Kami berbelanja di pusat perbelanjaan Kalibata City dan menganggapnya tempat terbaik untuk berbelanja; tempat yang luas, buah dan sayur yang segar dan aneka kebutuhan harian yang tinggal comot belaka. Tapi hari itu, enam jam usai Presiden Jokowi mengumumkan Virus Corona resmi ‘menyerang’ Indonesia dan ada dua korban yang terjangkiti, perlahan suasana mall mulai padat laiknya pasar malam dan kami seperti anak kecil yang melihatnya dengan penuh tanya, ada apa?
“Sanitizer pada habis nih, Mbak,” keluh Olas, sahabat istri yang kebetulan berjumpa dengan kami di pintu masuk Farmers Market.
Ia pun menunjuk toko obat yang berada di sampingnya dan bercerita begitu susahnya mendapatkan peralatan bebersih tangan itu dan masker yang jika kita runut informasinya, memang sudah langka dalam beberapa bulan terakhir ini. Kalau pun toh ada, harga di pasaran pun sudah gila-gilaan dan bisa jadi akan membuat perutmu mulas.
Bayangkan saja, masker yang harga normalnya hanya 30-40 ribu dan berisisikan 50 pcs itu, kini oleh banyak spekulan dihargai ratusan ribu. Itu hanya satu contoh saja.
Jika situ punya waktu, boleh kiranya menjetikkan jari ke tuts marketplace dan mengetikkan kata kunci masker dan sepersekian detik setelahnya akan muncul pelbagai macam jenis masker dengan harga yang ugal-ugalan nyaris seperti banteng yang dilepaskan di area trofeo di Catalunya.
Olas tentu saja hanya satu dan ia seperti halnya 10.256 orang lainnya yang mungkin berbelanja hari itu dan begitu jengkel karena begitu susahnya sanitizer dan masker diperoleh. Meskipun, ada yang lebih menjengkelkan lagi dari itu, yakni disinformasi di media sosial dan begitu lambannya pemerintah terkait Covid-19 ini. Tidak percaya? Coba aja lihat komentar-komentar di media soal tentang betapa simpang siurnya informasi Corona.
Disinformasi ini, anda tahu, akan selalu bergandengan dengan hoaks dan keduanya seolah berkarib untuk menjejalkan informasi bagi kita. Misalnya, beberapa jam usai pengumuman Jokowi terkait Covid-19, di grup wasap mulai berjejalan informasi atas nama #copas #sekadarshare dan lain-lain yang belum jelas juntrungannya. Mulai dari soal penyebaran Corona via udara hingga soal jamu yang sanggup menyembuh Corona. Berdasarkan data Kominfo, per hari ini ada 142 kasus hoaks tentang Corona dan itu masih potensial untuk terus bertambah tiap detik.
Hoaks yang terus menerus diproduksi—entah oleh siapa ini, tentu saja mengakibatkan kepanikan di antara masyarakat kita. Bisa jadi, kelangkaan soal masker dan semacamnya adalah bukti kita memang masih gampang diombang-ambingkan disinformasi. Hoaks adalah cara paling efektif untuk mengacaukan sebuah masyarakat. Di titik tertentu, hoaks ini akan menimbulkan kepanikan di masyarakat kita.
“Jika terjadi pelanggaran ketentuan UU ITE, penyebar berita hoaks dapat dikenakan sanksi,” tutur Menkominfo, Johny G. Plate, terkait maraknya hoaks terkati Corona ini.
Meskipun, sekali lagi, kita layak untuk mengkritisi pemerintah karena informasi yang disebar terkait Corona kerapkali simpang siur. Efeknya, kurang dari 24 jam usai pengumuman Corona dari Jokowi, terjadi ‘pemborongan’ sembako dan itu terlihat di beberapa mall dan pusat pembelanjaan di jakarta. Menurut Peneliti Indef, Enny Sri Hartaty, masyarakat kita mengalami ‘panic buying’ apalagi pemerintah dianggap simpang siur.
Dulu, katanya zero corona karena faktor iklim atau apalah apa itu namanya, tapi faktanya nihil. Kita kena-kena juga, Indonesia bobol juga. Dan, tampaknya, pemerintah kita tenang-tenang saja. Masyarakat justru yang dibuat panik dengan pelbagai informasi yang berjejalan bak air bah.
Tapi hari ini kami tidak panik. Kami berjalan-jalan di antara orang-orang yang memakai troli belanja dan melihat banyak orang berbelanja bahan makanan. Kami mencari indomie goreng favorit kami dan kehabisan, tinggal yang double belaka dan tentu saja kami kurang tertarik. Pandangan kami arahkan ke telur yang tinggal beberapa rak belaka. Biasanya, di tempat yang sama, kami akan dengan leluasa memilah jenis telur apa saja yang menurut kami terbaik, tapi khusus di hari itu, pilihan bisa dihitung tak lebih dari jumlah jari 5 orang manusia.
Kami pun bergerak ke kasir dan harus rela mengantri selama 1350 detik lamanya. Itu waktu yang cukup untuk melakukan beberapa hal sekaligus, seperti mencuci dan setelahnya membuat kopi hangat atau bertanya kabar via telpon dengan sanak keluarga sambil melihat info gosip di televisi, dan semacanya, dan semacamnya.
Jadi, perlu tidak kita panik? Waspada itu penting. Saya terpantik catatan rasional dari Dokter Lelitasari Danukusumo tentang Covid-19 di laman facebook dan dishare oleh banyak orang. Menurut dia, kalau kita berusia dibawah 60 tahun, tidak punya penyakit kronis seperti hipertensi atau diabetes dan tidak ada riwayat bepergian atau kontak dengan orang yang bepergian ke negara yang wabah COVID-19. Risiko sangat kecil untuk tertular dan mengalami fatality.
“Sekarang yang penting jaga kebersihan, cuci tangan dengan benar setiap kali habis memegang sesuatu, tutup hidung dan mulut jika batuk atau bersin, tidur cukup, makan cukup sayur buah, olah raga, hindari bepergian ke negara yamg sedang wabah dan jangan lupa berdoa,” tambahnya.
Dan, tampaknya kami memercayai itu.