Solahudin, seorang peneliti yang fokus pada kajian terorisme mengungkapkan bahwa ada perbedaan antara teroris perempuan zaman now dengan generasi mereka yang sebelumnya. Hal itu ia sampaikan dalam Serial Diskusi Hasil Penelitian yang diselenggarakan oleh Wahid Foundation di Manggarai, Jakarta Selatan pada Rabu (23/11).
“Memang ada perbedaan antara sebelumnya dengan sekarang. Yang sekarang ini cenderung lebih aktif, tapi tidak semua,” ungkapnya.
Solahudin melanjutkan, ada sebagian mereka yang tidak melakukan apapun. Tapi, karena mereka termasuk ke dalam kategorisasi yang terdapat dalam undang-undang terorisme terbaru, mereka akhirnya terkena.
“Walaupun, memang ada yang berperan aktif. Misalnya, Dewi bersama suaminya yang melakukan aksi bom bunuh diri di Makassar, ada juga Zakiyah Aini, mahasiswa Gunadarma yang melakukan teror ke Mabes Polri,” imbuhnya.
Adanya perubahan pada teroris perempuan dari yang sebelumnya tidak terlalu aktif menjadi aktif disebabkan oleh beberapa faktor. Setidaknya ada tiga faktor yang dikemukakan oleh Solahudin.
Pertama, faktor ideologi. Yakni terkait doktrin yang diyakini. Tidak sebatas doktrin agama, melainkan juga doktrin yang ada dalam setiap organisasi teroris yang diikuti. Misalnya, perbedaan teroris perempuan dulu yang tergabung dalam DI dengan teroris perempuan masa kini yang tergabung dalam ISIS.
“Memang di era ISIS inilah perempuan menjadi lebih terlibat,” jelasnya.
Kedua, faktor memprovokasi laki-laki. “Ibaratnya gini, kalau mereka (perempuan) melakukan aksi, mereka akan bilang, ‘Kita aja berani, masa kalian laki-laki nggak berani?'” Solahudin mencontohkan.
Ketiga, faktor yang terkait dengan strategi media. Terorisme yang salah tujuannya adalah menyebarkan ketakutan secara luas tentu membutuhkan media untuk menyebarluaskan ketakutan itu. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah melalui aksi teror yang dilakukan oleh teroris perempuan.
“Laki-laki melakukan aksi bom bunuh diri itu biasa, perempuan melakukan aksi bom bunuh diri itu baru luar biasa. Itu yang bisa menarik perhatian media,” tutur Solahudin.
Selain lebih aktif, menurut Solahudin, teroris perempuan zaman now juga lebih otonom. Dalam arti, mereka tidak lagi tergantung kepada teroris laki-laki untuk merancang dan melakukan aksi.
“Semakin aktifnya perempuan itu seperti ingin mengoreksi stereotype bahwa perempuan dalam terorisme hanya sebagai korban dari radikalisme laki-laki. Termasuk mengoreksi stereotype yang menyatakan bahwa perempuan selalu diposisikan di bawah laki-laki dalam kelompok radikal,” lanjutnya.
Tidak hanya dalam lingkup aksi yang akan dilakukan, otonomi itu juga sampai pada lingkup keluarga. Sebagai contoh, seorang istri yang pro terorisme tidak segan untuk menceraikan suaminya yang kontra terorisme.
Sementara itu, terkait dengan transmisi doktrin atau nilai radikal, Anik Farida, seorang peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan setidaknya ada tiga sumber nilai radikal yang diperoleh perempuan. Di antaranya adalah halaqoh atau pengajian yang berporos pada organisasi radikal, media sosial dan keluarga.
“Cara melalui medsos biasanya dilakukan oleh perempuan buruh migran Indonesia (BMI), dengan negara tujuan Malaysia, Hongkong dan Taiwan,” tutur Anik.
Masih segar dalam ingatan ketika seorang perempuan mencoba menerobos masuk ke halaman Istana Negara di Jakarta Pusat. Tidak hanya itu, perempuan tersebut menodongkan pistol kepada Paspampres yang sedang berjaga di sekitar lokasi.
Adapun Diskusi Hasil Penelitian yang diselenggarakan oleh Wahid Foundation ini bertujuan untuk mengtahui sejauh mana transmisi nilai-nilai radikal pada perempuan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Termasuk mengetahui tren terorisme yang terbaru. [NH]