Waktu terus berjalan tak bisa ditahan. Bergerak dinamis, memunculkan ragam cerita kehidupan. Ibarat sebuah rangkaian cerita, panggung kehidupan senantiasa harus dimaknai sepenuh hati. Tahun 2018 telah berganti, dan tahun 2019 akan segera dijalani. Momentum ini, ada baiknya kita maknai dengan melakukan muhasabah atau introspeksi diri, guna melakukan perbaikan-perbaikan di masa mendatang.
Sesungguhnya Allah swt telah mengingatkan kita semua, bahwa waktu sangatlah berharga. Mereka yang tidak memanfaatkan waktu dengan baik, sesungguhnya dalam keadaan merugi.
Allah swt berfirman dalam Surat al-‘Ashr ayart 1-3: “Demi massa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
Artinya, jika kehidupan kita berjalan tanpa iman, tanpa amal saleh, dan tidak mau mengisi dengan aktivitas yang menaati kebenaran yang telah Allah gariskan serta abai dengan kepedulian untuk saling memberi nasihat, sesungguhnya hidup kita merugi dan sia-sia saja.
Dua Dimensi Muhasabah
Secara etimologi, kata muhasabah berarti introspeksi diri. Sementara secara terminologi, merupakan upaya melakukan evaluasi diri terhadap setiap kebaikan dan keburukan beserta semua aspeknya.
Ada dua dimensi muhasabah. Pertama, dimensi vertikal, yakni hubungan kita dengan Allah SWT. Kita harus melakukan introspeksi, apakah sepanjang tahun ini kita sudah benar-benar memuliakan-Nya. Ibadah ritual sehari-hari kita apakah sudah sungguh-sungguh kita jalani dengan ikhlas, khusyuk, dan menguatkan iman dan kualitas keislaman kita. Ataukah sebaliknya, ibadah kita lebih banyak karena motivasi lain selain Allah. Misalnya, kita beribadah karena ingin dilihat, dipuji, dihormati atau dimuliakan orang lain.
Dimensi kedua bersifat horizontal, yakni hubungan diri kita dengan sesama manusia, alam dan lingkungan. Apakah pola hubungan kita sudah memberi nilai manfaat bagi orang lain. Islam hadir untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Jadi, aneh rasanya jika melihat umat Islam apalagi berposisi sebagai panutan, sikap berislamnya justeru menakutkan. Mencaci-maki orang lain, menghardik, rajin menggunakan kekuatan fisik dan kuasa kelompoknya untuk mengintimidasi orang lain.
Islam yang semestinya melindungi dan menguatkan semangat kekitaan, justeru ditampilkan dengan penuh keakuan. Egosentrisme yang menjadi tembok pemisah dalam mengimplementasikan marwah Islam sebagai rahmat untuk semesta alam. Bagaimanapun Islam sangatlah menghormati perbedaan, toleran dengan orang berbeda keyakinan, dan menjunjung tinggi semangat cinta tanah air. Dalam konteks inilah, berpikir positif niscaya menjadi laku keseharian kita semua.
Mari kita bermuhasabah, agar kita mengetahui bahwa diri kita senantiasa bertakwa dan mau memperbaiki diri dari waktu ke waktu. Firman Allah swt: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. al-Hasyr:18).
Pembelajaran di Tahun 2018
Catatan penting untuk kita semua, sepanjang 2018 kita sudah melalui banyak hal. Tanpa bermaksud menyederhanakannya paling tidak ada beberapa momentum yang perlu kita beri catatan khusus.
Pertama, kita sudah melalui pilkada serentak secara damai. Pilkada telah digelar di 171 daerah, dan di antaranya adalah daerah-daerah dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Seperti Jawa Barat, dengan 33 juta pemilih, Jawa Timur dengan 31 juta pemilih, dan Jawa Tengah dengan 27 juta pemilih.
Ketiga daerah ini saja, kurang lebih 48 persen dari jumlah pemilih di Indonesia. Kita sudah melaluinya dengan damai dan kondusif meskipun masih ada pihak-pihak yang merasa tidak puas.
Pilkada menjadi agenda penting, karena kita memilih pemimpin yang akan membuat perubahan atau kesengsaraan bagi warga di daerah yang dipimpinnya. Amanah yang disematkan bukanlah perkara main-main. Pemimpin yang adil, amanah, berintegritas tentunya sangat diperlukan oleh kita semua, agar perbaikan bisa dilakukan secara bersama-sama.
Kedua, aksi bela Islam masih digaungkan beberapa kalangan. Tidak ada yang salah sebenarnya dengan aksi bela Islam, karena sebagai agama yang diyakini kebenarannya, maka semangat untuk saling menguatkan dan saling melindungi harus terpatri di hati setiap muslim.
Hanya saja, janganlah bersifat berlebihan. Membela Islam itu harus dengan kejernihan niat, ketulusan hati, dan ilmu pengetahuan yang memadai, agar kita bisa menebar Islam damai kepada siapapun. Jangan sampai, gerakan kaum muslimin dimanfaatkan segilintir orang untuk kepentingan politik sesaat, misalnya karena kebutuhan suara di pemilu.
Ketiga, mulai 23 September 2018, bangsa kita terterpa kampanye Pemilu 2019. Musim kampanye ini, masih akan berlangsung hingga 13 April 2018. Jika kita evaluasi, banyak hal yang harus kita introspeksi.
Misalnya saja, banyak sesama muslim yang saling curiga, saling menyalahkan karena berbeda dukungan, saling mencaci karena berbeda argumentasi, bahkan saling menjatuhkan karena berbeda kepentingan.
Padahal Allah swt sudah mengingatkan dalam firma-Nya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara” (Q.S. Ali Imran: 103).
Wallahu A’lam.
Tulisan ini juga dimuat dalam: Buletin Muslim Muda Indonesia, Edisi 50/Jum’at, 28 Desember 2018