Ironi Umat Islam dalam Kasus Persekusi Banser Eko

Ironi Umat Islam dalam Kasus Persekusi Banser Eko

Kita layak bertanya soal persekusi yang dialami Banser Eko

Ironi Umat Islam dalam Kasus Persekusi Banser Eko
Eko Banser ketika dipersekusi oleh oknum yang mengaku Jawara

Lo takbir dulu ama Gue. Yak bareng, yak. Takbir!!!

Pertama-tama, mari angkat topi buat kader Banser bernama Eko yang memilih tidak membeo ajakan bertakbir itu.

Ya, telah terjadi persekusi terhadap dua anggota Banser pada Selasa (10/12/2019) sekiranya pukul 15.00 WIB. Kejadian itu, sebagaimana telah dikonfirmasi Kapoles Jaksel Bastoni Purnama, berlokasi di Jalan Ciputat Raya I Nomor 61, Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan (detikcom, 11/12).

Dan, kutipan di awal tulisan ini adalah salah satu penggalan yang didesakkan oleh si oknum—yang diduga berinisial H—kepada dua anggota Banser.

Dalam sebuah video kurang dari dua menit yang viral dan beredar di media sosial itu, kita disuguhkan sebuah lanskap menggelikan sekaligus menyedihkan: geli karena ada orang yang sebegitu teganya memperlihatkan kekonyolan diri sendiri; sedih karena takbir diobral sebegitu recehnya.

Takbir atau Allahu Akbar mestinya bersemayam dalam kesadaran diri setiap Muslim dan jauh dari kesombongan. Ia merupakan penanda bahwa manusia itu rendah sekali.

Baca juga: Lo Islam Bukan? Yaudah takbir,  Kafir Lo

Karenanya, setiap melakukan sembahyang Salat, umat Islam diminta agar merapal takbir yang, kalau kata Gus Nadirsyah Hosen (2017), itulah garis pemutus antara kita dan kefanaan dunia. Kita “mi’raj” ke hadapan Allah lewat takbir.

Takbir, dengan demikian, adalah ekspresi kerendahan. Namun, tidak semestinya juga ia digunakan untuk merendahkan pihak yang berbeda. Sebab, kerendahan yang dimaksud, sejatinya adalah rendah di hadapan Tuhan yang Maha Akbar.

Sialnya, kalimat takbir itu kini telah mengalami pergeseran fungsional. Alih-alih untuk mengagungkan Tuhan, takbir justru kerap digunakan untuk membesarkan diri sendiri, kelompok, dan memacu adrenalin umat untuk membenci serta memusuhi mereka yang berbeda.

Akibatnya, takbir lalu menjadi momok yang menyeramkan. Dengan takbir, sekelompok orang menutup paksa warung yang buka di siang hari bulan Ramadhan. Dengan takbir, sekelompok orang menghajar minoritas. Dan dengan takbir pula, “tujuh juta umat” memenjarakan lawan politiknya.

Di tengah kepongahan dan kekalutan inilah saya kira, penolakan seorang anggota Banser atas paksaan bertakbir itu sudah benar adanya. Al-Qur’an saja tegas menyatakan “tidak ada paksaan dalam agama” kok, lalu apa hak Anda untuk memaksa orang bertakbir?

Lagi pula, mana ada takbir atau tidak takbir itu merupakan alasan bagi kafirnya seseorang? Apalagi kalau dalam konteks ini, takbir yang telah dipolitisasi.

Ah, saya jadi teringat sama sebuah sekte fatalistik dalam Islam bernama khawarij. Bagi khawarij, sesiapa saja yang tidak memtuskan suatu perkara berdasarkan hukum Allah, maka kafirlah dia.

Memang, diktum itu ada ayatnya. Namun memahami ayat pun ada etikanya, ada perangkatnya, dan ada mekanismenya yang tidak sederhana. Tidak boleh kita menafsir asal-asalan.

Baca juga: Tuntutan Pembubaran Banser, Siasat Jalanan Orde Baru

Celakanya, yang demikian itu diabaikan begitu saja oleh kelompok khawarij. Telak, hukum Allah pun dipahami sangat sempit. Mereka bahkan merasa lebih paham dan lebih tahu tentang hukum Allah dari pada hukum Allah itu sendiri.

Alhasil, karena telah tertutupi kabut menang-menangan dan sok benar sendiri itu, mereka tak segan menghukumi kafir para sahabat Nabi yang jelas-jelas lebih senior dan otoritatif dalam menjelaskan al-Qur’an. Darah Sayyidina Ali bin Abi Thalib—seorang yang disebut Nabi Muhammad sebagai pintunya samudera ilmu—, pun tumpah di tangan khawarij. Ironi sekali.

Namun, di titik inilah saya sekaligus tersadar bahwa di era ketika gempita pilihan presiden laksana perang Badar, ternyata ada yang lebih ironi di atas ironi.

Ya, jika kaum khawarij, betapapun bedebahnya mereka, menghukumi kafir/tidaknya seseorang “berdasarkan” teks, belakangan ada seorang pria yang tanpa beban mengkafirkan sesama Muslim hanya karena tidak mau memekik “takbir”.

Padahal, Nabi Muhammad sendiri jauh-jauh hari telah berpayah-payah mengajak orang agar memeluk Islam. Bahkan, tidak sedikit riwayat yang mencatat upaya sang Nabi menolak tawaran Jibril untuk menghancurkan suatu klan, hanya untuk membangun sebuah optisme barangkali jika saat ini mereka menolak Islam, semoga tidak demikian dengan anak-turunnya.

Kiwari, ketika populasi umat Islam terlampau meriah hingga tingkat yang tidak terbayangkan sebelumnya, sebegitu mudahnya-kah kita mengkafirkan sesama Muslim? Afwan, Anda sehat?