Bagaimana sih debat soal ‘jilbab’ bagi Balita atau anak kecil? Tulisan ini menganalisis respons pengguna media sosial Facebook terhadap tulisan Lies Marcoes, peneliti senior Rumah KitaB: “Merebut Tafsir: Jilbabisasi Balita”. Tulisan itu diunggah 4 Juli 2019 dan menjadi materi debat dalam Facebook sampai April 2020. Artikel itu mendapat 711 likes, 416 komentar dan telah dibagikan sebanyak 323 kali.
Dalam tulisan itu, Lies merisaukan fenomena pemakaian jilbab pada balita. Menurutnya, praktik itu, apalagi dalam bentuk hijab, akan menghalagi paparan sinar matahari/vitamin D alami yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan tak dapat digantikan oleh asupan lain. Ia menyertakan beberapa studi tentang dampak terhalangnya paparan sinar matahari yang menyebabkan defisiensi vitamin D. Padahal, demikian Lies berargumentasi, jilbab tidak wajib apalagi untuk anak-anak. Dan pernyataannya itu menjadi titik kontroversi.
Analisis ini dilakukan pada bulan kesembilan (April 2020) dari artikel pertama kali diunggah. Pengolahan data mengklasifikasi komentar dari riil data keseluruhan komentar. Tercatat ada 323 shares dari lebih 1000 pembaca. Hanya ada sembilan pembaca yang membagikan artikel dengan narasi kontra terhadap tulisan itu, selebihnya, 314 pembaca membagikan artikel secara langsung. Tampaknya hal itu dimaksudkan untuk mendorong pembaca lain mendapatkan informas dan berani berpikir kritis.
Dari 416 orang yang berkomentar, 186 merespons positif baik kepada Lies atau pembaca lain yang telah berkomentar, 87 pembaca menyatakan suka dan setuju, 99 pembaca menolak / tidak setuju pendapat pendapat penulis.
Hal yang menarik, dari jumlah pembaca yang tak setuju, kecil sekali yang membagikan langsung artikel itu di laman itu untuk mendapatkan dukungan dari sesama yang menolak. Sebaliknya, penyebaran artikel secara langsung dibagikan oleh akun-akun pembaca yang pro terhadap penulis. Saya menduga ada keinginan untuk menyebarkan informasi dari kelompok yang setuju dengannya, sebaliknya pihak yang kontra tampaknya telah menggunakan media lain selain Facebook tanpa ada kepastian sejauh mana gagasan itu dibicarakan.
Mereka tampaknya membagikannya melalui grup tertutup. Sebab, saya amati, setelah seorang pembaca menyatakan kontra, lalu secara berturut-turut muncul akun-akun kontra yang menyerangnya dengan argumen yang senada bahkan seperti copy paste tak ubahnya cara kerja buzzers. Akibatnya, alih-alih berdiskusi secara terbuka, mereka menyerang gagasan itu dengan ujaran kebencian yang kekanak-kanakan.
Dilihat dari gendernya, 62 perempuan merupakan pembaca kontra, dan 50 lainnya pro terhadap agrumentasi untuk membuka jilbab agar balita terpapar matahari. Jumlah pembaca laki-laki dari kedua pihak masing-masing 37 pembaca. Dari data itu terlihat bahwa jumlah perempuan kontra lumayan tinggi. Saya menduga mereka meyakini jilbab sebagai kewajiban berapapun umur perempuan itu. Namun, adanya perempuan yang menolak argumen Lies dapat dijadikan bukti bahwa balita perempuan yang dibela oleh penulis tak menggoyahkan keyakinan orang-orang dewasa tentang keharusan memakai jilbab pada balita.
Hal yang menarik, para lelaki yang kontra terhadap gagasan itu memperlihatkan ketidak-percayaannya kepada pengetahuan, kualitas keagamaan serta pengalaman Lies sebagai peneliti, dan seorang Ibu. Namun, anehnya mereka juga tampak tidak puas kepada argumentasi para perempuan dari kelompoknya sendiri dalam membela ideologi jilbab mereka.
Sangat menarik bahwa para perempuan yang setuju bahwa jilbab sebaiknya tidak dikenakan kepada anak balita, tidak hanya setuju dengan logika dan informasi berbasis pengetahuan melainkan didasarkan pengalaman mereka sendiri. Di antara penanggap yang pro, mereka juga mengemukakan argumen serta menyajikan fakta tambahan untuk mendukung pandangan dari tulisan itu. Hanya sebagian kecil saja yang mendukung penulis dengan ungkapan tidak meragukan kapasitasnya.
Sejumlah 37 lelaki yang setuju tentang bahaya defisiensi vitamin D akibat terhalang oleh jilbab mengungkapkan keprihatinannya melihat balita-balita yang dipaksa memenuhi kehendak orang dewasa. Saking prihatinnya, di antara mereka ada yang berjanji tak akan pernah melakukannya kepada anak perempuan dan jikapun itu dianggap sebagai tindakan yang berdosa, mereka akan menanggungnya. Bagi mereka yang utama adalah kesehatan anak perempuannya. Adanya pandangan para lelaki serupa itu sangat boleh jadi karena pengetahuan yang disebarkan melalui artikel ini telah mengadvokasi sejumlah lelaki menjadi pembela hak kesehatan anak perempuan.
Argumen yang kontra, di lain pihak, baik dari perempuan maupun lelaki, umumnya tidak membahas pokok masalahnya (soal terhalangnya paparan sinar matahari karena tertutup oleh jilbab dan hijab) melainkan soal berkewajiban orang tua melakukan pembiasaan menutup aurat sejak dini sebagai tanggung jawab pendidikan (tarbiyah) mereka. Argumen mereka tidak memperdulikan tentang dampak negarif dari defisiensi sinar matahari.
Bagi mereka, kewajiban agama, betapapun buruknya, harus tetap dijalankan. Namun, argumen mereka itu disanggah oleh penanggap lain bahwa beragama seharusnya tidak membahayakan. Dalam hal ini media sosial facebook telah memungkinkan adanya dialog yang terpusat kepada perlindungan anak. Bagi yang setuju, balita belum wajib menutup aurat, sementara, kalangan yang kontra menganggap hal itu merupakan pembiasaan. Kelompok pertama menilai bahwa beragama seharusnya disampaikan sebagai kesadaran dan bukan paksaan (koersi), sementara kelompok kedua orang tua harus mendidik untuk pembiasaan.
Hal lain yang juga cukup menarik adalah kemunculan komentar kontra yang tampaknya tidak genuine melaikan diorganisir. Untuk diketahui, komentar kontra pertama kali muncul sembilan jam setelah tulisan diunggah. Akun pioneer penyerangan pribadi penulis menuliskan komentarnya yang kemudian disambut komentar kontra lainnya; 39 likes dan 17 replies. Dari munculnya komentar kontra yang susul menyusul itu terlihat bahwa aktivitas interaksi para penyerang menunjukkan sebuah jaringan atau berasal dari satu komunitas yang sama. Saya coba menelusuri aktivitas sang pioneer yang ternyata aktif dalam gerakan 212.
Sebagai kesimpulan, saya melihat media sosial facebook bisa cukup efektif untuk advokasi isu tertentu, dan bisa menjadi media dialog meskipun kualitas argumentasi tidak seimbang antara yang pro dan yang kontra, di mana yang satu mendukung dengan tambahan agrumen, sementara yang kontra lebik banyak berisi ujaran kebencian tanpa argumen.
Terdapat polarisasi argumen antara yang setuju dengan yang kontra; yang setuju bertumpu pada argumen perlunya perlindungan anak dengan berupaya memenuhi asupan vitamin D, sementara argumen yang kontra menunjukkan bahwa penggunaan jilbab pada balita adalah sarana pembiasaan yang lebih penting daripada asupan vitamin D. Dalam argumennya, pihak yang kontra telah membawa isu ini ke ranah agama dan ideologi. Hal itu memperlihatkan bahwa sepanjang terkait dengan politik “ketubuhan” perempuan, isu apapun akan dibawa ke isu agama dengan pandangan yang mengarah kepada kontrol atas tubuh perempuan.
Dalam konteks peran media sosial, studi sederhana ini menunjukkan bahwa media merupakan wilayah bebas tempat untuk kontestasi gagasan. Namun kemampuan berargumentasi secara rasional, logis dan dewasa, tetap menjadi pemenang dalam debat di media sosial seperti ini. []