Film Reresik: Anak Muda, Agama dan Wajah Toleransi Kota Solo

Film Reresik: Anak Muda, Agama dan Wajah Toleransi Kota Solo

Anak-anak muda dari UIN Surakarta menggarap film Reresik, menggaungkan kembali potret toleransi beragama di Kota Solo.

Film Reresik: Anak Muda, Agama dan Wajah Toleransi Kota Solo
Suasana launching film Reresik karya islamsantun.org UIN Surakarta

“Anak-anak muda yang menggarap film Reresik sebenarnya ingin menunjukkan kepada orang di luar Solo, bahwa toleransi antar-umat beragama masih ada di sini. Semakin menggembirakan ketika hal ini digaungkan oleh generasi yang masih punya nafas panjang untuk meneruskan narasi toleransi. Sehingga kita bisa cukup optimis bahwa keadaan keberagaman ini akan baik-baik saja untuk anak cucu kita ke depan.”

Pernyataan tersebut disampaikan Syafawi Ahmad Qadzafi, dosen KPI UIN Raden Mas Said Surakarta dalam acara pemuatan dan diskusi film Reresik di aula Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Raden Mas Said Surakarta (18/3/2022).

Film Reresik diproduksi oleh para pegiat islamsantun.org. Bangunan masjid dan gereja yang berdiri berdampingan di Kota Solo menjadi inspirasi lahirnya film tersebut. Kelahiran film Reresik didukung oleh Wahid Foundation, Google Indonesia Europian Union, dan UNDP.

Menurut Syafawi Ahmad Qadzafi film Reresik cukup berhasil menunjukkan kepada penonton bahwa harmoni antar agama di Solo masih terawat dengan baik. Setidaknya itu bisa dilihat dari cerita di film ini lewat persahabatan antara Kevin yang merupakan representasi non-muslim sebagai minoritas dengan Abror sebagai kelompok mayoritas. Abror dan Kevin adalah pengurus masjid dan gereja yang berkawan akrab.

Baca juga: Ramadan di Kota Solo: Toleransi dan Tradisi

Sementara itu, Agus Wedi, mahasiswa IAT UIN Surakarta sekaligus sutradara film Reresik, bercerita mengenai ide awal pembuatan film. Ia mengatakan bahwa Solo kerap diberi label sebagai kota intoleran. Padahal, menurutnya, Solo masih banyak menyimpan nilai-nilai luhur dan semangat persaudaraan yang sangat dijaga penduduknya. Ditanya soal pilihan judul, Agus mengaku Reresik memiliki makna yang luas. Reresik sendiri datang dari bahasa Jawa yang berarti membersihkan atau bebersih. Termasuk juga dalam beragama kita harus membersihkan hati dan pikiran dari segala prasangka dan kedengkian. Bukan sekadar bersih-bersih (reresik) lingkungan.

Film Reresik merupakan ikhtiar untuk meneguhkan moderasi beragama. “Film pendek ini adalah film yang diproduksi oleh anak-anak muda yang bergiat di islamsantun.org, sebuah media di bawah Pusat Pengkajian Masyarakat dan Pendidikan Islam Nusantara. Melalui film ini kami ingin turut serta menguatkan moderasi beragama di Indonesia, sebagaiamana visi lembaga kami,” tutur Nur Rohman, dosen IAT yang juga wakil direktur Pusat Pengkajian Masyarakat dan Pendidikan Islam Nusantara.

Nur Rohman juga berterima kasih kepada sejumlah lembaga yang telah membantu islamsantun.org melahirkan film Reresik. Kolaborasi antar lembaga seperti ini penting untuk mewujudkan Indonesia yang damai dan toleran.

Menariknya, film ini perdana diputar dan didiskusikan di bulan Sya’ban yang dalam tradisi Jawa disebut dengan bulan Ruwah. Di bulan ini, masyarat Jawa melakukan tradisi besik, padusan, dengan tujuan membersihkan diri menyambut bulan Ramadan. Diharapkan, memasuki bulan suci, umat Islam sudah dalam kondisi bersih lahir batin.

Nuansa kearifan lokal memang sengaja ditampilkan film ini, bahkan sejak dari judul. Percakapan yang digunakan pun berbahasa Jawa. Film ini menyasar anak-anak muda, agar mereka punya inspirasi dalam kehidupan beragama. Bahwa memiliki teman berbeda agama bukan hal yang terlarang. Selain juga ingin menunjukkan betapa majemuknya Indonesia. Maka, sudah semestinya kita terus mengupayakan untuk dapat hidup damai dalam keberagaman.