
Jam’iyah Ahlit Thariqoh al-Mu’tabarah an-Nahdliyah (Jatman) adalah sebuah badan otonom (Banom) dalam naungan besar organisasi Nahdlatul Ulama. Seperti dilansir NU Online (24/1/2020), pengertian Banom sebagai perangkat yang bertugas menjalankan program NU sesuai dengan basis keanggotaannya. Ketua Umum setiap banom dipilih oleh anggotanya melalui forum kongres. Banom memiliki Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga tersendiri yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama. Kedudukan Jatman ini sama dengan Banom yang lain seperti Muslimat, Fatayat, IPNU, IPPNU, Pagar Nusa, dan lain-lain.
Jatman ini adalah organisasi para ulama tarekat mu’tabarah yang sanad spiritualnya bersambung sampai rasûlullâh. Sebagai organsasi ulama tarekat, Jatman menaungi 45 tarekat mu’tabar. Berbagai tarekat ini, dengan amaliah-amaliah yang berbeda, terorganisir dalam satu naungan Banom serta dalam satu komando PBNU.
Sejarah Jatman: Dari Kiai-kiai NU untuk NU
Zamakhsyari Dhofier dalam disertasinya di Australian National University (A.N.U.) Camberra, 1980, telah menuliskan satu bagian penting dari periode awal sejarah berdirinya Jatman ini. Dalam disertasi yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (2011), Dofier menulis secara khusus terkait “Kyai dan Tarekat” pada Bab V dengan sangat dalam. Tentang Jatman sendiri, Dofier telah menuliskan sejarahnya dengan jelas serta gemblang bahwa organisasi ini berafiliasi dan tidak mungkin dilepaskan dari sejarah Nahdlatul Ulama.
Pada tanggal 10 Oktober 1957, para kiai mendirikan satu badan federasi bernama Pucuk Pimpinan Jam’iyah Ahli Thoriqoh Mu’tabarah, sebagai tindak lanjut dari keputusan Mu’tamar NU tahun 1957 di Magelang. Dalam Mu’tamar NU tahun 1957 di Semarang, nama badan itu diganti Jam’iyyah Thoriqoh Mu’tabarah Nahdliyin. Penambahan kata “Nahdliyyin” ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa badan federasi ini harus tetap berafiliasi kepada NU. Sejak berdirinya, pimpinan federasi badan tertinggi ini adalah para kyai ternama dari pesantren-pesantren besar, antara lain Kyai Baidlawi, Kyai Ma’sum dan Kyai Hafidh (ketiganya Pemimpin Pesantren Lasem Rembang), Kyai Muslih dari Mranggen (Semarang), Kyai Adlan Ali dari Tebu Ireng (Jombang), dan Kyai Arwani dari Kudus. Mereka adalah pemimpin-pemimpin Tarekat Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah di daerahnya masing-masing, juga sebagai pimpinan penting dalam organisasi NU.
Sebagaimana dinyatakan dalam konstitusinya, demikian tulis Dofier, badan federasi ini bertujuan: (1) meningkatkan pengamalan syariat Islam di kalangan masyarakat, (2) mempertebal kesetiaan masyarakat kepada ajaran-ajaran dari salah satu mazhab empat; dan (3) menganjurkan para anggota tarekat agar meningkatkan amalan-amalan ibadah dan mu’amalah, sesuai dengan yang dicontohan oleh para ulama salihin.
Di dalam tulisan tentang awal berdirinya Jatman ini, Dofier juga telah menekankan pentingnya mekanisme pengawasan terhadap organisasi tarekat yang bersifat rohani dari kepentingan-kepentingan duniawi. Para kyai saat itu menyadari sepenuhnya, bahwa pemimpin tarekat memiliki pengaruh serta kekuasaan yang tidak terbatas atas pengikut-pengikutnya, serta sebaliknya, para pengikut itu pun pada waktu-waktu tertentu memberikan hadiah-hadiah kepada gurunya, sehingga dikhawatirkan adanya guru tarekat yang mengeruk keuntungan material atas hubungan guru murid yang sebenarnya bersifat spiritual.
Berkaitan dengan penggunaan istilah Jatman seperti dituliskan NU Online Jabar (16/1/2022) berasal dari Muktamar NU ke-26 di Semarang pada tahun 1979. Di dalam Muktamar, para sesepuh tarekat seperti K.H Muslih Abdul Rahman, K.H Turaichan Adjuri, K.H Adlan Ali mengajukan usul pada sidang pleno Syuriyah PBNU agar jam’iyyah tarekat tetap satu langkah dan satu posisi dengan Ahlussunnah wal Jama’ah. Kemudian, lahirlah Jam’iyyah Ahluth Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah melalui Surat Keputusan PBNU nomor 137/Syur, PB/V/1980 yang kemudian disingkat menjadi Jatman.
Dualisme Jatman
Kongres Jatman ke-13 telah dilaksanakan di Asrama Haji Donohudan Boyolali Jawa Tengah, Sabtu-Minggu (21-22/12/2024) dengan tema: “Kembali ke Khittah Jatman dalam Membimbing Umat dan Memperkokoh Akhlak Mulia sebagai Landasan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Menuju Indonesia Maju.” Selain telah memilih Rais Ali K.H Achmad Chalwani Nawawi, Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) dari Kongres ini telah berhasil memilih Prof. Dr. K.H. Ali Masykur Musa, M.Si., M.Hum sebagai Mudir Ali.
