Saya senang sekali bisa menunaikan haji tahun ini pada tanggal 10-23 Juni 2024. Saya tentu saja sangat bersyukur diberi kesempatan untuk berhaji, setelah bertahun-tahun berharap bisa melakukannya.
Di sini saya ingin berbagi beberapa pengalaman dan pengamatan saya.
Haji: Sebuah Perjalanan Pribadi yang Mendalam
Haji bukan sekadar ibadah biasa. Ini adalah sebuah perjalanan pribadi yang penuh dengan kontemplasi, pengabdian, dan transformasi.
Saya harus mengatur semuanya sendiri, mulai dari pendaftaran, pembayaran, sampai persiapan fisik dan mental. Berada di Mekkah selama dua minggu bersama jutaan orang dari seluruh dunia juga merupakan pengalaman yang luar biasa.
Di tengah keramaian dan kesibukan sehari-hari, saya punya banyak waktu untuk merenungkan diri sendiri dan hubungan saya dengan Allah. Saya merasa lebih dekat dengan-Nya dan semakin mantap dalam keimanan yang saya yakini.
Ibadah Haji mengajarkan saya tentang kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetaraan. Di sana, semua orang sama, tidak peduli status sosial, kekayaan, atau ras mereka.
Makna Simbolis di Balik Ritual Haji
Setiap ritual dalam Haji memiliki makna simbolis yang mendalam. Contohnya adalah ihram. Kita harus mengenakan pakaian putih sederhana yang melambangkan kerendahan hati, kemurnian, dan kesetaraan yang dengannya kita menanggalkan kemelekatan kita pada semua properti duniawi. Ritual ini mengingatkan saya pada hari penghakiman, di mana semua manusia akan sama di hadapan Allah.
Momen yang paling berkesan bagi saya selanjutnya adalah saat secara langsung melihat dan menyentuh Ka’bah. Selama puluhan tahun, saya lima kali sehari–dari belahan bumi yang lain–mengarahkan diri ke Ka’bah dalam sembahyang.
Dan, apa yang saya rasakan kemarin ketika berhaji benar-benar menyentuh sanubari, sama persis dengan perasaan sepuluh tahun lalu ketika melakukan umrah. Tenang dan damai.
Selain itu, tinggal selama beberapa waktu di Muzdifah di bawah langit terbuka bersama lebih dari seratus ribu orang kembali mengingatkan saya pada kematian dan kebangkitan. Saya kemudian mencukur rambut sebagai simbolisasi dalam mengimplikasikan pembaharuan dan transformasi spiritual.
Tantangan Fisik dan Mental
Haji bukan perjalanan yang mudah. Saya harus berjalan kaki sejauh 144 kilometer selama dua minggu. Ditambah lagi, tahun ini cuaca di Mekkah sangat panas dan jumlah jamaah mencapai sekitar 2 juta orang.
Tapi, semua rasa lelah dan sakit itu rasanya terbayar lunas dengan pengalaman spiritual yang didapatkan. Di sana, saya melihat banyak orang tua dan orang sakit yang tetap bersemangat menyelesaikan semua ritual.
Orang-orang terlihat menjadi pantang menyerah dalam menghadapi segala rintangan. Misalnya, ritual tinggal di dalam tenda di padang Mina dan berkontemplasi di bawah langit terbuka di Muzdifah mengingatkan saya pada teori kekuatan nomaden akhir abad ke-14 Ibnu Khaldun.
Menurut Ibnu Khaldun, orang nomaden terbiasa dengan kondisi hidup yang sulit, yang membuat mereka menjadi pribadi lebih kuat. Melaksanakan ibadah Haji untuk sementara waktu, yang berarti meninggalkan rutinitas harian, mengubah kita menjadi seorang perantau. Demikian pula, Haji juga mengingatkan saya pada tren kontemporer berkemah dan mendaki.
Menjelajahi Madinah yang Penuh Sejarah
Setelah menyelesaikan ibadah di Mekkah, saya dan rombongan berkesempatan mengunjungi Madinah. Di sana, saya berkesempatan mengunjungi Masjid Nabawi, tempat peristirahatan terakhir Nabi Muhammad SAW.
Madinah adalah lingkungan yang relatif lebih santai bagi seseorang yang telah melewati tugas paling menantang di Mekkah. Juga, Masjid Nabawi memiliki daya spiritual yang unik dengan arsitektur dan ornamen Turki yang indah di bagian Rawda yang sangat bersejarah itu.
Suasana di masjid ini terasa sangat tenang dan damai. Saya juga bisa melihat langsung makam Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Orang-orang tampak bersemangat berziarah di sana, berbagi energi positif satu sama lain .
Keragaman Umat Muslim di Seluruh Dunia
Haji juga membuka mata saya tentang keragaman umat Muslim di seluruh dunia. Saya bertemu dengan banyak orang dari berbagai negara dan budaya. Saya belajar banyak tentang tradisi dan kebiasaan mereka. Dan, saya semakin terkesan dengan kekayaan dan keindahan peradaban Islam.
Saya lalu teringat dengan Malcolm X yang sangat terkenal mengamati keragaman ras orang-orang Muslim dalam ibadah Haji. Sebagai seseorang yang mempelajari dunia Muslim dari berbagai perspektif, Haji memberikan kesempatan penelitian yang berharga bagi saya.
Saya bisa mengamati dan berinteraksi dengan Muslim dari berbagai latar belakang. Sebagai contoh, saya mengamati perubahan yang sedang berlangsung di Arab Saudi, terkait penurunan sikap kelompk Wahabi yang sebelumnya terlihat kaku.
Saat khutbah Jum’at di Masjid Al-Nabawi, misalnya, imam tidak membaca hadis yang biasa dikutip oleh Wahhabi: “Setiap inovasi adalah kesesatan (bid’ah), dan setiap kesesatan tempatnya ada di Neraka.“
Hadis itu, di beberapa negara dengan mayoritas penduduk Muslim, masih menjadi andalan untuk mengomentari fenomena kebudayaan atau tradisi lokal. Tapi di Arab Saudi, di pusatnya kelompok Wahhabi, saya justru tidak menjumpai hadis itu dibacakan oleh imam.
Saya bersyukur sekali atas kesempatan untuk menunaikan ibadah haji ini. Ini adalah pengalaman yang tak terlupakan dan akan selalu saya ingat selama sisa hidup saya.
Saya berterima kasih kepada banyak orang yang membantu saya dalam perjalanan ini, terutama istri saya Zeynep (yang bersama saya selama sebagian besar ritual), almarhum ayah saya Ugur Kuru (yang uangnya mendanai Haji kami), tiga teman sekamar saya yang luar biasa dan tiga teman sekamar istri saya yang sama-sama luar biasa.