaman Wahhabi lebih mudah dipahami.

Kemudian dalam aspek sejarah, buku ini turut menyumbang penjelasan tentang keterhubungan sejarah global dengan sejarah lokal yang ada di Indonesia. Salah satu contohnya adalah tentang sejarah Komite Hijaz dan konteks politik di negeri-negeri muslim yang turut memengaruhinya (h. 442-448). Penjelasan mengenai topik ini bahkan lebih menarik ketimbang Bruinessen (2009) atau Feillard (2017).

Nur Khalik juga memberi tambahan penjelasan tentang hubungan keilmuan antara Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Syekh Muhammad Hayat yang sebelumnya dibahas oleh Azra dalam buku Jaringan Ulama. Menurutnya, hubungan antara keduanya tidaklah terlalu dekat dan Syekh Hayyat tidak begitu berpengaruh pada Ibnu Wahhab. Argumen tersebut itu didasari atas kitab karya Syekh Ahmad Zaini Dahlan dan kenyataan bahwa karya yang dikutip dalam kitab-kitab rujukan Wahabi justru berasal dari Ibnu Taimiyah dan Ibnu al Qoyyim (h. 267)

Selain dua aspek di atas, wacana sejarah penting yang turut dimuat dalam buku ini adalah sejarah tentang genosida pada manusia (h. 115-116 dan 437) dan genosida warisan budaya (h. 115 dan 438). Untuk masalah genosida budaya ini, Ziauddin Sardar dalam Mecca: The Sacred City (2014) menyebut bahwa banyak tempat-tempat bersejarah di Saudi yang kini telah lenyap. Penghancuran semacam itu terjadi karena otoritas kekuasaan yang memiliki doktrin agama tanpa kesadaran terhadap nilai tinggi sejarah. Mirisnya, kini situs-situs tersebut kini digantikan oleh bangunan mewah nan gemerlap sebagai lambang konsumerisme. Sardar dengan getir menyebutnya sebagai perpaduan antara Las Vegas dengan Disneyland, dan menganggap spiritualitas kota suci di Saudi telah memudar.

Terakhir, dalam kontribusinya bagi kajian politik, buku Sejarah Lengkap Wahhabi menghadirkan penjelasan bahwa pada hakikatnya gerakan Wahhabisme selalu menjadi penumpang dan tidak memiliki sikap yang baku. Mereka hanya melayani kekuasaan yang bisa mengakomodasi praktik keagamaan mereka. Adapun jika ada bagian dari anggota mereka yang memiliki orientasi politik, akan langsung dianggap sebagai sempalan.

Satu hal yang cukup menarik dalam penjelasan gerakan Wahabi dan kaitannya dengan Kerajaan Saudi adalah pengungkapan tentang pemalsuan silsilah yang ternyata berakar pada keturunan Yahudi (h. 50-52). Hal ini mungkin bisa turut membantu menjelaskan bagaimana sikap lunak Saudi kepada Israel yang sering terjadi di politik internasional.