Alih-alih merangkul yang berbeda, pihak yang mengaku moderat tak jarang justru memposisikan diri sebagai musuh pihak lain yang dianggapnya tidak moderat, terutama dari kelompok konservatif. Sikap seperti itu memang terdengar paradoks. Akan tetapi, hal itu kerap kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam sebuah perdebatan narasi di media sosial.
Sebagaimana data yang didapatkan oleh riset PPIM UIN Jakarta pada 2021 dalam “Beragama Ala Anak Muda: Ritual No, Konservatif Yes“, belakangan ini konservatisme memang tengah meningkat, terutama di kalangan anak muda. Pada tahap memberikan perhatian lebih terhadap tradisi atau agama, sikap ini memanglah baik. Apalagi jika dapat meningkatkan kualitas spiritualitas individu.
Namun, sikap konservatif ini dapat mengganggu kehidupan bersosial jika pihak yang dilabeli dengan “kanan” ini bertindak secara radikal dan intoleran terhadap pihak yang berbeda. Merespon situasi ini, wacana moderat pun bermunculan.
Sayangnya, kelompok moderat yang semestinya menjadi “umat tengah” malah terlalu bergeser ke kiri sehingga menjadi “musuh” kelompok konservatif yang berada di kanan. Posisi ini menjadikan status antara moderat dan konservatif malah bagaikan saling berlawanan.
Harus diakui, hal ini memang pelik. Kelompok moderat yang semula disifati sebagai kelompok toleran ternyata tidak toleran terhadap kelompok konservatif yang dianggap intoleran. Namun, perlukah kita bersikap toleran terhadap pihak yang intoleran? Pertanyaan dilematis ini dianalisis dengan baik dalam tulisan “Apakah Toleransi Berarti Melanggengkan Intoleransi? Sebuah Konsekuensi Dilematis dari Toleransi“.
Kelompok yang intoleran memanglah harus diberi jarak. Namun, memaksa mereka untuk menjadi moderat bukanlah solusi. Apalagi jika sampai harus diposisikan sebagai musuh dalam perang narasi yang tak sehat.
Dapat Menimbulkan Moderat yang Totalitarian
Moderat itu baik. Tapi, menganggap moderat sebagai satu-satunya solusi bagi kerukunan, tampaknya keliru. Hal itu malah menunjukkan sikap mengkultuskan moderatisme. Sikap demikian itu malah tidak baik.
Memang, keadilan dapat tercapai lewat kesepakatan. Dalam hal ini, seharusnya pihak yang mengaku moderat dapat mencari jalan tengah. Sayangnya, dalam banyak kasus, moderat yang dijadikan sebagai nilai kesepakatan malah hanya untuk memayungi kelompok-kelompok yang menyetujuinya. Di luar itu, sebuah kelompok dapat dihukumi bersalah karena tak mengikuti standar moderat yang telah dibuat.
Konsensus moderatisme seperti itu justru berpotensi memunculkan sistem totalitarian, yakni ketika nilai moderat dijadikan sebagai hukum tertinggi dan memaksa setiap pihak untuk setuju agar dapat diterima. Nilai itulah yang selanjutnya menghegemoni dan menjadi sebuah tatanan sosial.
Kalau sampai seperti itu, bukankah sudah tak pantas lagi disebut sebagai moderat?
Konservatif Tak Mesti Radikal
Yang ingin ditegaskan dalam tulisan ini adalah, pihak yang mengaku moderat seharusnya membuka mata bahwa konservatifme merupakan gaya beragama yang kian populer belakangan ini.
Selain itu, pihak yang mengaku moderat tidak boleh menghukumi suatu kelompok sebagai kelompok yang eksklusif, intoleran, maupun ekstrimis, hanya karena mereka menampakkan identitas keagamaan yang cenderung konservatif.
Bila seperti itu, kelompok yang mengaku moderat justru tampak sekali sebagai anti-konservatisme. Padahal, mereka hanya ingin mengekspresikan simbol keagamaannya di ruang publik. Bisa jadi juga yang konservatif itu hanya sedang mempertahankan nilai-nilai lama, bukan sampai melakukan permusuhan.
Pihak konservatif dianggap sebagai lawan. Sedangkan pihak yang menerima moderat dianggap sebagai kawan. Nah, posisi kawan-lawan ini, yang menghinggapi pandangan kelompok moderat dalam melihat konservatif, yang seharusnya dihapuskan. Tanpa disadari, sikap ini malah menimbulkan bias di pikiran kelompok moderat.
Alasannya sederhana. Mereka yang dianggap konservatif tak melulu menjadi radikal, ekstrimis, atau memusuhi pihak lain. Saat ini, konservatif telah menjadi tren budaya populer yang telah menyebar di berbagai kalangan.
Sebagai fenomena keagamaan, kelompok konservatif hadir di ruang publik dengan identitasnya dan membaur dengan kelompok lain. Selama kehadiran sebuah kelompok tak mengganggu keberagaman, tak perlulah kita memberantas kelompok tersebut. Karena hal itulah yang akhirnya malah membuat keberagaman itu berkurang.
Oleh sebab itu, kelompok moderat harus menjernihkan pikiran. Tak bisa menghukumi individu yang memiliki pola pikir konservatif sebagai cikal bakal radikalisme.
Kelompok yang mengaku moderat harus kembali ke marwahnya, yakni sebagai umat tengah, bukan kiri. Moderat bukanlah anti-kanan. Bukankah kelompok yang kiri juga dapat mengganggu stabilitas sosial?
Kesimpulannya, dengan pikiran yang terbuka dalam menerima perbedaan, kehadiran umat tengah ini bukan untuk memusuhi yang kanan maupun yang kiri melainkan dapat melakukan mediasi dengan berbagai kelompok. [NH]