JAKARTA–
Kemerdekaan negara Indonesia diperjuangkan dengan darah dan nyawa para pahlawan bangsa. Kaum santri juga turut berjuang, memberikan andil dan sumbangsih besar terhadap pergerakan nasional yang berujung pada kemerdekaan Indonesia. Namun, jejak para kiai pesantren dalam narasi perjuangan bangsa tidak mendapat ruang dalam sejarah resmi di negeri ini. Inilah yang menjadi titik awal Munawir Aziz untuk menulis buku ‘Pahlawan Santri: Tulang Punggung Pergerakan Nasional’ yang dibedah di Perpustakaan DKI Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, pada Sabtu (7/5/2015).
Hadir dalam bedah buku ini, beberapa tokoh dari kalangan kiai, pengurus PBNU dan pengamat sejarah militer Indonesia. Di antaranya, KH. Aizzudin Abdurrahman, H. Robikin Emhas, KH. Salahuddin al-Ayyubi, Dr. Zainul Milal Bizawie (penulis Masterpiece Islam Nusantara), Dr. Mahrus el-Mawa (filolog, dosen IAIN Cirebon), Daniel Zuchron (Bawaslu), Chasan Habibie (Pustekkom Kemdikbud), Iwan Ong Santosa (ahli kajian sinologi dan sejarah militer), serta beberapa aktifis dari beberapa komunitas. Aizzuddin Abdurrahman (Gus Aiz), Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sangat mengapresiasi hadirnya buku ini. Gus Aiz mengungkapakan bahwa pahlawan santri merupakan referensi perjuangan yang harus ditulis ulang pada masa kini, agar generasi santri dan pemuda memahami betapa pentingnya sumbangsih para kiai pesantren ketika masa kemerdekaan.
Rais Syuriah PBNU, KH. Shalahudddin al-Ayyubi, MSi, mengungkapkan bahwa pahlawan santri merupakan teladan bagi warga negeri ini. “Pahlawan Santri merupakan teladan bangsa Indonesia, yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Penulisan buku-buku sejarah perjuangan kiai-santri ini sangat penting untuk memberikan pemahaman yang lebih luas betapa para kiai sejatinya menjadi tulang punggung pergerakan nasional dan kemerdekaan negara,” terang Kiai Shalahuddin.
Penulis buku, Munawir Aziz mengungkapkan bahwa penulisan buku ‘Pahlawan Santri’ merupakan ikhtiar untuk memberikan ruang apresiasi bagi para kiai dan santri pesantren di tengah narasi sejarah bangsa. “Perjuangan para kiai memang diniatkan dengan ikhlas dan mengabdi untuk negeri. Namun, selama ini narasi utama sejarah Indonesia tidak memberikan ruang yang cukup terhadap kontribusi para kiai pada masa perjuangan kemerdekaan. Inilah pentingnya buku, bagaimana gambaran perjuangan, visi, nilai etik para kiai dapat diteladani pada masa kini, yakni berjuang untuk bangsa Indonesia, pada bidang keahlian apapun. Menjaga agar bangsa ini tetap bersatu, tidak terpecah belah,” ungkap Munawir.
Munawir menegaskan bahwa pola politik pecah belah dan adu-domba yang menjadi strategi kolonial masih terjadi hingga kini. “Sejarah mencatat bahwa para santri dan orang-orang Tionghoa bersatu dalam perjuangan melawan penjajah. Hal ini, tampak pada masa Perang Kuning (1740-1743) dan Perang Jawa (1825-30), juga pada masa-masa akhir abad 19. Namun politik Belanda memecah mereka dengan jurang pemisah, baik struktural maupun kultural. Sekarang ini, terlihat bagaimana adu domba juga terjadi di berbagai sektor, misal antar ideologi Islam, hingga kepemimpinan. Kita harus belajar dari sejarah, agar menjadi waspada dan mengerti pola strategi politik. Para kiai dan kaum santri, jelas menjadi benteng penting kokohnya NKRI,” tegas Munawir.
Sementara, Dr. Zainul Milal Bizawie menegaskan bahwa para perjuangan nasional tidak bermula pada tahun 1908, ketika Budi Oetomo berdiri. “Sejatinya, pergerakan nasional tidak hanya dimulai pada 1808. Perjuangan nasional sudah dimulai sejak masa Dipanegara, ketika para kiai menjadi lingkaran penting untuk menggerakkan santri dan warga melawan penjajah. Ketika Perang Jawa berakhir, para kiai kemudian melakukan konsolidasi dengan mendirikan pesantren di berbagai daerah untuk merawat jaringan santri, yang kemudian bergerak pada perjuangan kemerdekaan di penjuru Nusantara,” jelas Zainul Milal.
Buku “Pahlawan Santri” berisi 29 tokoh kiai dari penjuru Nusantara yang ditulis secara biografis dan terjalin dalam perspektif yang senada, yakni perjuangan kebangsaan. Perjuangan para kiai yang ditulis dalam buku ini, menjadi sumbangsih penting yang terlewatkan pada narasi sejarah versi Sejarah Nasional Indonesia (SNI) maupun buku-buku serumpun.[]