Akhir pekan lalu, ribuan perempuan dengan dress code hitam menjejali lobby salah satu hotel besar di Banjarbaru. Mereka rupanya menghadiri perhelatan ceramah agama yang diisi oleh pendakwah Hadhrami perempuan. Banjar Bertaubat pun disematkan sebagai tema acara tersebut.
Sedangkan di tempat lain, ada perhelatan kajian agama yang diisi oleh pendakwah populis, Hanan Attaki, juga diselenggarakan di hotel dan sebagian besar pesertanya adalah para perempuan. Dengan tema ‘Recharge iman,’ sebagian besar perempuan tersebut menghadirkan potongan ceramah Hanan Attaki di akun media sosial mereka sebagai ‘motivasi’ keimanan.
Di tengah kemeriahan di hotel dan berhiaskan sorot lampu dan tayangan video yang unik, dakwah di aula besar hotel menjadi bagian dari keislaman kita. Bahkan antusiasme tingga di masyarakat Muslim urban dan kelas menengah muslim, acara keislaman serupa juga diadakan di sebuah gedung khusus yang biasa dipakai untuk konser musik.
Masih di bulan Agustus ini, seorang pendakwah populis juga mengadakan acara keislaman yang berbayar, hingga mencapai 1 juta lebih. Jumlah ini memang terbilang kecil jika dibandingkan dengan tiket konser musik salah satu band terkenal. Namun, titik persoalan angka ini bukan untuk diperbandingkan, tapi angka tersebut menggambarkan bagaimana dakwah atau transmisi ajaran agama tidak lagi sesederhana yang kita bayangkan.
Para pendakwah populis dan para artis hijrah memang tidak lagi dihadirkan dengan format konservatif, seperti majelis taklim atau pengajian yang biasa diselenggarakan di masjid atau langgar. Mereka mulai menggunakan hotel atau aula besar yang telah memiliki audio visual dan sound system yang canggih.
Kondisi inilah yang disebut oleh Rudnyckyj sebagai “gerakan reformasi spiritual” di Indonesia kontemporer. Menurutnya, kondisi tersebut ditandai dengan keampuhan teknologi “baru” mulai berperan dalam dakwah agama.
Sedangkan, menurut Sulfikar Amir, keakraban masyarakat Muslim modern di Indonesia dengan teknologi, tidak saja memperlihatkan sikap anti-Barat yang telah berubah sebagai representasi kehidupan Muslim modern. Amir juga menambahkan bahwa ada keinginan dan imajinasi budaya umat Islam untuk mencari modernitas yang ideal, dengan kata lain merangkul modernitas namun tetap dalam nilai-nilai Islam.
Kedua acara di atas memang selaras dengan apa yang dijelaskan oleh Rudnyckyj dan Amir. Sebagaimana dijelaskan di atas, keduanya dihadirkan di hotel mewah dan dilengkapi dengan teknologi yang tak kaleng-kaleng. Bahkan, materi yang disampaikan di acara-acara macam “Recharge Islam” atau “Banjar Bertaubat” biasanya gabungan antara ajaran agama dengan beragam teori lain.
Hoesterey menyebutkan bahwa selera dakwah Islam kelas menengah ini merupakan perpaduan antara agama dengan psikologi pop Barat dan teori manajemen untuk mengkaji kecenderungan-kecenderungan baru dalam hasrat religius dan ekonomi kelas menengah yang bercita-cita tinggi. Bahkan, tema-temanya biasanya dibahasakan ulang ke bahasa yang relate dengan anak muda dan kelas menengah.
Namun, kita juga harus menyadari bahwa wajah keislaman yang dihadirkan tidak tunggal. Sebab, selain narasi dan imaji modernitas, wajah keislaman yang dihadirkan di kedua acara sangat dipengaruhi narasi, imaji, formasi sosial, memori, hingga model keberagamaan yang berkembang di masyarakat Muslim tersebut.
Lihat saja dua event di atas, walaupun sama-sama dihelat di hotel berbintang, masih ada kesamaan dan perbedaan. Misalnya, konten berangkat kajian di jemaah kedua event cukup serupa. Konten #danzakuduro yang dipopulerkan oleh Clara Shinta atau catatan poin-poin dalam ceramah kedua pendakwah merupakan salah satu konten serupa di kedua event.
Walaupun memiliki banyak kesamaan, pengajian di “Banjar Bertaubat” dan kajian agama di “Recharge Iman” juga memiliki perbedaan mencolok. Misalnya, potongan ceramah dari Hannan Attaki pun beredar luas di media sosial. Sedangkan, pemandangan berbeda di acara Banjar Bertaubat, seluruh peserta malah dilarang mengabadikan acara, khususnya kala sang pendakwah menyampaikan materinya, bahkan suara sang pendakwah pun sama sekali tidak dapat dijumpai.
Kondisi ini tidak asing bagi para pendakwah perempuan Hadhrami atau kalangan Alawiyyin, mereka memang sangat membatasi persebaran wajah yang dianggap sebagai aurat perempuan, terlebih bagi mereka yang menjadi otoritas. Walhasil, pengajian mereka biasanya banyak memasang papan larangan hingga himbauan untuk tidak memakai gawai di tengah acara. Agama dan media memang selalu saja saling tarik-menarik hingga terdapat konsensus.
Selain itu, di kedua perhelatan ini juga terdapat perbedaan lainnya, yakni model kajian. Jika di acara Hannan Attaki dengan ‘Recharge Iman’-nya dikemas dengan tampilan sangat modern, seperti video yang ditayangkan beserta musik yang diperdengarkan di acara tersebut telah dipilih untuk menggugah perasaan dan menguras emosi jemaah.
Format yang berbeda ditampilkan di Banjar Bertaubat. Perhelatan ini biasanya diisi dengan tradisi membaca syair-syair Maulid dan beragam tradisi Islam lokal lainnya. Bahkan, bagian akhir acara dihelat pembacaan syair sembari melambaikan gawai yang lampu belakangnya dinyalakan, sebagaimana konser musik. Bahkan, perhelatan ini juga dihiasi dengan papan video digital dan audio yang tak kalah canggih.
Di saat bersamaan, para peserta acara (biasanya) juga memproduksi konten yang serupa yang merekam aktifitas mereka kala berangkat, tiba di tempat acara, kala ceramah telah selesai, hingga perjalanan pulang dari tempat acara. Konten-konten ini memberikan gambaran kepada kita, agama yang hadir di media sosial tidak selalu ‘lepas’ tanpa kontrol. Otoritas dan para jemaah biasanya juga hadir sebagai agen pengontrol konten tersebut dalam negosiasi hingga konsensus terhadap eksistensi agama di ranah digital.
Walaupun, konsensus antara media dengan ajaran agama, tradisi, sejarah, hingga dinamika sosial masyarakat terus akan terjadi. Walaupun, wajah agama hari ini tidak bisa “benar-benar” lepas dari media dan model serta selera dakwah kelas menengah dan masyarakat Muslim modern.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin