Mungkinkah Umat Islam “Merayakan” Natal?

Mungkinkah Umat Islam “Merayakan” Natal?

Mungkinkah Umat Islam “Merayakan” Natal?

Aku mbelani MUI pokok! (Pokoknya saya membela MUI!)” jawab seorang sahabat saya seorang Kristen di pesan WA, sesaat setelah membalas pesanku.

Potongan percakapan ini muncul dari percakapan singkat kami tentang sebuah peristiwa yang belum lama ini sempat ramai namun tak ramai-ramai amat, sebab mungkin sebagian dari netizen kita sudah hafal atau mungkin bosan dengan pola yang selalu berulang di tiap Desember.

Sebagian besar dari sidang pembaca islami.co mungkin sudah paham juga maksud persoalan apa yang saya maksudkan.

Percakapan ini kebetulan datang dari seorang sahabat yang menaikkan sebuah postingan berbunyi “MUI Minta Polri Awasi Pemaksaan Pakai Atribut Natal”, demikian headline sebuah postingan yang dia repost di story WAnya yang kemudian saya respon. Hal ini menggelitik saya, sebab story ini datang dari seorang pendeta jemaat di Jawa Timur.

Seketika kami terlibat diskusi dan tak tanggung, dia bahkan membuka fatwa MUI No. 56 Tahun 2016 yang menjadi dasar argumen MUI menyuruh polisi untuk turut mengawasi pabrik, hotel, dan pusat perbelanjaan. Di sini terlihat ormas seperti MUI ini bisa menggunakan tangan negara, dalam hal ini adalah tangan Polri untuk mengurus apa yang menjadi persoalan pribadi MUI.

Aku yo emoh dipekso nggawe atribut Natal pas khotbah Natal (saya ya tidak mau dipaksa mengenakan atribut Natal pas khotbah Natal),” demikian ujarnya.

Tapi nek baju sinterklas ki dudu identitas atau ciri khas kekristenan loh. Selain nek tokone mekso karyawan nggawe toga pendeta karo kalungan salib wkwk… (tapi baju sinterklas ini bukan identitas atau ciri khas kekristenan loh. Selain kecuali tokonya memaksa karyawan mengenakan toga pendeta dan kalung salib wkwk),” sambungnya memberi penegasan.

Saya juga ikut tertawa mendengar penjelasan dia tentang sinterklas sembari bergumam dalam hati, “agama sinterklas itu apa ya?”, rasanya saya juga tak mengetahui hal ihwal tersebut.

“Siapa tau sinterklas justru seorang yahudi”, timpanya kemudian.

Saya menyambung tawa setelah membaca balasannya ini.

“Iya juga ya”, ucap saya dalam hati sembari meresapi balasannya.

“Tapi yang namanya memaksa itu ya salah sih. Tidak boleh memaksa-maksa. MUI berarti benar. Saya dukung,” demikian kalimat pamungkasnya.

Membaca kalimat terakhir ini, sahabat saya konsen pada kata “pemaksaan” yang MUI khawatirkan terjadi pada umat Islam yang dipaksa untuk menggunakan atribut Natal yang dalam hal ini dirujuk kepada pakaian khas si tokoh Natal berjanggut putih dengan topi yang biasa dikenakan itu, yakni sinterklas atau santa klaus.

Sahabat saya mendukung agar tak terjadi pemaksaan. Saya turut mendukung pendapatnya dalam hal ini.

“Kita tidak bisa memaksakan penafsiran kita kepada orang lain”, tetiba kalimat Gus Dur mampir ke dalam kesadaran saya. Dalam hal ini, apakah mungkin MUI tak ayal memaksakan kehendaknya kepada Polri dan semua ragam umat Islam yang di dalamnya terdapat banyak perbedaan pendapat—yang tidak dapat disatukan dengan pukulan fatwa HARAM?

***

Kala Desember tiba, grup WA hingga grup-grup di media sosial akan bermunculan kembali narasi-narasi pengharaman tentang semua hal yang berbau Natal, tak ketinggalan dalil-dalil untuk membenarkan versi pendapatnya.

Ketika mengutip dalil, seolah memang itu adalah puncak kebenaran dari pendapatnya, pasti benar, pendapat orang lain yang tidak berlawan pasti otomatis salah, titik. Dalam hal ini, saya juga sedang menyinggung pengalaman pribadi saya. Grup WA keluarga saya juga ramai tentang pengharaman itu, bonus dengan dalil pembenarannya.

Di samping itu, masih dalam suasana Desember, kebiasaan rutin saya dua tahun belakangan ini, ketika mendapat kesempatan kuliah di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta membuat saya begitu bersemangat Ketika Desember tiba, selain libur panjang yang hanya ada ketika berkuliah di kampus Kristen, juga momen menghias pohon natal yang biasa saya kerjakan di tiap tahunnya, menghias pohon natal di ruang pascasarjana tempat saya menimba pengetahuan.

Saya menikmati peran saya sebagai Muslim satu-satunya yang mengambil bidang studi master teologi di kampus ini. Sebab di kampus sebelumnya, yakni UIN Sunan Kalijaga tak ada aktifitas membuat prakarya semacam ini. Selain memang di hidup saya sebelumnya, saya masih hidup dalam dogma yang menyebut semua yang berbau Natal, dari topi sinterklas, pohon natal hingga masuk gereja adalah haram. Titik.

Hingga selang keesokan harinya setelah menghias pohon Natal. Datang sebuah pesan singkat berbunyi “senangku lihat ko mendekorasi pohon Natal”. Pesan ini datang dari seorang guru besar ahli Perjanjian Lama yang saya segani, meski sudah emeritasi alias pensiun dari kampus tapi tetap diminta mengajar dan tetap produktif menulis buku.

“Karena memang dulu haram oleh orang tua saya di Parepare, Prof”. Ini semacam penebusan dosa, hehe”, jawab saya membalas pesannya. Tak lama berselang, saya diajak untuk makan siang di kantin kampus. Ini semacam rezeki anak soleh.

Di obrolan makan siang kami, dari tema klasik tentang Natal yang tak pernah usai hingga bagaimana kami membahas Bugis-Kristen dan berita buku novel terbarunya. Di mana biasanya beliau menulis buku-buku tafsir Perjanjian Lama atau buku akademik non-fiksi lainnya, kini berganti menjadi penulis novel.

Makan siang ini saya maknai bagaimana berkah Natal yang momentum berharganya bisa saya rayakan dalam kebersamaan dan kehangatan yang jauh lebih berharga daripada turut meramaikan hal tidak bermutu tentang halal-haram NATAL, terlebih di media sosial yang perdebatannya jauh dari konstruktif alias tidak bermutu, ditambah ketika saling melempar dalil untuk membenarkan pendapat masing-masing.

Tapi apapun bentuk perayaannya—bagi saya, Natal selalu tetap bisa semarak sebab turut dirayakan dengan berbagai cara, selemah-lemah iman dengan menghadirkan pengharaman-pengharaman khas Natal yang membuat banyak orang bisa ingat lagi. Atau merayakan dengan sukacita, dengan berbagi, atau bahkan yang terakhir, lebih banyak menikmati diskon atau promo Natal dan Tahun Baru yang faktanya memang menggiurkan.

Mau menolak, mengharamkan, atau sekadar ikut menikmati diskon Natal dan Tahun Baru tetap saja membuat akhir tahun makin semarak dari hari biasanya kan? Apapun bentuknya, itu tetap sebuah perayaan dengan cara yang beragam. Begitulah Natal, kadang menjadi sebuah momok, namun lebih sering seperti perasaan benci tapi sayang. Eaaakkk!