Gerakan Pemuda Ansor Gunung Anyar Surabaya membubarkan pengajian Ustadz Syafiq Riza Basalamah di Masjid Assalam Purimas Surabaya beberapa hari lalu. Ini tentu bukan kali pertama pengajian Salafi dibubarkan dan ditolak, sebelumnya sudah ada beberapa kasus. Dalam penelitian yang dilakukan Lakpesdam-Kementerian Agama tahun 2022, Salafi termasuk kelompok yang paling sering mendapatkan penolakan. Temuan ini memperkuat kesimpulan sebelumnya, bahwa umat Islam lebih mudah toleran terhadap pemeluk agama lain, ketimbang menerima ajaran yang berbeda di internal agama sendiri. Karenanya, konflik intra-agama lebih sering terjadi daripada konflik antar-agama.
Keamanan, perizinan, dan ketertiban, alasan klasik yang selalu digunakan untuk “menertibkan” paham yang berbeda dengan mayoritas. Dalam kasus penolakan Ustadz Syafiq, sebagian ceramahnya dianggap provokatif, mengandung ujaran kebencian, dan berpotensi merusak keharmonisan masyarakat setempat.
“Kami secara tegas menolak apapun dan siapapun yang bersifat provokatif, ujaran kebencian, serta merusak kehormanisan wilayah kami. Hanya satu dari kami, lawan,” Kata M. Asyiqun Nahdli, Ketua PAC GP Ansor Gunung Anyar Surabaya.
Sayangnya dalam penjelasan itu tidak terlalu dijelaskan mana pandangan Ustadz Syafiq yang dianggap provokatif, mengandung ucaran kebencian, atau yang merusak keharmonisan. Saya pribadi dalam banyak hal tidak sependapat dengan pendakwah Salafi. Kadang juga jengkel dengan sebagian pendakwah salafi yang tidak mau membuka mata melihat keragaman pendapat ulama, tidak menghargai tradisi yang berlaku di masyarakat, dan malabeli orang yang melakukan amaliah tertentu dengan sebutan sesat, bid’ah, musyrik, dan seterusnya. Seakan-akan yang benar hanya pendapatnya sendiri, yang lain selalu salah.
Kendati tidak setuju dengan pandangan pendakwah Salafi, saya juga keberatan dengan pembubaran pengajian dengan alasan apapun. Dalam negara demokrasi, setiap warga negara mestinya punya hak yang sama menyampaikan gagasan dan pendapat, termasuk yang berkaitan dengan pandangan keagamaan. Idealnya negara menjamin dan memastikan seluruh masyarakat dapat menyampaikan pandangannya tanpa ada rasa khawatir dan takut.
Karena itu, setiap kegiatan keagamaan yang mengundang tokoh tertentu untuk menyampaikan gagasan dan pemahamannya, pemerintah mestinya bertanggung jawab dan turut andil melindungi pengajian tersebut, supaya tidak ada lagi tindakan main hakim sendiri. Gus Dur mengingatkan agar negara jangan takut sama ormas.
Apalagi para pendiri bangsa sudah sepakat bahwa Indonesia bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. Meminjam istilah Gus Dur, Indonesia negara yang bukan bukan. Yang menjadi acuan dalam bernegara adalah kesepakatan bersama, bukan pandangan pribadi atau ideologi agama tertentu. Sehingga, agama, aliran, atau paham agama apa pun posisinya berada di bawah kesepakatan bersama itu.
Inilah yang disebut Jasser Auda sebagai negara madani (daulah al-madaniyyah), aturan bersama disepakati posisinya lebih tinggi dibanding ideologi, keyakinan, atau paham agama tertentu. Aturan bersama itu wajib untuk diikuti dan ditaati, sekalipun tidak merepresentasikan pandangan pribadi, kelompok, ataupun madzhab. Yang penting aturan yang dibuat tidak bertentangan dengan semangat dasar ajaran Islam, atau maqashid al-syariah.
Karenanya, dalam konteks negara seperti Indonesia, peran pemerintah sangatlah penting. Pemerintah tidak boleh berat sebelah, menguatkan pandangan keagamaan tertentu, dan menganulir pandangan lainnya. Pemerintah mesti berusaha untuk selalu di tengah, tidak condong ke kanan ataupun ke kiri. Singkat kata, pemerintah harus menjadi wasit, bukan menjadi pemain.
