Hidup di negara multi agama seperti Indonesia memang mensyaratkan praktik toleransi agama di tingkat yang paling kecil, seperti bertetangga. Beberapa kali saya pernah berkumpul dan menjalin silaturahmi dengan seseorang yang berlainan agama. Mulai dari memiliki tetangga sekomplek perumahan dengan umat kristiani, berteman dengan calon pendeta, bahkan punya beberapa anak asuh yang beragama Budha.
Pengalaman pertama toleransi agama ini yakni pengalaman menjalankan ibadah puasa Ramadhan bersama dengan tetangga yang beragama Kristen. Kala itu, sebelum saya menempuh pendidikan di Institut Agama Islam Negeri Salatiga dan masih duduk di bangku aliyah, saya masih berdomisili di Kota Semarang. Saya tinggal di suatu perumahan yang penduduknya 70% muslim dan 30% beragama Kristen. Kebetulan rumah yang saya tinggali bersebelahan dengan rumah seorang warga Kristen. Saat bulan puasa tiba, tak banyak aktivitas yang dilakukan warga non-Muslim di luar rumah, selain aktivitas sehari-hari dan ibadah minggu di gereja.
Sebagaimana adab bertetangga, seringkali mereka membagikan makanan bahkan takjil dan makanan berat untuk berbuka puasa masyarakat muslim yang lain. Begitupun sebaliknya. Ketika Riyaya atau hari raya Idul Fitri tiba, tak lupa saya dan keluarga mengundang beliau-beliau untuk bertamu di rumah. Hal sama pun dilakukannya saat hari raya Natal tiba. Setelah beribadah di gereja tak lupa mereka mengundang kami untuk bersantap hidangan lezat yang telah disediakan di rumah mereka. Mereka paham bahwa kami umat muslim punya larangan makan daging hewan tertentu, oleh karenanya mereka pun menyiapkan olahan daging lainnya seperti daging ayam dan daging sapi demi menjaga kehalalan bagi kami. Kami saling berkunjung, dan bertetangga dengan baik seperti seharusnya.
Pengalaman kedua ialah pengalaman saat pertama kali berkawan dengan beberapa mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Pertemanan ini terjadi saat kami tengah sama-sama melaksanakan program praktik mengajar yang diadakan oleh masing-masing kampus sebagai syarat ketuntasan satuan kredit semester (SKS).
Kala itu kami tengah menempuh semester tujuh. Saya tak menyangka sebelumnya jika sekelompok mahasiswa kampus tetangga akan mengambil lokasi praktik yang sama dengan kelompok saya. Setelah saling berkenalan, diketahui lah bahwa kawan-kawan dari UKSW ini beragama Kristen. Kebersamaan ini berlangsung kurang lebih selama satu bulan, sehingga kawan-kawan non-Muslim ini beberapa kali menjumpai saya dan beberapa teman-teman mahasiswa IAIN menjalankan puasa sunnah senin-kamis. Karena mereka belajar Ilmu Teologi, tentu saja mereka tidak mempertanyakan lagi bagaimana kami beribadah, termasuk ketika kami berpuasa. Bahkan mereka justru bersikap toleran terhadap kami dengan tidak makan dan minum satu ruangan dengan kami ketika kami melaksanakan puasa sunnah.
Lambat laun saya berkomunikasi baik dan cukup akrab dengan salah satu diantara mereka. Sebut saja namanya Djami. Ia berasal dari salah satu pulau cantik di Indonesia bagian Timur. Suatu ketia ia bertanya ramah kepada saya mengenai kitab Al-Qur’an. Nampak ia terpukau dengan kemahiran umat muslim dalam membaca Al-Qur’an yang ditulis dengan aksara Arab. Dia pun memaparkan alasannya bahwa dalam agama yang mereka anut, juga sama-sama memiliki sebuah kitab suci, akan tetapi kitab yang diajarkan kepada mereka hingga kemudian mereka membaca dan mempelajarinya sampai saat ini ialah kitab yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sulit, begitu ungkapnya saat belajar bahasa asli kitab mereka, yakni bahasa Ibrani. Tak hanya itu, dia juga mencoba melafalkan huruf-huruf hijaiyah dengan cukup kesulitan karena memang tidak terbiasa.
