Menakar Pilkada Serentak Saat Covid-19 dengan Kaidah Fiqh

Menakar Pilkada Serentak Saat Covid-19 dengan Kaidah Fiqh

Menakar Pilkada Serentak Saat Covid-19 dengan Kaidah Fiqh

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia serentak tetap berjalan sebagaimana yang disampaikan Presiden Jokowi melalui Menko Polhukam Bapak Moh Mahfud MD. Dilansir dari detik.com (22/09/2020) Mahfud MD mengatakan bahwa, “Presiden telah mendengarkan dan mempertimbangkan usul-usul dari masyarakat. Semuanya didengar, yang ingin menunda, yang ingin melanjutkan. Dari ormas-ormas besar, seperti dari NU, dari Muhammadiyah, pun pendapat yang berbeda, semuanya didengarkan. Presiden berkali-kali mengadakan rapat atau pembicaraan hal ini secara khusus untuk membicarakannya.”

Dua Ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, pun telah meminta kepada Presiden, DPR, KPU dan Bawaslu untuk menunda Pilkada yang akan berlangsung 9 Desember 2020. Hanya saja, alasan kesehatan, jiwa manusia, dan diagram terus meningkatnya Covid-19 rupanya tidak menjadi hal utama ketimbang “demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih.”

Mengapa Pemerintah tetap menlaksanakan Pilkada menjelang 9 Desember 2020 nanti? Dilansir dari Tempo.com (23/09/2020) ada empat alasan pilkada tetap berjalan. Pertama, pemerintah tidak ingin pimpinan 270 daerah dijabat oleh pelaksana tugas (Plt) dalam waktu bersamaan.

“Karena Plt itu tidak boleh mengambil kebijakan-kebijakan yang strategis,” kata Mahfud MD saat menyampaikan pengantar secara virtual Rapat Koordinasi Persiapan Pilkada Serentak Tahun 2020, Selasa 22 September 2020.

Kedua, pilkada tidak ditunda karena untuk menjamin hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih sesuai dengan agenda yang telah diatur di dalam undang-undang dan atau di dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Ketiga, jika Pilkada ditunda, misalnya sampai selesainya bencana COVID-19, maka itu tidak memberi kepastian karena tidak ada satupun orang atau lembaga yang bisa memastikan kapan COVID-19 akan berakhir.

Keempat, sebenarnya pilkada yang akan digelar 9 Desember 2020 itu sudah ditunda dari yang semula dijadwalkan pada 23 September 2020. Salah satu acuan dari Pemerintah tetap menggelar Pilkada adalah negara Amerika yang kasus Covid-19-nya lebih besar namun tetap menjalankan Pemilu, begitu juga negara-negara lain.

Dari polemik ini bisa ditarik beberapa hal. NU dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar, yang juga menjadi bagian suara rakyat telah meminta untuk menunda Pilkada, namun ternyata nihil belaka. Lalu, Pemerintah dengan alasan yang mungkin sudah mengkaji detail tentang baik buruknya pelaksaan Pilkada di masa pandemi, akhirnya memutuskan Pilkada tetap berjalan pada 9 Desember 2020 mendatang.

Saya jadi teringat dua Qaidah Ushul Fiqh. Pertama, لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ  artinya: Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Kaidah itu mengandung maksud bahwa seseorang harus berhati-hati baik untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain. Dalam kaitan dengan wabah virus Corona, orang sehat tidak boleh dekat-dekat dan melakukan kontak langsung dengan orang lain yang telah terjangkiti virus itu karena bisa membahayakan dirinya sendiri. Apalagi jika kelak dalam kondisi Pilkada, berapa banyak orang yang akan berkumpul, saling dekat dan hal-hal yang tidak terduga lainnya, bahkan apakah ada jaminan seseorang bisa pasti tidak terkena Covid-19?

Kedua,  إذا اجتمع الضرران أسقط الأكبر للأصغر artinya: Jika ada dua mudharat yang berkumpul, maka yang lebih besar harus digugurkan. Dalam situasi ini, tetap mengadakan Pilkada adalah sebuah kemudharatan karena wabah yang masih massif melanda, begitu pula jika tidak mengadakan Pilkada juga sebuah kemudharatan karena akan ada juga potensi penyalahan kewenangan dan ketidakaturan pengambilan kebijakan-kebijakan.

Maka  menjadi wajib bagi pemerintah sebagai pelaku pengambilan keputusan, yaitu: mengambil putusan yang lebih sedikit atau kecil potensi bahayanya. Jika ormas sebesar NU, Muhammadiyah, dan suara rakyat sudah mengusulkan untuk menunda Pilkada, maka pemerintah seyogianya mendengarkan suara rakyat! Sudah berapa kali suara rakyat tidak didengarkan oleh pemerintah pada beberapa tahun terakhir? RUU KPK, RUU PK-S, RUU Cipta Kerja/Omnibus Law.

Semoga Allah Yang Maha Kuasa selalu melindungi para hamba-hambanya yang selalu berusaha dan bertawakkal pada-Nya.