Peran Penting Kementerian Agama
Sejak tahun 1946, pemerintah membentuk Kementerian Agama, yang salah satu tugasnya ialah menjaga hubungan umat beragama, baik antar ataupun intra agama. Hal ini sebagaimana dinyatakan KH. Wahid Hasyim, “…Kementerian Agama bekerja yang pertama bukanlah untuk menjalankan perintah-perintah agama. Kewajiban ini adalah menjadi beban perhimpunan agama. Kementerian Agama terutama bekerja menyelenggarakan hidup keagamaan masing-masing golongan agama yang berhubungan dengan negara dan antara golongan agama dengan golongan agama lainnya.”
Dalam perkembangannya, Kementerian Agama juga membentuk unit kerja khusus yang berkaitan dengan paham dan konflik keagamaan, yaitu Subdit Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah. Tugas utamanya, membuka ruang dialog, menjaga kerukunan, mewujudkan rekonsiliasi sosial, supaya kedamaian dan kerukunan terwujud.
Merujuk pada riset Lakpesdam-Kementerian Agama, eskalasi konflik keagamaan menurun bila pemerintah aktif menjadi wasit di antara pihak yang bertikai. Sebaliknya, ketegangan akan menjadi semakin tinggi, bila oknum pemerintah berpihak pada salah satu pihak yang sedang bertikai. Keperhikan itu tidak selalu karena alasan ideologis, tapi bisa juga karena takut berlawanan dengan arus mayoritas.
Kementerian Agama, khususnya Subdit Bina Paham, punya peran penting dalam hal ini, bagaimana mengatur dan membuat batasan agar pertikaian agama, seperti pembubaran pengajian di Surabaya tidak terjadi lagi. Kasus seperti ini sangat mungkin akan terulang. Apalagi sudah menjadi rahasia umum, antara Salafi dan kelompok tradisional seperti NU dalam beberapa hal, terutama urusan teologi, sulit dicarikan titik-temunya.
Almarhum KH. Ali Mustafa Yaqub pernah beritikad baik untuk mencari titik temu dua kelompok ini. Beliau menuliskan ini dalam bukunya berjudul Titik Temu Wahabi-NU. Sekalipun tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan wahabi atau salafi, beliau tetap menyayangkan perselisihan dua kelompok ini yang terjadi terus menerus. NU dan Wahabi, menurut KH. Ali Mustafa, adalah keluarga besar dari umat Islam dunia yang harus selalu didukung.
Di antara titik temu antara NU dan Wahabi menurut KH. Ali Mustafa Yaqub, baik Wahabi atau NU, sama-sama mempraktikkan shalat Jum’at dengan dua kali adzan dan shalat tarawih 20 rakaat. “Selama tinggal di Arab Saudi (1976-1985), kami tidak menemukan shalat Jumat di masjid-masjid Saudi kecuali azannya dua kali, dan kami tidak menemukan shalat tarawih di Saudi di luar 20 rakaat,” Kata pendiri pesantren ilmu hadis Darus-Sunnah tersebut.
Ketika buku ini terbit, banyak juga yang tidak setuju. Ada kawan yang bilang, “Lebih banyak titik bedanya, dibanding titik temunya.” Menurut saya, inilah yang perlu dicarikan jalan keluarnya oleh Kementerian Agama, khususnya Subdit Bina Paham. Kalau memang pendekatan teologis sulit dicarikan titik-temunya, mungkin ada pendekatan lain yang bisa digunakan untuk membuat dua keluarga besar ini tetap rukun dalam satu rumah, meskipun pahamnya berbeda.
Apa yang dilakukan kelompok Hijrah, seperti Kajian Musawarah menarik untuk diperhatikan. Pada saat menghadiri kajian ini saya melihat bagaimana orang seperti Ustadz Oemar Mita yang dikenal sebagai pendakwah Salafi mau duduk bareng mendengar kajian Ustadz Abdul Shomad yang pandangan keagamannya lebih dekat dengan NU. Begitu juga orang seperti Teuku Wisnu yang lebih condong pada paham Salafi, tidak keberatan ketika panitia mengundang Ustadz Abdul Shomad dan mau mendengarkan isi kajiannya.
Saya rasa, kajian Musawarah ini satu dari sekian banyak bentuk pertemuan Salafi, NU, dan paham keagaman lainnya yang tidak banyak diungkap ke ruang publik. Yang terus ramai pertikaian dan konfliknya, sementara pertemuan dan persahabatannya jarang disebarluaskan.