Piagam Madinah penting untuk diketengahkan sebagai titik sentral setiap kita akan membaca perihal hubungan Nabi dengan non-muslim. Konsistensi Nabi dalam memegang kesepakatan untuk menjadi masyarakat yang bersatu, meskipun memiliki ragam perbedaan, menjadi pelajaran penting dalam usaha kita membangun dan merawat bangsa yang toleran, saling menghargai, serta memahami satu sama lain. Namun, QS. Al-Baqarah ayat 120 sering menjadi bahan apologi sebagian masyarakat kita untuk merusak kemesraan kehidupan beragama kita selama ini. Untuk itu, perlu kiranya kita mengkaji ayat tersebut dalam pandangan para pakar ahli tafsir untuk mengetahui lebih lanjut serta bagaimana maksud ayat tersebut semestinya kita pahami.
- Al-Baqarah ayat 120 berbunyi:
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu
Para ahli tafsir berbeda pendapat terkait faktor yang menyebabkan ayat ini diturunkan. Sebagaimana disampaikan oleh Abdurrahman bin ‘Ali al-Jauzi, dalam tafsirnya Zâd Al-Masîr, ada tiga pendapat yang menyebutkan faktor ayat ini diturunkan. Pertama, menurut versi Ibnu Abbas, masyarakat Yahudi di Madinah dan Nashrani Najran memiliki harapan kuat agar Nabi ketika sholat kiblatnya adalah Baitul Maqdis sebagaimana yang selama ini menjadi kiblat mereka. Namun, Allah rupanya mengalihkan kiblat Nabi yang semula adalah Baitul Maqdis menjadi Ka’bah yang ada di Makkah sebagai penggantinya.
Memahami ayat ini dengan menggunakan versi Ibnu Abbas berarti kita tidak bisa melupakan bagaimana Nabi yang telah berusaha dengan susah payah untuk menyatukan masyarakat Madinah waktu itu melalui Piagam Madinah. Sehingga, ketika Nabi melakukan perubahan arah kiblat yang dirasakan Nabi adalah ketakutan akan terjadinya perpecahan antara umat islam dengan non-muslim. Akhirnya Allah menegaskan kepada bahwa orang-orang Yahudi dam Nashrani akan teguh dengan keinginannya sampai kamu memenuhi keinginan mereka. Mengingat ini adalah titah langsung dari Allah maka penuhilah titah tersebut, jangan terlalu memperdulikan apa yang menjadi keinginan mereka.
Kedua, adalah versi riwayatnya Muqatil. Menurutnya, ayat ini berkaitan dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani yang mengajak Nabi untuk berkenan masuk kedalam agama mereka. Sepertinya ini adalah versi yang digunakan oleh sekelompok masyarakat muslim yang menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan rela kepada orang-orang islam sebelum mau masuk kedalam agama mereka. Namun pertanyaannya adalah apakah begitu pemahaman semestinya?
Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Munir-nya menyebutkan, Nabi begitu mengharapkan supaya Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani) mau menerima ajaran yang dibawa Nabi (masuk Islam). Sebab pada dasarnya, ajaran-ajaran mereka begitu sesuai dengan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, terutama terkait masalah tauhid. Namun, respon yang mereka berikan adalah menolak apa yang menjadi keinginan Nabi tersebut. Akhirnya Nabi mengalami kekecewaan dan putus asa. Melihat hal tersebut, Allah bermaksud untuk menguatkan hati Nabi kembali mengingat Nabi adalah pemimpin serta suri tauladan bagi umat islam pada waktu itu. Akhirnya, Allah memberi gambaran bahwa tidak semua Ahlul Kitab tidak sependapat dengan yang menjadi keinginan Nabi. Banyak Ahlul Kitab yang masih membaca Taurat dengan teliti dan mau untuk merenungkannya dan memahaminya dengan benar-benar hingga menemukan kesimpulan bahwa ajaran yang Nabi bawa adalah kebenaran. Untuk itu, barang siapa yang beriman kepada Taurat maka akan beriman kepada Nabi.
Dengan ini, pilihan agama dan keyakinan adalah hidayah Allah. Berkenaan dengan masalah pilihan keyakinan, setiap individu manusia memiliki pandangannya masing-masing terkait dengan agama dan keyakinan yang dianutnya. Begitu juga, dalam versi Muqatil, tidak mengarahkan pada kebencian antara satu agama dengan agama lain. Terkait harapan dan ajakan orang-orang Yahudi dan Nasrani agar Nabi masuk kedalam agama mereka, hal tersebut juga dilakukan oleh Nabi sendiri. Namun, dengan adanya Piagam Madinah, mereka tetap berkomiment untuk tetap menjaga persatuan dan tidak ada niatan untuk bermusuhan meskipun mereka memiliki keinginannya masing-masing.
Ketiga, adalah versi Zujâj. Menurut pendapat ini, QS. Al-Baqarah ayat 120 berkenaan dengan genjatan senjata antara Nabi dan orang Yahudi-Nasrani. Apabila tawaran tersebut disepakati Nabi, maka merekapun akan menyetujuinya. Apabila ayat ini dipahami dengan menggunakan pendekatan versi ini seolah pemahamannya adalah orang Yahudi dan Nashrani hanya membuat alasan saja dan tidak benar-benar akan melakukan dengan tulus genjatan senjata tersebut. Ibnu ‘Ajibah dalam tafsirnya Al-Bahr Al-Madîd menyebutkan, Ayat ini menjadi peringatan kepada Nabi untuk tidak terlalu menggantungkan harapan kepada manusia, sebab menggantung harapan kepada manusia hanya akan berujung kekecewaan.
Nabi memerintahkan umatnya untuk teguh dalam menjalankan sebuah perjanjian atau janji, untuk itu, Nabi mengkritik keras sikap ingkar janji. Namun, perjanjian hendaknya tidak dijadikan harapan berlebihan kepada manusia sebab yang berhak untuk dijadikan harapan penuh hanyalah Allah semata. Genjatan senjata berarti narasi yang dibangun adalah suasan pertikaian. Lantas apakah Nabi menolak genjatan senjata tersebut? Dalam perjanjian Hudaibiyyah, meskipun Nabi mendapatkan keputusan-keputusan yang sangat merugikan, Nabi tetap menerima untuk melakukan genjatan senjata. Lantas, apakah dalam versi ketiga ini Nabi menolaknya?
Dalam pandangan Muqatil dan Ibnu Abbas diatas, ayat ini tidak ditujukan untuk semua orang Yahudi dan Nashrani. Bahkan dalam versi ketiga yang menyebutkan faktor ayat ini diturunkan berkenaan dengan tawaran untuk menjalin hidup bersama dengan tidak ada pertikaian selanjutnya. Setiap kelompok memiliki harapannya masing-masing. Namun, tidak lantas harapan itu menjadi sebab terjadinya pertengkaran dan melupakan sikap toleransi. Tidak ditemukannya bukti yang menunjukkan bahwa antara Nabi dan non-muslim menyimpan kebencian dan permusuhan satu sama lain di dalam ulasan kali ini semakin menguatkan bahwa kehidupan Nabi dengan masyarakat yang berbeda keyakinan terjalin dengan saling harmonis. Ketika terjadi pertikaian dengan sebab-sebab tertentu, mereka mengharapkan agar pertikaian tersebut terselesaikan dengan baik dan bisa bersatu. Itulah mengapa Piagam Madinah menjadi pintu kunci membaca kehidupan keberagamaan pada masa Nabi begitu penting. Wallahu a’lam bishshawab.
A. Ade Pradiansyah, penulis adalah penikmat kajian tafsir.