Cikal Bakal Terorisme dalam Islam Menurut KH. Said Aqil Siradj

Cikal Bakal Terorisme dalam Islam Menurut KH. Said Aqil Siradj

Cikal Bakal Terorisme dalam Islam Menurut KH. Said Aqil Siradj
ilustrasi: KH Said Aqil Siradj saat Sambutan di Acara NU

Terorisme seringkali dikaitkan dengan ajaran agama tertentu. Meski para pemuka agama selalu menegaskan bahwa masing-masing ajaran agama mereka mengajarkan perdamaian dan kasih sayang, cikal bakal terorisme dalam agama itu memang ada. Kita tidak boleh menutup mata bahwa memang ada ajaran agama yang berpotensi disalahpahami sehingga melahirkan terorisme.

Dalam Islam, misalnya, cikal bakal terorisme itu telah muncul sejak masa awal perkembangan Islam itu sendiri. Ketua Umum PBNU periode 2010-2021, KH. Said Aqil Siradj, mengatakan bahwa cikal bakalnya telah ada sejak abad pertama hijriah, tepatnya tahun 40 H. Hal ini beliau sampaikan dalam “Dialog Kebangsaan: Memperkuat Persahabatan untuk Memperkokoh NKRI”. Acara tersebut merupakan rangkaian kegiatan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) pada 15-16 September.

Cikal bakal terorisme yang dimaksud adalah peristiwa pembunuhan Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh Abdurrahman bin Muljam at-Tamimi.

“Kenapa dibunuh? (Menurut Ibn Muljam) Ali kafir. Di mana kafirnya? Karena Ali (menurut golongan sang menyetujui pembunuhannya) ketika memimpin negara tidak menggunakan Al-Qur`an,” Kyai Said menguraikan.

Ayat Al-Qur`an yang dimaksud adalah Q.S Al-Maidah ayat 44 yang artinya, “Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”

“Bagaimana ceritanya kok Ali tidak menjalankan hukum Al-Qur`an? Karena beliau menerima musyawarah antara Muawiyah dan pihaknya,” lanjut Kyai Said.

Karena Sayyidina Ali dianggap mengambil keputusan berdasarkan pendapat manusia, yang mana pendapat tersebut bersumber dari akal, bukan Al-Qur`an, maka dianggap kafir, sehingga dianggap halal untuk dibunuh. Dan itulah yang mendasari tindakan Ibn Muljam. Kelompok yang menganggap bahwa Sayyidina Ali kafir dan halal dibunuh inilah yang dikenal sebagai kelompok Khawarij.

Menurut Kyai Said, hal seperti itu tidak lain disebabkan oleh kesalahan dalam memahami Al-Qur`an, yakni dengan hanya memahami secara literal, tanpa perenungan dan tidak sesuai kaidah maupun metode dalam memahami Al-Qur`an. Padahal, banyak sekali kaidah dan metode yang harus dipelajari, dipahami, dan diaplikasikan oleh seseorang dalam memahami Al-Qur`an. Kyai Said juga menyebutkan beberapa kaidah seperti Muhkam-Mutasyabih, ‘Aam dan Khas, Nasikh dan Mansukh, dan masih banyak lagi.

Dalam peristiwa Tahkim di tengah perang Shiffin antara Sayyidina Ali dengan lawannya, Muawiyah, tentu beliau memiliki pertimbangan berdasarkan kedalaman ilmunya sebelum memutuskan untuk menerima perundingan damai. Jika saat itu beliau memahami perintah untuk memutuskan hukum berdasarkan ketentuan Al-Qur`an secara literal saja, maka bisa jadi korban yang berjatuhan akan lebih besar. Namun, karena mempertimbangkan kemaslahatan umum, beliau akhirnya menerima perundingan damai yang ditawarkan Muawiyah, meski pada akhirnya merugikan kelompoknya.

(AN)

Wallahu A’lam.