Saya pun tak kalah diam, bergantian saya menanyakan pendapatnya mengenai agama Islam yang dipandang sebagai agama yang kaku dan keras di luar sana. Dia pun menjawab dengan lugas bahwa ia sama sekali tidak sependapat dengan anggapan itu. Dia menjelaskan bahwa ia seringkali berjumpa dengan masyarakat muslim di Salatiga ataupun di daerahnya. Bahkan dalam satu kelas nya juga terdapat mahasiswa muslim dan mereka pun berhubungan baik. hingga kini, saya dan mereka masih berhubungan dengan baik. Tepat sebelum kami berpisah saat program praktik mengajar telah usai, Djami sempat memberikan sebuah ikat tenun asli daerahnya yang sangat cantik. Kenang-kenangan, begitu ujarnya. Kini, beberapa diantara mereka telah kembali ke daerah asal mereka dan rutin mengisi kutbah pada saat ibadah di gereja sebagai pemuka agama.
Pengalaman terakhir toleransi agama yakni saat saya tengah melaksanakan suatu pengabdian di salah satu dusun di kecamatan Getasan, kabupaten Semarang. Penduduk dusun tersebut mayoritas beragama Islam dan Budha, dengan persentase sebesar 50% muslim dan 50% Budhis. Dengan persentase perbedaan agama yang berimbang tersebut membuat saya mau tidak mau juga bersosialisasi dengan baik kepada masyarakat non-muslim tersebut. Interaksi saya cenderung lebih sering dengan anak-anak setempat baik yang beragama Islam maupun Budha. Setelah satu minggu berlalu, beberapa anak-anak dusun mulai akrab dengan saya. Membantu mereka belajar hingga menemani mereka bermain sudah menjadi rutinitas sehari-hari di sana. Hingga lambat laun saya pun mengetahui bahwa beberapa anak yang dekat dengan saya merupakan seorang penganut Budha. Terhitung waktu itu mereka masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar.
Suatu hari saat saya tengah berpuasa senin-kamis, dengan rasa keingintahuan yang cukup tinggi layaknya anak-anak, mereka beberapa kali menanyakan hal-hal sederhana tetapi perlu kehati-hatian agar dapat memahamkan mereka untuk menjawabnya. Seperti halnya mengapa umat muslim dalam satu hari harus shalat lima waktu? Mengapa setiap setelah wudhu tidak boleh bersentuhan kulit dengan lawan jenisnya? Puasa itu tidak boleh makan dan minum ya, Mih? (Mami, begitu sapaan akrab saya oleh anak-anak dusun), dan banyak pertanyaan-pertanyaan sederhana lainnya.
Pelan-pelan saya coba menjelaskan kepada mereka bahwa sama halnya dengan agama-agama yang lain, dalam Islam juga diwajibkan untuk beribadah, hanya saja waktunya yang berbeda-beda. Pun dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya, juga dijelaskan dengan sangat hati-hati agar tidak menyinggung pihak manapun.
Meskipun mereka berbeda keyakinan, tetapi mereka menunjukkan sikap toleran yang sangat baik. Tidak makan dan minum di hadapan orang muslim yang tengah berpuasa, mengingatkan temannya yang beragama muslim untuk melaksanakan Ibadah sholat ketika sudah masuk waktunya, dan lain sebagainya. Banyak sekali sikap toleran dan sopan santun yang mereka tunjukkan kepada saya dan juga masyarakat muslim lainnya.
Dalam suatu momen saya dan kelompok pengabdian melaksanakan program bersih tempat ibadah, dan saat itu kami membersihkan vihara. Usai bersih-bersih, pemuka agama Budha mengumpulkan kami untuk jamuan makan sebagai ucapan terima kasih. Tak lupa pemuka agama Budha tersebut memberikan sedikit sambutan sebelum dipersilahkan untuk menyantap hidangan yang tersedia. Satu kalimat dalam sambutan beliau yang masih teringat hingga kini, beliau menyatakan bahwa, “kalian umat Islam memiliki karma baik yang lebih banyak daripada kami umat Budha.”
Beliau sangat menghormati umat Islam karena hal itu. Apapun makna di balik kalimat itu, setidaknya ada hal-hal yang dapat diyakini oleh umat Islam itu sendiri. Bahwa Islam merupakan agama yang mengajarkan kebaikan. Bahwa Islam merupakan agama yang lembut, yang mengajarkan kedamaian. Dari tiga pengalaman tersebut, mengajarkan kita untuk lebih dapat menjaga keutuhan dan keharmonisan sesama umat Islam, baik satu golongan maupun antar golongan. Tidak seharusnya hal-hal sederhana dapat memecah persatuan umat dalam satu atau antar agama. Karena mereka di luar sana melihat kita begitu indah dan berlaku indah pula terhadap kita, umat Islam. Dan sudah semestinya hubungan ini terus terjalin. Wallahu a’lam bi Shawab.
*Artikel ini adalah konten hasil kerjasama Islamidotco dengan Sharia International Center IAIN Salatiga