Tim AHWA terdiri dari sembilan kiai besar yang berpengaruh, terdiri dari: K.H Anwar Iskandar (PBNU), K.H Masykuri Malik (PBNU), K.H Achmad Chalwani Nawawi (Mursyid), K.H Fathul Huda (Mursyid), K.H Ali Qhoishor (Mursyid), Idaroh Wustho Jawa Tengah K.H Zaenal Arifin Ma’sum, Idaroh Wustho Jawa Timur K.H Mushtofa Badri, Idaroh Wustho Jawa Barat K.H Zamzami Amin serta Idaroh Wustho Sumatera Selatan, K.H Syamsudin.
Hasil dari kongres ini tentu saja adalah lahirnya struktur kepengurusan baru serta program-program yang benar-benar menempatkan Jatman sebagai ‘Badan Otonom’ (Banom) di dalam komando PBNU, sesuai dengan ‘khittah’ kelahirannya pada 10 Oktober 1957. Memisahkan Jatman dari NU bukan hanya menyalahi AD/ART NU, tapi juga sikap yang ahistoris mengingat Jatman adalah Banom yang kelahirannya yang diinisiasi oleh kiai-kiai pesantren, yang merupakan basis dari jamiyyah Nahdlatul Ulama.
Memang ada satu situasi yang tidak bisa dielakkan karena agenda kongres 2024 ini dibayang-bayangi adanya isu dua faksi Jatman, yaitu antara kubu PBNU (Muktamar Solo) dengan kubu Habib Luthfi bin Yahya (Muktamar Pekalongan). Munculnya dualisme ini menjadi lebih tajam sejak PBNU mengkarteker kepengurusan Jatman dengan menunjuk K.H Ahmad Haris Shodaqoh, karena status kepengurusan Idarah Aliyah dalam kepemimpinan Rois Am Habib Luthfi bin Yahya telah berakhir pada tanggal 17 Juli tahun 2024. Karteker ini kemudian mendapatkan mandat untuk membentuk kepanitiaan Kongres Jatman ke-13 dengan ketua Prof. Dr. Ali Masykur Musa, M.Si, M.Hum yang kemudian terpilih sebagai Mudir Ali.
Proses suksesi kepemimpinan di Jatman dikembalikan pada istilah Kongres, setelah sebelumnya, pada masa kepemimpinan Habib Lutfi selalu menggunakan istilah “Muktamar”. Istilah “Kongres” lazim digunakan sejak Kongres ke-1 di Magelang tahun 1957. Demikian juga dengan Kongres ke-2, ke-3, ke-4, dan seterusnya.
Dengan tetap menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap Habib Luthfi atas berbagai capaian kemajuan pada masa kepemimpinan beliau, penulis pada saat bersamaan konsisten dengan rujukan khittah, logika sejarah, serta tertib aturan organisasi sejak pendirian awal Jatman, sehingga dengan sepenuhnya mendukung hasil dari Kongres ke-13 di Asrama Haji Donohudan Jawa Tengah ini.
Kabarnya, Muktamar Pekalongan (versi Habib Lutfi) akan tetap dilaksanakan 28-29 Desember, walaupun disebut akan mundur waktunya karena tidak mendapatkan persetujuan dari PBNU.
Adanya perbedaan sudut pandang terkait tata kelola Jatman antara kedua pihak, bagi penulis sesuatu yang ringan saja. Ini adalah proses-proses historis dialektis dari pola tesis anti-tesis, aksi reaksi, challenge and response serta mudah-mudahan membawa kita semua untuk semakin matang dalam berorganisasi, baik bagi yang ‘konsisten’ di garis Khittah Jatman PBNU, ataupun Perkumpulan Ahlith Thariqoh Al Mu’tabaroh An-Nahdliyyah (PATMAN).
Kongres ke-13 Jatman di Asrama Haji Donohudan Boyolali Jawa Tengah telah berlangsung dengan sukses serta telah menghasilkan dua figur utama, yaitu K.H Achmad Chalwani Nawawi sebagai Rais Ali serta Prof. Dr. Ali Masykur Musa, M.Si., M.Hum sebagai Mudir Ali. Memang ada beberapa perubahan/penyesuaian yang diterima peserta kongres. Selain istilah “muktamar ” yang disesuaikan menjadi “kongres”, istilah Rois Am serta Mudir Am menjadi Rois Ali serta Mudir Ali dengan logika bahwa Pengurus Pusat itu adalah Idaroh Aliyah. Mengemuka dari sambutan Mudir Ali, bahwa perubahan itu juga atas usulan dirinya, dan secara kebetulan, nama Mudir Ali yang terpilih juga memiliki nama awal Ali (Ali Masykur Musa).
Pekerjaan Rumah Pengurus Jatman Baru
Setelah membaca program kerja yang telah dirumuskan, Pengurus Jatman Masa Khidmah 2024-2029 perlu menambahkan program-program terkait dengan segitiga hubungan antara ‘manusia, Tuhan, serta alam semesta’. “Mamayu hayuning bawono” atau “memelihara alam semesta” dengan bumi sebagai poros tempat manusia mengikatkan dirinya sebagai khalifah Allah. Isu lingkungan ini sangat urgen untuk menjadi bagian yang penting diarusutamakan dalam program kerja Jatman ke depan. Ini adalah sesuatu yang tidak bisa kita tawar lagi, karena kerusakan biosfera tempat kita hidup sudah sangat parah.
Para sufi selayaknya memiliki world view atau pandangan dunia yang khas terkait kemesraan hubungan manusia dengan alam sebagai sesama entitas makhluk Allah. Oleh karena itu, Jatman mesti mendorong pandangan bahwa alam sebagai sahabat, memanfaatkannya sebagai sumber kemaslahatan serta kesejahteraan umat manusia, tentunya, tanpa mesti menjadikan bumi semata-mata sebagai tempat eksploitasi dan pembuangan sampah industrialisasi.[]
(AN)