Sebagaimana Tri Dharma Perguruan Tinggi yang salah satunya adalah Penelitian dan Pengembangan, maka jurusan saya menanggapinya dengan membentuk mata kuliah Praktikum Kesejarahan. Tanpa pikir panjang, saya memutuskan untuk magang di Indonesian Islamic Art Museum yang berada satu kompleks Wisata Bahari Lamongan, letaknya pun tidak jauh dari rumah saya, meskipun resikonya harus magang seorang diri. museum islam
Karena baru dibuka pada akhir tahun 2016, saya belum pernah sekalipun mengunjunginya. Sehingga ketika pertama kali menyerahkan surat pengajuan ke museum tersebut, perasaan takjub dan malu seolah menjadi satu. Ternyata, ada museum Islam selengkap dan sebagus itu di Lamongan. Selama ini, saya terlalu meremehkan kota kelahiran saya rupanya. Di hari itu juga, saya memutuskan untuk memulai magang.
Dalam penataannya, Indonesian Islamic Art Museum terbagi menjadi empat zona utama. Yang pertama adalah zona audio visual. Di sini pengunjung disuguhkan film tentang kronologi sejarah peradaban Islam selama 15 menit. Setelah itu, memasuki zona The Glory of Islam atau zona kedua. Dalam zona ini, terpajang koleksi dari beberapa kerajaan Islam dunia seperti Ottoman Turki, kerajaan Mughal India dan peninggalan dinasti China. Juga koleksi dari kerajaan Islam Nusantara seperti Kerajaan Champa, Aceh, Mataram Islam dan Madura.
Beberapa koleksi itu di antaranya berupa pedang Zulfikar Syamsir yang mempunyai dua mata pedang sehungga bentuknya mirip dengan pedang Zulfikar milik Rasulullah yang diwariskan kepada Sayyidina Ali. Koleksi lainnya yaitu satu set baju zirah yang jika dipakai keseluruhan beratnya lebih dari satu kwintal. Juga kain, keramik dari Cina, manuskrip karya Wali Songo, alat musik dan dinding utama Kerajaan Madura yang mirip dengan gebyok Jawa.
Saat mengunjungi museum, tentu sebagian orang yang selalu ingin mengabadikan momennya akan kebingungan, karena tampilan koleksi kebanyakan berada di dalam etalase. Karena itu, terdapat zona tiga tentang diorama kedatangan Cheng Ho sekaligus zona foto-foto. Dalam zona ini pengunjung bisa berfoto di atas miniatur kapal Cheng Ho, toko obat-obatan Cina zaman dahulu, dan memakai baju dan kain adat yang disediakan. Semua atribut ini bebas dipakai oleh pengunjung museum tanpa perlu menyewa lagi.
Adapun zona terakhir adalah zona 3 dimensi yang memutarkan film 3 dimensi untuk anak-anak yang mungkin bosan dan tidak ingin berlama-lama di dalam museum. zona terakhir ini baru dibuka pada tahun 2018. Bagi pengunjung yang mayoritas warga lokal, zona ini adalah zona hiburan yang tergolong keren meskipun film yang diputar tidak berhubungan dengan sejarah Islam.
Museum ini juga dilengkapi dengan fitur Augumented Reality. Pengunjung hanya perlu mengunduh aplikasi yang ada di Play Store atau App Store dengan nama Indonesian Islamic Art Museum AR. Aplikasi ini berfungsi seperti kamera, uniknya, ketika kamera tersebut diarahkan ke beberapa gambar dan obyek yang ada di dalam museum, akan muncul karakter tiga dimensi sehingga kita bisa berfoto dengan obyek tersebut.
Hal menarik lain adalah koleksi museum ini yang ternyata milik pribadi. Pemiliknya bernama Reno Halsamer, seorang kolektor benda-benda antik yang bahkan tidak beragama Islam dan merupakan Cina peranakan.
Selain Indonesian Islamic Art Museum, Pak Reno lebih dulu membuka Indonesian Heritage Museum yang satu komplek dengan Museum Angkut, Batu, Jawa Timur. Sayangnya, selama saya magang, saya belum mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Pak Reno karena jadwal beliau yang padat.
Pada awalnya, Pak Reno tidak berniat untuk membuka museum Islam. Tetapi beliau merasa sayang jika koleksinya yang banyak dan mengandung banyak pelajaran dan nilai sejarah tersebut hanya dinikmati seorang diri. Apalagi untuk mendapatkan koleksi itu beliau sampai rela menggadaikan rumahnya. Dengan pengorbanan yang besar itu, pengunjung museum hanya perlu mengeluarkan uang 10.000 rupiah ketika hari biasa dan 15.000 ketika libur akhir pekan agar bisa berkeliling museum.
Pak Reno dan museumnya seketika mengingatkan saya pada salah satu ucapan Gus Dur yang sangat terkenal, “Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”.
Semoga adanya Indonesian Islamic Art Museum berikut inovasi dan eksistensinya bisa menjadi rujukan untuk museum-museum Islam lain yang ada di Indonesia, sehingga generasi muda semakin menghargai dan mencintai sejarah, terutama tentang kejayaan peradaban Islam baik di Nusantara maupun dunia.