Jikalau ada yang shalat di atas sajadah curian, bagaimana hukumnya?
Kelompok pertama menjawab antara shalat dengan mencuri sajadah adalah dua hal yang berbeda yang masing-masing harus dihukumi secara terpisah. Dia berdosa karena mencuri sajadah. Namun selama syarat dan rukun shalat terpenuhi maka shalatnya sah.
Kelompok kedua berbeda pandangan. Menurut ulama di kelompok kedua ini, perbuatan mencuri sajadah dan shalat terkait satu sama lain. Bukankah hikmah pensyariatan shalat itu untuk mencegah diri dari perbuatan yang keji dan munkar ? Kalau dia shalat di atas sajadah hasil curian, maka shalatnya bertentangan dengan hikmah di atas. Oleh karena itu meski syarat dan rukun shalat telah terpenuhi namun shalatnya dianggap tidak sah.
Jawaban kelompok pertama adalah jawaban ahli fiqh yang formalistik, yang melulu melihat aspek legal-formal. Fokus utamanya ada pada terpenuhi atau tidaknya aturan yang ada. Pertimbangan moral tidak menjadi bagian penting dalam memformulaiskan hukum. Sedangkan jawaban kelompok keduaadalah jawaban ahli fiqh yang memasukkan nilai etika dalam kajian fiqh. Meskipun terpenuhi syarat dan rukun, tapi kalau bertabrakan dengan nilai etika, maka kelompok kedua akan menentangnya.
Kasus shalat dengan sajadah curian di atas bisa kita kembangkan dalam kasus lainnya. Misalnya, bagaimana hukumnya naik haji dengan uang korupsi? bagaimana hukumnya bersedekah dengan harta rampokan? Bagaimana hukumnya menerima gaji atau uang proyek yang pekerjaan tersebut didapat melalui katabelece atau sogokan? Bagaimana hukumnya menikah dengan mengelabui calon mempelai dan keluarganya?
Bagaimana hukumnya berdakwah dengan materi kitab hasil fotokopian tanpa seijin pengarangnya? Bagaimana menjual makanan halal dengan menipu konsumen akan harga dan kualitas produknya? Bagaimana hukumnya berdakwah di parlemen dengan uang komisi impor sapi? Bagaimana hukumnya terpilih menjadi ketua ormas Islam lewat tipu menipu dan jual beli suara?
Bagaimana hukumnya Bank Islam tidak mau menerima riba tapi menzalimi karyawannya lewat sistem rekrutan dan promosi yang berdasarkan nepotisme dan kolusi? Bagaimana hukumnya pergi menuntut ilmu ke majelis ta’lim tapi dalam perjalanan menerobos jalur busway?
Pemahaman fiqh yang legal-formal pada kelompok pertama dianggap konsisten pada kaidah dan illat hukum, namun sering diprotes sebagai pola kajian hukum yang kering dan kaku.
Sementara itu kelompok kedua yang memiliki pemahaman fiqh yang melibatkan etika dianggap lebih bermoral dan sesuai dengan hikmatut tasyri’, namun sering diprotes sebagai kajian yang melebar dan mencampuradukkan dua kajian yang berbeda serta batasan moralnya menjadi kabur.
Akibat pendekatan yang terlalu formalistik maka seringkali kita temui orang yang rajin shalat tapi pembohong kelas berat; atau rajin pergi ke tanah suci tapi korupsi jalan terus, atau mereka yg bersorban dan bergamis tapi sibuk mencari perempuan ke cianjur, dan paradoks lainnya. Terkesan Islam hanya berkisar soal aqidah dan syari’ah, dan lupa bahwa sejatinya nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Kelompok pertama dianggap sebagai legalis-formal. Kelompok kedua dianggap sebagai legalis-moral. Di atas keduanya ada lagi kelompok ulama yang tidak hanya legalis, dan moralis tapi juga spiritualis. Inilah ulama yang menggabungkan antara dunia fiqh, etika dan spiritual.
Tapi kelompok ketiga ini jarang muncul. Kalaupun anda berhasil menemuinya dan bertanya: apa hukumnya shalat di atas sajadah curian?
Beliau akan lama terdiam, lalu menjawab pelan: “begitu teganya njenengan menanyakan masalah berat seperti itu kepada saya….apa salahku kali ini ya Allah, bukankah telah ku teguhkan berulang-ulang, sungguh shalatku, ibadahku, mati dan hidupku hanya untukMu?! Sudah…ambil sajadahku ini, njenengan bawa pulang saja!”