Kejadian pelarangan ibadah Natal di Cilebut, Bogor, masih ramai diperbincangkan. Yang terbaru, pihak Polres Bogor mengeluarkan keterangan resmi terkait kejadian tersebut. Namun, keterangan yang dimuat di berbagai laman media itu tetap saja mengundang komentar. Salah satu komentar datang dari Alissa Wahid.
Melalui akun Twitter pribadinya, putri pertama Gus Dur itu memberikan tanggapan atas berita yang memuat keterangan Polres Bogor terkait kejadian pelarangan ibadah Natal.
“Tanggal 17 Desember lalu, di rumah kami di Ciganjur ada #HaulGusDur diikuti ribuan orang,” cuitnya mengawali komentarnya.
Alissa melanjutkan, “Pak Pemdes Cilebut bilang, ‘Orang Kristen ibadahnya di gereja, gak di rumah.’ Kalau pakai logika warga Cilebut, orang Islam (ibadahnya) di masjid.”
“Logika warga Cilebut” yang dimaksud adalah sebuah pernyataan warga yang terekam dalam video pelarangan ibadah Natal yang viral di media sosial.
“Yang namanya umat Nasrani itu kalau ibadah di gereja, bukan di tempat lain,” ucap seorang bapak berpeci hitam yang ada di video.
“Kami juga gak boleh dong beribadah tahlil seperti itu (dilaksanakan di rumah)? Ayo adil,” tulis Alissa memungkasi komentarnya.
Yang ingin disampaikan oleh Alissa adalah, jika ada pemeluk agama tertentu dilarang melaksanakan ibadah di rumahnya, maka seharusnya pemeluk agama lainnya pun juga harus menghindari larangan yang sama. Artinya, jika memang dilarang, maka pelarangan tersebut harus berlaku untuk semua warga negara tanpa membedakan agamanya.
https://twitter.com/AlissaWahid/status/1607603934671286272?s=20&t=ioJUOGMwoS6Bhb3DxPE_rQ
Selain mengomentari berita terkait pelarangan ibadah Natal di Cilebut, Bogor, Alissa juga membeberkan hal-hal yang memengaruhi problem semacam itu. Pertama, adanya pandangan keagamaan yang eksklusif.
“Pandangan keagamaan yang mengeksklusi mereka yang berbeda iman, mengklaim kebenaran sambil menganggap liyan sebagai musuh dan tidak punya hak,” tulisnya.
Kedua, mental set mayoritas-minoritas. Menurut Alissa, mental tersebut membentuk perasaan bahwa mayoritas lebih berhak dan minoritas hanyalah kelompok kelas dua.
“Sudah gitu, masyarakat Indonesia (itu) socio–sentris, suka mengatasnamakan kelompok. Jadi, suka mengklaim-klaim atas nama kelompok,” tambahnya.
Selain dua hal di atas yang lebih merupakan faktor internal dari dalam diri seorang individu, ada juga hal-hal yang berasal dari luar diri (eksternal). Pertama, pemerintah dan aparat penegak hukum yang kurang bisa melindungi hak-hak semua kelompok sebagai warga negara.
“Aparat pemerintahannya pun lebih suka menjaga harmoni sosial daripada melindungi hak setiap warga negara,” terangnya. Padahal, Indonesia adalah negara yang menjamin hak dasar setiap warga negaranya. Termasuk hak menjalankan keyakinan masing-masing.
Tiga hal di atas, jika masih terus-menerus terjadi, maka kejadian seperti pelarangan ibadah Natal dan semacamnya bisa jadi akan terus ada atau bahkan semakin runyam. Kemungkinan terburuk yang bisa terjadi, menurut Alissa, adalah masyarakat Indonesia menjadi orang yang tidak adil, blaming others (menyalahkan yang lain), hingga tidak lagi percaya sistem.
“Gimana cara mengatasinya, ya?” tanyanya mengakhiri rangkaian cuitannya.
Sebagaimana diketahui, pada Senin (26/12) lalu, beredar video sekelompok warga di Cilebut, Bogor, yang menayangkan rekaman seorang ibu yang memprotes sekelompok warga. Hal itu ia lakukan karena dirinya beserta anggota keluarga dilarang untuk melaksanakan ibadah Natal di rumahnya.
Berdasarkan keterangan yang dibeberkan oleh Kapolres Bogor, AKBP Iman Imanuddin, alasan warga melarang ibadah Natal di salah satu rumah warga itu lantaran sang pemilik rumah dianggap melanggar kesepakatan. Menurut warga tersebut, pemilik rumah dan warga telah bersepakat rumah tersebut tidak akan dijadikan gereja. Hanya keluarga rumah yang berjumlah tiga orang yang dipersilahkan beribadah di rumah tersebut.
Namun, pada momen Hari Raya Natal kemarin, pemilik rumah mendatangkan kerabat dari luar Cilebut untuk beribadah bersama di rumahnya. Warga mempermasalahkan hal itu. Mereka menghendaki agar ibadah hanya dilakukan di gereja, bukan di rumah. Padahal, di daerah setempat memang tidak ada gereja.
Dari rekaman video yang beredar, ibu yang merekam kejadian tersebut berkata bahwa pihaknya bersama beberapa umat Kristen yang ada di daerah tersebut sudah mengajukan pembangunan gereja. Namun, karena sulitnya memperoleh izin, akhirnya rumah yang bersangkutan dijadikan tempat ibadah. [NH]